Selasa, 24 Agustus 2010

cerita seks ku

cerita seks ku

Pada suatu sore di hari libur (liburan dari kerja) aku buang waktu dengan main internet, lebih kurang satu setengah jam bermain internet, tiba-tiba terdengar suara bel. Setengah kesal aku hampiri juga pintu rumahku, dan setelah aku mengintip dari lubang kecil di pintu, kulihat tiga orang gadis. Kemudian kubuka pintu dan bertanya (maaf langsung aku terjemahkan saja ke bahasa Indonesia semua percakapan kami),
“Bisa saya bantu?” kataku kepada mereka.
“Maaf, kami sangat mengganggu, kami mencari Gamha dan sudah satu jam lebih kami coba untuk telepon tapi kedengarannya sibuk terus, maka kami langsung saja datang.”
Yang berwajah Jepang nyerocos seperti kereta express di negerinya.
“Oh, soalnya saya lagi main internet, maklumlah soalnya hanya satu sambungan saja telepon saya,” jawabku.
“Memangnya kalian tidak tahu kalau si Gamha sedang pulang kampung dua hari yang lalu?” lanjutku lagi.


Guru seni lukis sexy

Ini pengalaman kencan seksku sebelum aku mengenal internet. Kejadian ini tepatnya ketika aku masih duduk du bangku SMA. Sedang teman kencanku adalah seorang guru seni lukis di SMA-ku yang masih terbilang baru dan masih lajang. Saat itu umurku masih mengijak 19-20 tahun. Sedang guru lukisku itu adalah guru wanita paling muda, baru 25 tahun. Semula aku memanggilnya Bu Guru, layaknya seorang murid kepada gurunya. Tapi semenjak kami akrab dan dia mengajariku making love, lama-lama aku memanggilnya dengan sebutan Mbak. Tepatnya, Mbak Yani. Mau tahu ceritanya?

Sore itu ada seorang anak kecil datang mencari ke rumah. Aku
diminta datang ke rumah Mbak Yani, tetangga kampungku, untuk memperbaiki jaringan listrik rumahnya yang rusak.
"Cepat ya, Mas. Sudah ditunggu Mbak Yani," ujar anak SD
tetangga Mbak Yani.

Dalam hati, aku sangat girang. Betapa tidak, guru seni lukis
itu rupanya makin lengket denganku. Aku sendiri tak tahu,
kenapa dia sering minta tolong untuk memperbaiki peralatan
rumah tangganya. Yang jelas, semenjak dia mengajaku melukis pergi ke lereng gunung dan making love di semak-semak hutan, Mbak Yani makin sering mengajakku pergi. Dan sore ini dia memintaku datang ke rumahnya lagi.

Tanpa banyak pikir aku langsung berangkat dengan mengendarai sepeda motor. Maklum, rumahnya terbilang cukup jauh, sekitar 5km dari rumahku. Setibanya di rumah Mbak Yani, suasana sepi.
Keluarganya tampaknya sedang pergi.Betul, ketika aku mengetuk pintu, hanya Mbak Yani yang tampak.
"Ayo, cepet masuk. Semua keluargaku sedang pergi menghadiri acara hajatan saudar di luar kota," sambut Mbak Yani sambil menggandeng tangganku.
Darahku mendesir ketika membuntuti langkah Mbak Yani. Betapa tidak, pakaian yang dikenakan luar biasa sexy, hanya sejenis daster pendek hingga tonjolan payudara dan pahanya terasa menggoda.

"Anu, Bud… Listrik rumahku mati melulu. Mungkin ada ada
kabel yang konslet. Tolong betulin, ya… Kau tak keberatan
kan?" pinta Mbak Yani kemudian.
Tanpa banyak basa-basi Mbak Yani menggandengku masuk ke ruang tengah, kemudian masuk ke sebuah kamar.
"Nah saya curiga jaringan di kamar ini yang rusak. Buruan kau
teliti ya. Nanti keburu mahrib."

Aku hanya menuruti segala permintaannya. Setelah merunutu
jaringan kabel, akhirnya aku memutusukan untuk memanjat atap kamar melalui ranjang. Tapi aku tidak tahu persis, kamar itu tempat tidur siapa. Yang jelas, aku sangat yakin itu bukan
kamarnya bapak-ibunya. Celakanya, ketika aku menelusuri
kabel-kabel, aku belum menemukan kabel yang lecet. Semuanya beres. Kemudian aku pindah ke kamar sebelah. aku juga tak bisa menemukan kabel yang lecet. Kemudian pindah ke kamar lain lagi, sampai akhirnya aku harus meneliti kamar tidur Mbak Yani sendiri, sebuah kamar yang dipenuhi dengan aneka lukisan sensual. Celakanya lagi, ketika hari telah gelap, aku belum bisa menemukan kabel yang rusak. Akibatnya, rumah Mbak Yani tetap gelap total. Dan aku hanya mengandalkan bantuan sebuah senter serta lilin kecil yang dinyalakan Mbak Yani.

Lebih celaka lagi, tiba-tiba hujan deras mengguyur seantero
kota. Tidak-bisa tidak, aku harus berhenti. Maunya aku ingin
melanjutkan pekerjaan itu besok pagi.
"Wah, maaf Mbak aku tak bisa menemukan kabel yang rusak. Ku pikir, kabel bagian puncak atap rumah yang kurang beres. Jadi besok aku harus bawa tangga khusus," jelasku sambil melangkah keluar kamar.
"Yah, tak apa-apa. Tapi sorry yah. Aku…. merepotkanmu,"
balas Mbak Yanti.
"Itu es tehnya diminum dulu."

Sementara menunggu hujan reda, kami berdua berakap-cakap
berdua di ruang tengah. Cukup banyak cerita-cerita masalah
pribadi yang kami tukar, termasuk hubunganku dengan Mbak Yani selama ini. Mbak Yani juga tidak ketinggalan menanyakan soal puisi indah tulisannya yang dia kirimkan padaku lewat kado ulang tahunku beberapa bulan lalu.

Entah bagiamana awalnya, tahu-tahu nada percakapan kami
berubah mesra dan menjurus ke arah yang menggairahkan jiwa. Bahkan, Mbak Yani tak segan-segan membelai wajahku, mengelu telingkau dan sebagianya. Tak sadar, tubuh kami berdua jadi berhimpitan hingga menimbulkan rangsangan yang cukup berarti untukku. Apalagi setelah dadaku menempel erat pada payudaranya yang berukuran tidak begitu besar namun bentuknya indah dan kencang. Dan tak ayal lagi, penisku pun mulai berdiri mengencang. Aku tak sadar, bahwa aku sudah terangsang oleh guru sekolahku sendiri! Namun hawa nafsu birahi yang mulai melandaku sepertinya mengalahkan akal sehatku. Mbak Yani sendiri juga tampaknya memiliki pikiran yang sama saja. Ia tidak henti-hentinya mengulumi bibirku dengan nafsunya.

Akhirnya, nafsuku sudah tak tertahankan lagi. Sementara
bibirku dan Mbak Yani masih tetap saling memagut, tanganku
mulai menggerayangi tubuh guru sekolahku itu. Kujamah gundukan daging kembar yang menghiasi dengan indahnya dada Mbak Yani yang masih berpakaian lengkap. Dengan segera kuremas-remas bagian tubuh yang sensitif tersebut.

"Aaah… Budi… aah…" Mbak Yani mulai melenguh kenikmatan.
Bibirnya masih tetap melahap bibirku.

Mengetahui Mbak Yani tidak menghalangiku, aku semakin berani. Remasan-remasan tanganku pada payudaranya semakin menjadi-jadi. Sungguh suatu kenikmatan yang baru pertama kali kualami meremas-remas benda kembar indah nan kenyal milik guru sekolahku itu. Melalui kain blus yang dikenakan Mbak Yani kuusap-usap ujung payudaranya yang begitu menggiurkan itu. Tubuh Mbak Yani mulai bergerak menggelinjang.

"Uuuuhhh… Mbak….." Aku mendesah saat merasakan ada jamahan yang mendarat di selangkanganku. Penisku pun bertambah menegang akibat sentuhan tangan Mbak Yani ini, membuatku bagian selangkangan celana panjangku tampak begitu menonjol.
Mbak Yani juga merasakannya, membuatnya semakin bernafsu
meremas-remas penisku itu dari balik celana panjangku. Nafsu
birahi yang menggelora nampaknya semakin menenggelamkan kami berdua, sehingga membuat kami melupakan hubungan kami sebagai guru-murid.

"Aaauuhh… Bud… uuuh….." Mbak Yani mendesis-desis dengan
desahannya karena remasan-remasan tanganku di payudaranya bukannya berhenti, malah semakin merajalela. Matanya terpejam merasa kenikmatan yang begitu menghebat.

Tanganku mulai membuka satu persatu kancing blus Mbak Yani dari yang paling atas hingga kancing terakhir. Lalu Mbak Yani sendiri yang menanggalkan blus yang dikenakannya itu. Aku terpana sesaat melihat tubuh guru sekolahku itu yang putih dan mulus dengan payudaranya yang membulat dan bertengger dengan begitu indahnya di dadanya yang masih tertutup beha katun berwarna krem kekuningan. Tetapi aku segera tersadar, bahwa pemandangan amboi di hadapannya itu memang tersedia untukku, terlepas itu milik guru sekolahku sendiri.

Tidak ingin membuang-buang waktu, bibirku berhenti menciumi
bibir Mbak Yani dan mulai bergerak ke bawah. Kucium dan
kujilati leher jenjang Mbak Yani, membuatnya
menggelinjal-gelinjal sambil merintih kecil. Sementara itu,
tanganku kuselipkan ke balik beha Mbak Yani sehingga
menungkupi seluruh permukaan payudara sebelah kanannya. Puting susunya yang tinggi dan mulai mengeras begitu menggelitik telapak tanganku. Segera kuelus-elus puting susu yang indah itu dengan telapak tanganku. Kepala Mbak Yani tersentak menghadap ke atas sambil memejamkan matanya. Tidak puas dengan itu, ibu jari dan telunjukku memilin-milin puting susu Mbak Yani yang langsung saja menjadi sangat keras. Memang baru kali ini aku menggeluti tubuh indah seorang wanita. Namun memang insting kelelakianku membuatku seakan-akan sudah mahir melakukannya.

"Iiiihh….. auuuhhh….. aaahhh….." Mbak Yani tidak dapat
menahan desahan-desahan nafsunya. Segala gelitikan
jari-jemariku yang dirasakan oleh payudara dan puting susunya
dengan bertubi-tubi, membuat nafsu birahinya semakin
membulak-bulak.
Kupegang tali pengikat beha Mbak Yani lalu kuturunkan ke
bawah. Kemudian beha itu kupelorotkan ke bawah sampai ke perut Mbak Yani. Puting susu Mbak Yani yang sudah begitu mengeras itu langsung mencelat dan mencuat dengan indahnya di depanku. Aku langsung saja melahap puting susu yang sangat menggiurkan itu. Kusedot-sedot puting susu Mbak Yani. Kuingat masa kecilku dulu saat masih menyusu pada payudara ibuku. Bedanya, tentu saja payudara guru sekolahku ini belum dapat mengeluarkan air susu. Mbak Yani menggeliat-geliat akibat rasa nikmat yang begitu melanda kalbunya. Lidahku dengan mahirnya tak ayal menggelitiki puting susunya sehingga pentil yang sensitif itu melenting ke kiri dan ke kanan terkena hajaran lidahku.

"Oooh…. Buuuuuuuud" desahan Mbak Yani semakin lama bertambah keras. Untung saja rumahnya sedang sepi dan letaknya memang agak berjauhan dari rumah yang paling dekat, sehingga tidak mungkin ada orang yang mendengarnya.

Belum puas dengan payudara dan puting susu Mbak Yani yang
sebelah kiri, yang sudah basah berlumuran air liurku, mulutku
kini pindah merambah bukit membusung sebelah kanan. Apa yang kuperbuat pada belahan indah sebelah kiri tadi, uperbuat pula pada yang sebelah kanan ini. Payudara sebelah kanan milik guru sekolahku yang membulat indah itu tak luput menerima jelajahan mulutku dengan lidahnya yang bergerak-gerak dengan mahirnya. Kukulum ujung payudara Mbak Yani. Lalu kujilati dan kugelitiki puting susunya yang tinggi. Puting susu itu juga sama melenting ke kiri dan ke kanan, seperti halnya puting susu payudaranya yang sebelah kiri tadi. Mbak Yani pun semakin merintih-rintih karena merasakan geli dan nikmat yang menjadi-jadi berbaur menjadi satu padu. Seperti tengah minum soft drink dengan memakai sedotan plastik, kuseruput puting susu guru sekolahku itu.

"Buuuddd….. Aaaahhhhh….." Mbak Yani menjerit panjang.

Lidahku tetap tak henti-hentinya menjilati puting susu Mbak
Yani yang sudah demikian kerasnya. Sementara itu tanganku
mulai bergerak ke arah bawah. Kubuka retsleting celana jeans
yang Mbak Yani kenakan. Kemudian dengan sedikit dibantunya
sambil tetap merem-melek, kutanggalkan celana jeans itu ke
bawah hingga ke mata kaki. Tubuh bagian bawah Mbak Yani
sekarang hanya dilindungi oleh selembar celana dalam dengan
bahan dan warna yang seragam dengan behanya. Meskipun begitu, tetap dapat kulihat warna kehitaman samar-samar di bagian selangkangannya.

Ditunjang oleh nafsu birahi yang semakin menjulang tinggi,
tanpa berpikir panjang lagi, kulepas pula kain satu-satunya
yang masih menutupi tubuh Mbak Yani yang memang sintal itu.
Dan akhirnya tubuh mulus guru sekolahku itu pun terhampar
bugil di depanku, siap untuk kunikmati.

Tak ayal, jari tengahku mulai menjamah bibir vagina Mbak Yani
di selangkangannya yang sudah mulai ditumbuhi bulu-bulu tipis
kehitaman walaupun belum begitu banyak. Kutelusuri sekujur
permukaan bibir vagina itu secara melingkar berulang-ulang
dengan lembutnya. Tubuh Mbak Yani yang masih terduduk di sofa melengkung ke atas dibuatnya, sehingga payudaranya semakin membusung menjulang tinggi, yang masih tetap dilahap oleh mulut dan bibirku dengan tanpa henti.

"Oooohhh….. Budddyyyy….. Iiiihhh….. Buuud…..!"

Jari tengahku itu berhenti pada gundukan daging kecil berwarna
kemerahan yang terletak di bibir vagina Mbak Yani yang mulai
dibasahi cairan-cairan bening. Mula-mula kuusap-usap daging
kecil yang bernama klitoris ini dengan perlahan-lahan.
Lama-kelamaan kunaikkan temponya, sehingga usapan-usapan tersebut sekarang sudah menjadi gelitikan, bahkan tak lama kemudian bertambah lagi intensitasnya menjadi sentilan. Klitoris Mbak Yani yang bertambah merah akibat sentuhan jariku yang bagaikan sudah profesional, membuat tubuh pemiliknya itu semakin menggelinjal-gelinjal tak tentu arahnya.

Melihat Mbak Yani yang tampak semakin merangsang, aku menambah kecepatan gelitikanku pada klitorisnya. Dan akibatnya, klitoris Mbak Yani mulai membengkak. Sementara vaginanya pun semakin dibanjiri oleh cairan-cairan kenikmatan yang terus mengalir dari dalam lubang keramat yang masih sempit itu.

Puas menjelajahi klitoris Mbak Yani, jari tengahku mulai
merangsek masuk perlahan-lahan ke dalam vagina guru sekolahku itu. Setahap demi setahap kumasukkan jariku ke dalam vaginanya. Mula-mula sebatas ruas jari yang pertama. Dengan susah payah memang, sebab vagina Mbak Yani memang masih teramat sempit. Kemudian perlahan-lahan jariku kutusukkan lebih dalam lagi. Pada saat setengah jariku sudah amblas ke dalam vagina Mbak Yani, terasa ada hambatan. Seperti adanya selaput yang cukup lentur.

"Aiiihh… Bud…" Mbak Yani merintih kecil seraya meringis
seperti menahan rasa sakit. Saat itu juga, aku langsung sadar,
bahwa yang menghambat penetrasi jari tengahku ke dalam vagina Mbak Yani adalah selaput daranya yang masih utuh. Ternyata guru sekolahku satu-satunya itu masih perawan. Baru aku tahu, ternyata sebandel-bandelnya Mbak Yani, ternyata guru sekolahku itu masih sanggup memelihara kehormatannya. Aku sedikit salut padanya. Dan untuk menghargainya, aku memutuskan tidak akan
melanjutkan perbuatanku itu.

"Bud….. Kok distop….." tanya Mbak Yani dengan nafas
terengah-engah.

"Mbak, Mbak kan masih perawan. Nanti kalo aku terusin kan Mbak
bisa….."

Mbak Yani malah menjulurkan tangannya menggapai
selangkanganku. Begitu tangannya menyentuh ujung penisku yang masih ada di dalam celana pendek yang kupakai, penisku yang tadinya sudah mengecil, sontak langsung bergerak mengeras kembali. Ternyata sentuhan lembut tangannya itu berhasil membuatku terangsang kembali, membuatku tidak dapat membantah apapun lagi, bahkan aku seperti melupakan apa-apa yang kukatakan barusan.

Dengan secepat kilat, Mbak Yani memegang kolor celana pendekku itu, lalu dengan sigap pula celanaku itu dilucutinya sebatas lutut. Yang tersisa hanya celana dalamku. Mata Mbak Yani tampak berbinar-binar menyaksikan onggokan yang cukup besar di selangkanganku. Diremas-remasnya penisku dengan tangannya, membuat penisku itu semakin bertambah keras dan bertambah panjang. Kutaksir panjangnya sekarang sudah bertambah dua kali lipat semula. Bukan main! Semua ini akibat rangsangan yang kuterima dari guru sekolahku itu sedemikian hebatnya.

"Mbak….. aku buka dulu ya," tanyaku sambil menanggalkan
celana dalamku.

Penisku yang sudah begitu tegangnya seperti meloncat keluar
begitu penutupnya terlepas.

"Aw!" Mbak Yani menjerit kaget melihat penisku yang begitu
menjulang dan siap tempur. Namun kemudian ia meraih penisku itu dan perlahan-lahan ia menggosok-gosok batang 'meriam'-ku itu, sehingga membuat otot-otot yang mengitarinya bertambah jelas kelihatan dan batang penisku itu pun menjadi laksana tonggak yang kokoh dan siap menghujam siapa saja yang menghalanginya. Kemudian Mbak Yani menarik penisku dan membimbingnya menuju selangkangannya sendiri. Diarahkannya penisku itu tepat ke arah lubang vaginanya.

Sekilas, aku seperti sadar. Astaga! Mbak Yani kan guru
sekolahku sendiri! Apa jadinya nanti jika aku sampai
menyetubuhinya? Apa kata orang-orang nanti mengetahui aku
berhubungan seks dengan guru sekolahku sendiri?

Akhirnya aku memutuskan tidak akan melakukan penetrasi lebih jauh ke dalam vagina Mbak Yani. Kutempelkan ujung penisku ke bibir vagina Mbak Yani, lalu kuputar-putar mengelilingi bibir gua tersebut. Mbak Yani menggerinjal-gerinjal merasakan sensasi yang demikian hebatnya serta tidak ada duanya di dunia ini.

"Aaahhh….. uuuhhhh….." Mbak Yani mendesah-desah dengan
Yanirnya sewaktu aku sengaja menyentuhkan penisku pada
klitorisnya yang kemerahan dan kini kembali membengkak.
Sementara bibirku masih belum puas-puasnya berpetualang di
payudara Mbak Yani itu dengan puting susunya yang
menggairahkan. Terlihat payudara guru sekolahku itu dan daerah sekitarnya basah kuyup terkena jilatan dan lumatanku yang begitu menggila, sehingga tampak mengkilap.

Aku perlahan-lahan mulai memasukkan batang penisku ke dalam lubang vagina Mbak Yani. Sengaja aku tidak mau langsung menusukkannya. Sebab jika sampai kebablasan, bukan tidak mungkin dapat mengoyak selaput daranya. Aku tidak mau melakukan perbuatan itu, sebab bagaimanapun juga Mbak Yani adalah guru sekolahku, darah dagingku sendiri!

Mbak Yani mengejan ketika kusodokkan penisku lebih dalam lagi ke dalam vaginanya. Sewaktu kira-kira penisku amblas hampir setengahnya, ujung "tonggak"-ku itu ternyata telah tertahan oleh selaput dara Mbak Yani, sehingga membuatku menghentikan hujaman penisku itu. Segera saja kutarik penisku perlahan-lahan dari Yaning surgawi milik guru sekolahku itu. Gesekan-gesekan yang terjadi antara batang penisku dengan dinding lorong vagina Mbak Yani membuatku meringis-ringis menahan rasa nikmat yang yang tak terhingga. Baru kali ini aku merasakan sensasi seperti ini. Lalu, kembali kutusukkan penisku ke dalam vagina Mbak Yani sampai sebatas selaput daranya lagi dan kutarik lagi sampai hampir keluar seluruhnya.

Begitu terus kulakukan berulang-ulang memasukkan dan
mengeluarkan setengah batang penisku ke dalam vagina Mbak
Yani. Dan temponya pun semakin lama semakin kupercepat.
Gesekan-gesekan batang penisku dengan Yaning vagina Mbak Yani semakin menggila. Rasanya tidak ada lagi di dunia ini yang dapat menandingi kenikmatan yang sedang kurasakan dalam permainan cintaku dengan guru sekolahku sendiri ini.
Kenikmatan yang pertama dengan kenikmatan berikutnya,
disambung dengan kenikmatan selanjutnya lagi, saling
susul-menyusul tanpa henti.

Tampaknya setan mulai merajalela di otakku seiring dengan
intensitas gesekan-gesekan yang terjadi di dalam vagina Mbak
Yani yang semakin tinggi. Kenikmatan tiada taranya yang serasa tidak kesudahan, bahkan semakin menjadi-jadi membuat aku dan Mbak Yani menjadi lupa segala-galanya. Aku pun melupakan semua komitmenku tadi.

Dalam suatu kali saat penisku tengah menyodok vagina Mbak
Yani, aku tidak menghentikan hujamanku itu sebatas selaput
daranya seperti biasa, namun malah meneruskannya dengan cukup keras dan cepat, sehingga batang penisku amblas seluruhnya dalam vagina Mbak Yani. Vaginanya yang amat sempit itu berdenyut-denyut menjepit batang penisku yang tenggelam sepenuhnya.

"Aaaauuuuwwww….." Mbak Yani menjerit cukup keras kesakitan.
Tetapi aku tidak menghiraukannya. Sebaliknya aku semakin
bernafsu untuk memompa penisku itu semakin dalam dan semakin cepat lagi penetrasi di dalam vagina Mbak Yani. Tampaknya rasa sakit yang dialami guru sekolahku itu tidak membuat aku mengurungkan perbuatan setanku. Bahkan genjotan penisku ke dalam lubang vaginanya semakin menggila. Kurasakan, semakin cepat aku memompa penisku, semakin hebat pula gesekan-gesekan yang terjadi antara batang penisku itu dengan dinding vagina Mbak Yani, dan semakin tiada tandingannya kenikmatan yang
kurasakan.

Hujaman-hujaman penisku ke dalam vagina Mbak Yani
terus-menerus terjadi sambung-menyambung. Bahkan tambah lama bertambah tinggi temponya. Mbak Yani tidak sanggup berbuat apa-apa lagi kecuali hanya menjerit-jerit tidak karuan.
Rupa-rupanya setan telah menguasai jiwa kami berdua, sehingga kami terhanyut dalam perbuatan yang tidak sepantasnya dilakukan oleh dua guru dan murid.

"Aaaah….. Budi….. aaahhh….." Mbak Yani menjerit panjang.
Tampaknya ia sudah seakan-akan terbang melayang sampai langit ketujuh. Matanya terpejam sementara tubuhnya bergetar dan menggelinjang keras. Peluh mulai membasahi tubuh kami berdua. Kutahu, guru sekolahku itu sudah hampir mencapai orgasme. Namun aku tidak mempedulikannya. Aku sendiri belum merasakan apa-apa. Dan lenguhan serta jeritan Mbak Yani semakin membuat tusukan-tusukan penisku ke dalam vaginanya bertambah menggila lagi. Mbak Yani pun bertambah keras jeritan-jeritannya. Pokoknya suasana saat itu sudah gaduh sekali. Segala macam lenguhan, desahan, ditambah dengan jeritan berpadu menjadi satu.

Akhirnya kurasakan sesuatu hampir meluap keluar dari dalam
penisku. Tetapi ini tidak membuatku menghentikan penetrasiku pada vagina Mbak Yani. Tempo genjotan-genjotan penisku juga tidak kukurangi. Dan akhirnya setelah rasanya aku tidak sanggup menahan orgasmeku, kutarik penisku dari dalam vagina Mbak Yani secepat kilat. Kemudian dengan tempo yang tinggi, kugosok-gosok batang penisku itu dengan tanganku. Tak lama kemudian, cairan-cairan kental berwarna putih bagaikan layaknya senapan mesin bermuncratan dari ujung penisku. Sebagian mengenai muka Mbak Yani. Ada pula yang mengenai payudara dan bagian tubuhnya yang lain. Bahkan celaka! Ada pula yang belepotan di jok sofa yang diduduki Mbak Yani. Ditambah dengan darah yang mengalir dari dalam vaginanya, menandakan keperawanan guru sekolahku itu berhasil direnggut olehku, adik kandungnya sendiri!

Dan akhirnya karena kehabisan tenaga, aku terhempas begitu
saja ke atas sofa di samping Mbak Yani. Tubuh kami berdua
sudah bermandikan keringat dari ujung rambut ke ujung kaki.
Aku hanya mengenakan kaus oblong saja, sedangkan Mbak Yani telanjang bulat tanpa selembar benangpun yang menutupi
tubuhnya.

Sinta Yang Bahenol

Semua ini berawal beberapa tahun yang lalu, saat aku masih kelas II SMU. Saat itu aku pergi ke kota Jakarta, mumpung lagi libur, sekalian mengunjungi saudara-saudara yang ada di sana. Disana aku nginep di tempat Oomku yang punya tiga anak, yaitu Agung, Sinta, dan Dina. Agung sudah kuliah, Sinta sebaya dengan aku (lebih tua dia tiga bulan), dan Dina masih SMP kelas II. Aku masih ingat betul, nyampe di Jakarta hari Senin sore di Stasiun Gambir, dan saat itu langsung disambut oleh Oomku sekeluarga.

“Hai Vit, gimana kabarnya? Wah, tambah gede aja lo. Mama baik?” dan beribu pertanyaan dan komentar yang harus aku tanggapi di perjalanan dari stasiun ke rumah Oomku.
Tapi, pikiranku bukannya tertuju ke pertanyaan-pertanyaan itu, tapi justru kepada Sinta sepupuku, benarkah itu Sinta? Si gadis culun itu? Bukan, sekarang Sinta sangat jauh berbeda dengan yang kutemui 2 tahun lalu. Dulu dia sangat polos, wajahnya biasa saja, bodinya juga kerempeng, tapi sekarang? Wauw, waktu benar-benar telah merubahnya, kulitnya yang putih, wajahnya yang imut-imut dibalut make up tipis, dan perubahan yang paling nampak adalah bodinya yang semlohai dibungkus kaos ketat membuat dadanya begitu menantang dengan ukuran kira-kira 36B. Gue cuman bisa menelan ludah.
“Hoi, diajak ngomong malah ngelamun.”
Sialan nih si Agung, bikin napsu gue jadi ngedrop.
“Iya nih si Vito, dari tadi diajakin ngomong kaga nyambung-nyambung”, timpal Sinta sambil menggelendot manja di pundak gue.
Dia memang akrab banget sama gue, dari kecil sama-sama, main bareng, mandi bareng, tapi udah lama nggak, soalnya gue pindah dari Jakarta ke kota gue sekarang waktu masih kelas IV SD, ngikut bonyok.

Aku cuman bisa senyum-senyum, nggak lama kemudian, kita nyampe, dan aku pamit mau mandi dulu. Pas gue mandi, sialan adek gue kaga mau turun-turun, ngaceng terus mikirin bodinya Sinta, buset dah, gimana ya rasanya megang toket segede gitu? Terus terang aja aku belum pernah megang toketnya cewe, apalagi ngentot, paling mentok ya ngocok sendiri. Terlebih ukuran kontol gue termasuk pas-pasan, cuman 14 cm kalo lagi ngaceng. Dengan ukuran yang cuman segitu, gue jadi minder ngedeketin cewe. Pelajaran sex gue dapetin dari nonton Blue Film.

“Vit, ngapain lo di dalem? Lama banget, gantian dong, gue juga mau mandi nih!” Sinta teriak dari luar.
Gue melongok, buka pintu dikit.
“Ngapain Sin? Kamu mau mandi juga?”
“Yoi, cepatan donk, lo mo ngikut kaga? Gue mo nyusul bokap neh.”
“Lho, emangnya pada kemana?”
“Pergi semua ke Oom Yong, ntar kita nyusul aja”.
“Hmm, pada pergi semua, kesempatan nih”, pikir gue.
“Ya udah, kita mandi bareng-bareng aja yuk”.
“Gile lo Vit, mandi bareng?”
“Iya, kita kan udah biasa mandi bareng”.
“Itu kan dulu! Sekarang ya udah nggak pantes kalo kita mandi bareng”
“Ahh, sekarang atau dulu kan sama aja.”
Lalu gue tarik dia masuk ke kamar mandi, nggak sengaja tangannya nyenggol kontol gue yang masih ngaceng. Muka Sinta langsung merah padam, malu kali.
“Napa Sin? Malu? Ga usah malu, kan kita udah biasa mandi bareng, sini aku bukain bajunya”
“Vit! Lo gila ya? Udah ah, gue males main-mainnya. Kita kan udah pada gede Vit.”
“Lho, apa salahnya sih? Mandi bareng kan nggak pa pa?” Sinta diem aja.
“Udah, sini aku bukain bajunya”
Gue pura-pura cuek, berlagak bener-bener mau mandiin beneran, padahal jantung gue udah mau copot rasanya. Gile nih anak, bodinya bagus banget, ini toket beneran bukan sih.

“Gue sabunin ya?”
Sinta diem aja saat gue siramin air dari shower, lalu gue sabunin seluruh tubuhnya, lalu pas tangan gue di toketnya, sengaja gue lama-lamain, ouuhh, nikmat dan benar benar kenceng, trus gue mainin pentilnya, gue pilin-pilin, diputer, dielus-elus, Sinta diem, tapi dari nafasnya yang memburu gue tau kalo dia udah mulai terangsang.
“Aahh, Vit, jangan digituin dong, geli.”
“Tapi enak kan? Udah, diem aja, nggak usah ribut”.
Gue terus aja cemek-cemek itu toket, dan Sinta mulai mendesah nggak keruan,
“Mmmhh.. mmhh.. aduuhh.. Geli ah, Vit. Udah dong”
“Napa sih Sin, lo bawel amat? Ini lagi dibersihin, lagi disabunin, diem aja napa?”
Gue salut ama diri gue, bisa bersikap sok cuek seperti gitu, padahal Sinta udah mendesah nggak keruan.
“Aaahh, terus Vit, teruuss, aahh.. oohh, god, enak banget.”
“Ih elo jangan mendesah seperti gitu dong, gue jadi pengen juga nih, sini, gue tuntun elo ke jalan yang benar”

Tangan Sinta gue tarik, terus gue suruh dia pegang-pegang kontol gue, pertamanya memang masih pegangannya masih agak kaku, tapi lama-kelamaan jadi makin enak, terlebih buat gue, yang belum pernah tau kenikmatan duniawi. Dan Sinta pun makin lama makin lihai dalam memainkan kontol gue, gue merem melek, sambil terus meremas-remas toket Sinta, dan desahan- desahan yang keluar dari mulut kami sudah tak beraturan.
“Teruus Siin, oohh, gile beneerr oohh.., aahh..” terus gue kelamotin pentil Sinta yang berwarna pink tua (bukan pink, tapi juga bukan coklat.
“Sluurrpp.., sluurrpp.., crruup..”
“Aahh,.. teruuss Viit, adduuhh, gue nggak tahann, enaakk bangeet.. oohh.. oohh.. auuhh..”

Pelan-pelan gue deketin kontol gue ke bagian bawah perutnya, terus gue gesek kontol gue di bibir memeknya. Sinta melenguh, “Oouuhh,.. ouhh.. oohh.. ahh”
“Auuhh.. auuhh.. Vit.. gue jadi pengen pipis nih.. auuhh.. oohh”
Gue gesekin kontol gue lebih cepat, Sinta makin beringas, badannya meronta nggak beraturan.
“Ahh.. uuhh.. Vit.. Gue.. gue.. pipis.. ahh.. ahh..”
Sinta menggelinjang, tangannya mencengkeram punggung gue.
“Sin, gue masukin ya, sayang..”
“Jangan, Vit, jangan”
“Ayo dong Sin.., gue nggak tahan nih, gue kepengen tau rasanya ngentot”
“Jangan Vit! Gue.., gue.. masih.. Please, Vit, jangan..”
“Masa elo nggak pengen tau enaknya ngentot, Sin?”
“Iya, tapi please Vit, jangan, gue belon pernah digituin, gue masih.. masih.. virgin. please.. jangan..”
“Gue jadi nggak tega ngeliatin mukanya yang memelas”
“OK, nggak pa pa deh, tapi elo mau kan bantu gue? Tolong pegang-pegang kontol gue dong, nanggung nih.. cuman pegang aja, kocokin sampe gue pipis juga. Mau ya? Please.”
Sinta mengangguk, lalu mulai memegang-megang kontol gue lagi, lalu mulai mengocoknya dengan gerakan maju mundur, ahh, enak banget..
“Sin, jilatin donk, diemut juga boleh..”

Pada mulanya Sinta menolak, tapi berkat jurus rayuan mautku, akhirnya dia mau meniup ’seruling’ku.
“sluurrpp.., sluurrpp.., crruup..”
“Aoohh, teruuss, Siinn.. oohh.. teruuss.. jilatin, Sin.. oohh.”
Mendengar desahanku, Sinta makin bersemangat, jilatannya makin ganas, dari pangkal sampai ujung kontolku dijilatinya sampai tak bersisa, lalu dikulum, diemut maju mundur, aku sampai blingsatan dibuatnya.
Sampai pada akhirnya, “Ahh.., Siinn.., teruuss, jangan dilepaass.. sedoot yang kuaatt..”
Croott.., croot.., cruut.. cruutt.. cruutt.. pejuku menyemprot keluar sebagian di mulutnya, dan sebagian lagi menyemprot di dada dan mukanya. Ooohh, benar-benar nikmat.., inikah surga dunia? Belum tentu, karena gue belum tahu, ada yang lebih menyenangkan dari ini.

Setelah kejadian di kamar mandi itu, gue dan Sinta berangkat ke rumah Oom Yong naik taksi, dan setelah berbasa-basi sebentar, ngobrol-ngobrol dengan Oom Yong, kami pulang bersama-sama ortunya Sinta.
Agung memecahkan keheningan di mobil, “Vit, nanti kamu tidur di kamarku aja, kita ngobrol sampe pagi.”
Belum sempat aku ngejawab, Sinta udah menimpali, “Kasian dong, udah Capek di kereta, masih mau diajak ngobrol, biar di kamar gue aja, ntar gue tidur sama Dina. Lagian kamar elo jorok, bau. Udah Vit, elo di kamar gue aja. ntar gue gantiin sepreinya.”

Malam itu, kira-kira jam sepuluh lebih dikit, gue belum bisa tidur, gue masih kepikiran kejadian di kamar mandi tadi sore, tau-tau pintu kamar diketok, gue buka dikit, Sinta di depan pintu sambil cengar-cengir.
“Napa Sin?”
“Ssstt, nggak pa pa, gue cuma pengen ngobrol bentar, mau kan?”
Sinta masuk, diam-diam aku nelen ludah lagi, gile bener, pakaiannya, baby doll dari bahan tipis, membuat apa yang ada di dalamnya jadi nyaris terlihat.
“Dina sudah tidur?” aku membuka pembicaraan.
“Sudah, eh, omong-omong, tadi sore bener-bener enak loh Vit.”
Deg. Sinta langsung to the point, jantung gue mulai dag Dig dug lagi.
“Sorry Sin, aku tadi nggak niat gitu, tapi kebawa napsu aja, sorry ya Sin, Elo mau kan maapin gue?”
Di luar dugaan, Sinta malah ketawa pelan, “Nggak pa pa kok Vit, aku justru mau ngomong makasih, soalnya aku belum pernah ngerasain seenak itu. Dari dulu gue pengen ngerasain dicumbu sama cowok, tapi gue kan nggak boleh pacaran sama Papa, jadinya ya nggak kesampaian. Tadi aku udah ngerasain, rasanya benar-benar enak banget. Tapi jangan diulangi lagi ya, gue takut ntar kebablasan.”

Kami ngobrol nggak lama, dan nggak terasa gue ketiduran. Ngga tau berapa lama kemudian, gue terbangun, dan sempet kaget juga ternyata Sinta tidur di sebelah gue, dengan posisi miring, gue cuek aja, dan ngeloyor keluar mau ambil minum, pas gue balik ke kamar, posisi Sinta udah berubah menjadi telentang, dan mau tak mau gue melihat pemandangan yang mengasyikkan itu, dua buah gunung kembar yang menjulang, dan kakinya sedikit menekuk ke samping, sehingga CD pink-nya yang bergambar bunga-bunga terlihat jelas.

Batang kejantananku mulai mengeras, dan darahku rasanya sudah naik ke ubun-ubun, sialan, ni anak bener-bener bikin napsu, serta merta gue deketin dengan hati-hati dan kuusahakan supaya nggak ngagetin dia, pelan pelan gue buka bajunya, kebetulan baju tidurnya adalah baby doll tipis dengan kancing di depan, sehingga usaha gue bisa berhasil dengan mudahnya. Tangan gue mulai bergerilya, dan gue raba toketnya yang sekel itu lalu gue remes pelan2, tapi gue nggak puas sampe disitu, BHnya gue tarik ke atas pelan-pelan sampe toketnya keluar dari BH, terus gue emut pentilnya dan gue kulum-kulum pelan, Sinta menggeliat sebentar, tapi nggak terbangun, setelah gue rasa aman, baru gue lanjutin bergerilya, CDnya gue tarik ke bawah, dan terlihat rerimbunan jembut yang nggak begitu lebat. Sinta menggeliat lagi, dan gue berhenti.

Setelah beberapa menit, gue mulai lagi, gue buka celana gue biar si kecil nggak tertekan di dalam CD gue, gue lebarin kakinya Sinta, terus gue jilatin lipetan memeknya, hmm, baunya benar-benar merangsang, gue buka lipetan memeknya itu, dan terlihat merah merekah, lalu gue jilatin lagi, dan terasa ada daging sebesar kacang, inikah yang disebut clitoris? Ah, peduli amat, gue jilatin terus memeknya Sinta, dan gue fokus di clitorisnya sampe basah dan Sinta mulai gerak-gerak lagi, wah, celaka kalo sampe bangun, bisa berabe nih, tapi udah kepalang tanggung, gue kaga peduli lagi, gue udah nggak tahan, kakinya Sinta gue angkat, terus pelan-pelan gue masukin kepala kontol gue ke bibir memek Sinta, Sinta terbangun dan kaget, langsung gue sodokin kontol gue, bleess.
“Aahh, adduuhh..” pekik Sinta.
Langsung gue tutupin mulutnya pake tangan.
“Aahh,.. hepp.. ssh..”
Gue mulai gerakin kontol gue maju mundur, ouhh.. sempit banget, dan Sinta mengerang-erang kesakitan, tapi setelah berapa lama, dia mulai tenang, trus gue lepasin tangan gue dari mulutnya.
Gue bisikin, “Sstt jangan teriak Sin, ntar ada yang denger. Kamu nikmatin aja, OK?” Sinta cuma mengangguk lemah.

Langsung aku goyang maju mundur, kiri kanan sekuat tenaga.
Sinta mendesah, “Emmpphh.. emmhh.. emhh.. akkhh.. ahh.. oouuhh..”
“Masih sakit Sin?”
“Ngga.., sekarang malah jadi enak.., terus Vit, jangan berhenti..”
“Goyangin pantatnya Sin”
Sinta menurut dan menggoyangkan pantatnya.
“Akkhh.. ahh.. ahh.. ouuhh.. ouuhh.. terruuss.. Viitt teruuss.. terruuss.. oouuhh.. enak banggeet..”
Gue makin bernapsu denger desahan Sinta, gue tarik kontol gue sampai sebatas kepala zakar, trus gue sodok sekenceng-kencengnya, gue sodok-sodok terus, Sinta semakin blingsatan dan memek Sinta makin terasa becek dan hangat di kontol gue. Crepp.. crepp.. crepp.. crepp.. gesekan kontol gue dan memek Sinta yang becek menimbulkan bunyi-bunyi yang merangsang.

“Oohh.. ahh.. auuhh.. ahh..”
Sinta mendesah nggak keruan dan sepertinya dia sangat menikmati permainan ini, aku terus aja nyodok, makin lama makin cepat.
“Auuhh.. oohh.., Viitt,.. aku.. aku.. nggak tahaann.., enaakk.. terruuss.. dikiitt lagii.. aahh.. truuss goyanngg.. aahh, gue.. pipiiss..”
Serr.. serr.. serr.., gue liat Sinta udah nyampe, kontol gue seperti disiram air hangat, gue goyang lebih cepat.
“Tahaann.. bentaarr.. Sin.., akuu.. jugaa.. mauu.. keluuaarr..”
Dan akhirnya cruutt.. cruutt.. cruutt.. gue semprotin peju gue di dalam memek Sinta, sambil gue goyangin terus kontol gue. Akkhh, ini baru surga dunia. Nikmat.

Gue tiduran di sebelah Sinta yang tersenyum lemas, senyum kepuasan, menikmati indahnya dunia, beberapa saat kemudian Sinta mencium bibir gue, trus gue balas pagut bibirnya dan kami berciuman cukup lama, seperti sepasang kekasih yang sedang bermesraan. Pada saat mau ke kamar mandi untuk ngebersihin badan, Sinta memekik kaget melihat noda darah di seprei yang baru digantinya tadi sore. Wajahnya menunjukkan setitik penyesalan, gue peluk dia, sambil mengusap-usap kepalanya.

Jujur gue katakan, gue juga menyesal, telah merenggut keperawanan seorang gadis, terlebih itu saudara sepupu gue sendiri. Tapi kini, setelah lewat beberapa tahun, hal itu masih sering kami lakukan, saat Sinta datang ke kota gue atau gue ke Jakarta, kami selalu menyempatkan diri untuk bertemu dan memadu kasih layaknya sepasang kekasih, padahal saat ini gue sudah punya istri, dan seorang anak berumur enam bulan, dan Sinta sudah memiliki pacar, dan berencana untuk menikah dalam waktu dekat. Baik istri saya maupun pacar Sinta nggak menaruh curiga dengan kami, dan menganggap hubungan kami adalah sebatas saudara dekat/akrab semata.

*****

Semua kejadian ini adalah nyata dan nggak direkayasa, terserah mau percaya atau nggak. Apabila ada pembaca yang ingin berkenalan dengan saya, pintu selalu terbuka, silakan kirim email ke saya, pasti saya balas.

Akibat Pesta Seks

Rumah besar bertingkat dua di ujung jalan tersebut terlihat sangat lengang lewat tengah malam ini. Padahal beberapa jam lalu masih terdengar hingar bingar suara house musik dan ketawa cekikikan khas anak anak ABG yang sedang berpesta di tempat itu. Satu persatu mereka meninggalkan rumah besar tersebut, hingga hanya terlihat meninggalkan seorang anak muda berambut agak pendek namun memiliki tubuh yang tegap berisi cenderung atletis, sangat sesuai dengan wajahnya yang tampan.

Mario, anak muda pemilik rumah besar tempat pesta itu dilaksanakan sedang membereskan ruangan yang sangat berantakan sepertinya habis diterjang gelombang tersebut. Samar-samar masih terdengar alunan lagunya Never Gonna Let You Go-nya Sergio Mendez itu, sangat kontras sekali suasana dengan beberapa jam lalu dengan hentakan house musik yang mungkin membuat suasana menjadi hingar bingar. “Hhh..! Berantakan sekali ruangan ini”, desahnya sangat berat. Baru saja Rio berjalan melangkah, kakinya langsung terhenti begitu matanya menatap sesosok tubuh yang sedang tergolek di karpet beludru warna merah di ruangan itu. Dia melangkah lebih dekat lagi untuk mengetahui lebih jauh siapa gadis yang tertidur di karpet merah tersebut. “Kasihan..” desahnya lagi seraya berlutut untuk membetulkan pakaian yang tersingkap itu.

“Santi.. San.. bangun!” Rio mencoba untuk membangunkan gadis itu. “Hmm..” terdengar gumaman kecil dari gadis itu. Kelihatannya dia mencoba untuk bangkit berdiri, namun terasa kepalanya sangat berat sekali. “Ayo.. aku antar kamu ke kamar ya. Kamu pasti mabuk..” kata Rio sambil memapah, membawa pergi gadis itu untuk meninggalkan ruangan yang berantakan seperti kapal pecah itu. “Terima kasih Rio.. tapi yang lain ke mana, apakah pesta sudah selesai”, cecar gadis itu kepadanya. “Sudah sejak tadi. Sudah lama mereka pulang”, sahut pemuda bernama Rio itu. Kemudian Rio memapah gadis itu menuju ke kamarnya di lantai atas dan membawa gadis itu ke ke kamarnya yang cukup besar, dengan sebuah ranjang di tengah kamar tersebut. Rio membaringkan gadis bernama Santi itu di ranjangnya. Dia bermaksud meninggalkan ruangan tersebut, namun sepasang tangan halus mencekal tangannya dengan kuat. Dengan terpaksa Rio duduk di samping ranjang dan memandang wajah cantik milik gadis bernama Santi itu.

“Santi.. kamu tidur aja di sini. Besok pagi aku akan antar kamu, soalnya malam ini aku harus membereskan ruangan di bawah”, kata Rio kepadanya.
“Biar saja, Rio. Besok aku bantu kamu untuk membereskannya. Sekarang ini kamu di sini aja. Temani aku, Hmm..” desahnya lembut di telinga Rio.
“Bolehkan Rio..” pintanya sambil mengembangkan senyum manisnya yang menggoda kepada Rio.
“Kamu mabuk Santi..”
“Siapa bilang aku mabuk? Ayolah Rio. Apakah kau tidak mau melewatkan malam ini denganku Rio?” sambil melingkarkan kedua tangannya di leher pemuda itu.
“Hhh..” Rio menghembuskan nafasnya dalam-dalam.
“Kenapa Rio? Kau tidak suka padaku Rio”, kata gadis itu padanya.
“Kamu cantik sekali Santi..” ujar Rio.
“Lalu.. kenapa kamu mau meninggalkanku Rio?” kata gadis itu lagi kepadanya.
“Bukan itu Santi.. Aku cuma ingin membereskan rumah ini, sebelum orang tuaku pulang..” kata Rio kepada gadis itu.
“Khan mereka perginya seminggu Rio.. ayolah Rio, kamu nggak usah cemas, aku pasti bantuin kamu ngeberesin rumah ini”, rajuk gadis itu padanya.
“Rio.. aku pengen banget berdua bersamamu malam ini”, goda gadis bernama Santi itu lagi kepadanya, sambil kedua tangannya memeluk leher Rio lebih erat lagi.

Sambil mendesah, menghembuskan nafasnya yang agak panas ke wajah Rio, gadis itu langsung melumat bibir Rio. Sebagai pemuda normal, Rio yang cukup berdarah panas dengan gemas langsung membalas ciuman gadis itu dengan menekan kuat kepala gadis itu untuk menambah kuatnya gairah ciuman mereka. Kedua tangan Rio yang tadinya memeluk badan dan bahu gadis itu, salah satu turun ke bawah untuk meraba dan mengelus-elus pahanya yang putih mulus itu. Desahan Santi yang sudah sangat terbakar gairahnya semakin kuat saja. Tanpa malu-malu lagi Santi dengan tidak sabarnya membuka pakaiannya yang model longdress dengan kedua bahunya yang terbuka itu, secara aktraktif Santi membuka satu persatu pakaiannya seolah penari streptease sampai ia telanjang tidak berpakaian lagi saat ini.

Kemudian Santi memegang tangan Rio, untuk kemudian membimbingnya menuju bukit kemaluannya yang sudah sangat basah oleh cairan gairahnya itu. Sedangkan tangan Rio yang satunya lagi dibimbingnya menuju payudaranya yang semakin membusung indah itu. Dengan gairah yang sudah sangat terbakar itu, Rio meningkatkan aktifitas kedua tangannya yang bekerja di area yang berbeda itu. Sambil terus berciuman dengan nikmatnya. Tangan kiri yang berada di bukit kemaluan Santi yang semakin basah saja, terus melakukan tugasnya dengan intens. Dengan jari-jari yang agak kasar, Rio menekan-nekan jari tengahnya keluar masuk di bukit kemaluan Santi yang memang sangat indah itu. Sedangkan tangan Rio yang satu lagi dengan asyiknya memerah kedua bukit kembar yang sudah sangat tegang ke atas itu dengan tidak lupa untuk memberikan sentuhan-sentuhan yang memabukkan di kedua putingnya. Santi yang memang sudah sangat bernafsu, tanpa sungkan-sungkan lagi, mendesah-desah dengan sangat kuatnya.

“Rio.. please beri aku kepuasan malam ini Rio. Please, berikan aku kepuasan.. Rio.. Hhh..” desahnya semakin berat saja. Rio yang mendengar kata-kata vulgar yang diucapkan Santi, semakin terbakar saja nafsu birahinya. Tanpa melakukan pemanasan yang lama, Rio membuka reitsleting jeans-nya ke bawah dan kemudian mengeluarkan batang kemaluannya yang sudah sangat keras dengan kepala kemaluannya yang besar yang sudah berkilat-kilat kemerah-merahan pertanda sudah semakin banyak saja darah terkumpul di sana. Tanpa basa-basi lagi Rio membuka bibir kemaluan dan secara perlahan-lahan untuk tidak menyakiti Santi nantinya, Rio menyeruakkan batang kemaluannya yang semakin tegang dan semakin besar itu ke dalam liang kemaluan Santi yang semakin basah saja dengan cairan gairahnya. Sedikit demi sedikit kepala batang kemaluan Rio yang cukup panjang dan besar itu menyeruak, membuka rambut kemaluan yang hitam dan cukup lebat itu dan bibir liang kemaluan Santi.

Sambil diiringi desahan nikmatnya Santi, akhirnya dengan tekanan yang agak kuat, batang kemaluan itu berhasil masuk seluruhnya. Cukup lama dia memendamnya di lorong gelap itu.
“Boleh aku meneruskannya.. San?” pinta Rio pada gadis itu.
“Yahh Rio.. lakukan sayang.. entot aku dengan kuat Rio.. Hhh..” desahnya lagi semakin kuat.
Tidak lama kemudian dengan kedua tangannya berada di kedua pantat Santi yang bahenol dan bagus itu sebagai tumpuan, Rio menghujam-hujamkan batang kemaluannya dalam-dalam, semakin lama semakin cepat. Akibatnya rintihan dan desahan Santi semakin kuat saja, sambil kedua tangannya semakin erat saja memeluk leher pemuda itu.
“Oh Rio.. tekan lebih dalam sayang.. Hhh.. Terus Rio.. terus.. Entot aku lebih dalam lagi sayang.. Iya.. iya gitu sayang.. ohh God.. ini enak banget Rio.. Hhh..” desahnya semakin keras sambil bibirnya menciumi wajah Rio dengan ganasnya.

Rio yang mendengar desahan Santi hanya tersenyum sambil kedua matanya menatap Santi yang matanya merem-melek sedang berkelojotan tidak tahan akibat hunjaman-hunjaman batang kemaluan pemuda itu. Mereka melakukan ini sambil berdiri, bisa dibayangkan bagaimana tubuh keduanya saling berpacu cepat dan semakin cepat untuk mengejar kenimatan mereka masing-masing. Cukup lama mereka bermain sambil berdiri, Santi sambil memutar-mutar pinggulnya ibarat penari jaipongan, sedangkan Rio memacu batang kemaluannya ibarat piston motor yang bergerak secara konstan di dalam lembah kemaluan gadis itu. Tak henti-hentinya Santi mendesah-desah sambil menyebut nama Rio untuk memacunya lebih cepat dan lebih cepat lagi. Dan tidak beberapa lama kemudian, Santi yang memang sudah sangat bernafsu itu, semakin mendesah-desah semakin keras pertanda dia akan mencapai pendakian yang tertinggi itu.

Rio yang mengetahui gadis itu akan mendapatkan orgasmenya, semakin memacu batang kemaluannya lebih keras lagi, mengaduk-aduk isi kemaluan gadis itu sambil menggoyangkan dan memutar-mutar pantatnya, Akhirnya..
“Oh Rio.. a.. akk.. kuu.. mau.. nyampe.. sa.. ya.. ang.. Hhh..” desahnya terputus-putus.
“Iya sayang.. keluarin aja sayang.. akuu juga mao nyampe nih sayang.. aahh.. sama-sama yah sayang.. kita keluarnya barengan.. yahh.. ohh.. God..”
Sambil terus memeluk kedua buah pantat Santi yang bahenol itu, Rio terus menghujam-hujamkan batang kemaluannya. Terlihat Santi memeluk leher Rio dengan sangat kuat dan mencium bibirnya dengan sangat bernafsu sekali. Sedangkan Rio untuk melepaskan gairah kenikmatannya menekan pantat Santi lebih kuat lagi dan menekan batang kemaluannya lebih dalam dan lebih dalam lagi.

Tidak lama kemudian, “Rio.. a.. aakuu.. keluar.. oh.. hh..”
“Aa.. ku.. juga sayang.. hmm..”
“Cratt.. crut.. cratt crat..” pesta pesta pesta pesta pesta Akhirnya keduanya menembakkan cairan gairahnya secara bersamaan, tubuh keduanya menegang dan berkelojotan saling berpelukan erat sambil mengeluarkan erang-erangan yang menggairahkan. Kemudian Rio menjatuhkan dirinya ke ranjang tidak jauh dari tempat mereka berpacu gairah tadi, disusul kemudian oleh Santi. Kemudian keduanya tertidur saling berpelukan lelah, letih dan nikmat setelah melakukan pertempuran hebat tadi.

Kali ini yang bule berambut sebahu dengan kesal menjawab, “Kurang ajar si Gamha, katanya bulan depan pulangnya, Jepang sialan tuh!”
“Eh! Kesel sih boleh, tapi jangan bilang Jepang sialan dong. Gua tersinggung nih,” yang berwajah Jepang protes.
“Sudahlah, memang belum rejeki kita dijajanin sama si Gamha,” sekarang bule bermata biru nyeletus.
Dengan setengah bingung karena tidak mengerti persoalannya, kupersilakan mereka untuk masuk. Mulanya mereka ragu-ragu, akhirnya mereka masuk juga. “Iya deh, sekalian numpang minum,” kata bule yang berambut panjang masih kedengaran kesalnya.

Setelah mereka duduk, kami memperkenalkan nama kami masing-masing.
“Nama saya Jacky,” kataku.
“Khira,” kata yang berwajah Jepang (dan memang orang Jepang).
Yang berambut panjang menyusul, “Emily,” (Campuran Italia dengan Inggris).
“Saya Eve,” gadis bermata biru ini asal Jerman.
“Jacky, kamu berasal dari mana?” lanjutnya.
“Jakarta, Indonesia,” jawabku sambil menuju ke lemari es untuk mengambilkan minuman sesuai permintaan mereka.
Sekembalinya saya ke ruang tamu dimana mereka duduk, ternyata si Khira dan Eve sudah berada di ruang komputer saya, yang memang bersebelahan dengan ruang tamu dan tidak dibatasi apa-apa.
“Aduh, panas sekali nich?!” si Emily ngedumel sambil membuka kemeja luarnya.

Memang di awal bulan Desember lalu, Australia ini sedang panas-panasnya. Aku tertegun sejenak, karena bersamaan dengan aku meletakkan minuman di atas meja, Emily sudah melepaskan kancing terakhirnya. Sehingga dengan jelas dapat kulihat bagian atas bukit putih bersih menyembul, walaupun masih terhalangi kaos bagian bawahnya. Tapi membuatku sedikit menelan ludah. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara si Eve,
“Jacky, boleh kami main internetnya?”
“Silakan,” jawabku.
Aku tidak keberatan karena aku membayar untuk yang tidak terbatas penggunaannya.
“Mau nge-chat yah?” tanyaku sambil tersenyum pada si Emily.
“Ah, paling-paling mau lihat gambar gituan,” lanjut Emily lagi.
“Eh, kaliankan masih di bawah umur?” kataku mencoba untuk protes.
“Paling umur kalian 17 tahun kan?” sambungku lagi.

Khira menyambut, “Tahun ini kami sudah 18 tahun. Hanya tinggal beberapa bulan saja.” Aku tidak bisa bilang apa-apa lagi. Baru saja aku ngobrol dengan si Emily, si Eve datang lagi menanyakan, apa saya tahu site-nya gambar “gituan” yang gratis. Lalu sambil tersenyum saya hampiri komputer, kemudian saya ketikkan salah satu situs seks anak belasan tahun gratis kesukaanku. Karena waktu mengetik sambil berdiri dan si Khira duduk di kursi meja komputer, maka dapat kulihat dengan jelas ke bawah bukitnya si Khira yang lebih putih dari punyanya si Emily. Barangku terasa berdenyut. Setengah kencang. Setelah gambar keluar, yang terpampang adalah seorang negro sedang mencoba memasuki barang besarnya ke lubang kecil milik gadis belasan. Sedangkan mulut gadis itu sudah penuh dengan barang laki-laki putih yang tak kalah besar barangnya dengan barang si negro itu. Terasa barangku kini benar-benar kencang karena nafsu dengan keadaan. Si Emily menghampiri kami berada, karena si Eve dan Khira tertawa terbahak-bahak melihat gambar itu. Aku mencoba menghindar dari situ, tapi tanpa sengaja sikut Khira tersentuh barangku yang hanya tertutup celana sport tipis. Baru tiga langkah aku menghindar dari situ, kudengar suara tawa mereka bertambah kencang, langsung aku menoleh dan bertanya, “Ada apa?” Eve menjawab, “Khira bilang, sikutnya terbentur barangmu,” katanya.

Aku benar-benar malu dibuatnya. Tapi dengan tersenyum aku menjawab, “Memangnya kenapa, kan wajar kalau saya merasa terangsang dengan gambar itu. Itu berarti aku normal.” Kulihat lagi mereka berbisik, kemudian mereka menghampiriku yang sedang mencoba untuk membetulkan letak barangku. Si Eve bertanya padaku sambil tersipu,
“Jacky, boleh nggak kalau kami lihat barangmu?”
Aku tersentak dengan pertanyaan itu.
“Kalian ini gila yah, nanti aku bisa masuk penjara karena dikira memperkosa anak di bawah umur.”
(Di negeri ini di bawah 18 tahun masih dianggap bawah umur).
“Kan tidak ada yang tahu, lagi pula kami tidak akan menceritakan pada siapa-siapa, sungguh kami janji,” si Emily mewakili mereka.
“Please Jacky!” sambungnya.
“Oke, tapi jangan diketawain yah!” ancamku sambil tersenyum nafsu.

Dengan cepat kuturunkan celana sport-ku dan dengan galak barangku mencuat dari bawah ke atas dengan sangat menantang. Lalu segera terdengar suara terpekik pendek hampir berbarengan.
“Gila gede banget!” kata mereka hampir berbarengan lagi.
“Nah! Sekarang apa lagi?” tanyaku.
Tanpa menjawab Khira dan Emily menghampiriku, sedangkan Eve masih berdiri tertegun memandang barangku sambil tangan kanannya menutup mulutnya sedangkan tangan kirinya mendekap selangkangannya. “Boleh kupegang Jack?” tanya Khira sambil jari telunjuknya menyentuh kepala barangku tanpa menunggu jawabanku. Aku hanya bisa menjawab, “Uuuh..” karena geli dan nikmat oleh sentuhannya. Sedang Eve masih saja mematung, hanya jari-jari tangan kirinya saja yang mulai meraih-raih sesuatu di selangkangannya. Lain dengan Emily yang sedang mencoba menggenggam barangku, dan aku merasa sedikit sakit karena Emily memaksakan jari tengahnya untuk bertemu dengan ibu jarinya. Tiba-tiba Emily, hentikan kegiatannya dan bertanya padaku, “Kamu punya film biru Jack?” Sambil terbata-bata kusuruh Eve untuk membuka laci di bawah TV-ku dan minta Eve lagi untuk masukan saja langsung ke video.

Waktu mulai diputar gambarnya bukan lagi dari awal, tapi sudah di pertengahan. Yang tampak adalah seorang laki-laki 60 tahun sedang dihisap barangnya oleh gadis belasan tahun. Kontan saja si Eve menghisap jarinya yang tadinya dipakai untuk menutup mulut sedangkan jari tangan kirinya masih kembali ke tugasnya. Pandanganku sayup, dan terasa benda lembut menyapu kepala barangku dan benda lembut lainnya menyapu bijiku. Aku mencoba untuk melihat ke bawah, ternyata lidah Khira di bagian kepala dan lidah Emily di bagian bijiku.
“Uuh.. sshh.. uuhh.. sshh..” aku merasa nikmat.
Kupanggil Eve ke sampingku dan kubuka dengan tergesa-gesa kaos dan BH-nya. Tanpa sabar kuhisap putingnya dan segera terdengar nafas Eve memburu.
“Jacky.. oohh.. Jacky.. teruss.. oohh..” nikmat Eve terdengar.
Kemudian terasa setengah barangku memasuki lubang hangat, ternyata mulut Khira sudah melakukan tugasnya walaupun tidak masuk semua tapi dipaksakan olehnya.
“Slep.. slep.. chk.. chk..”
Itulah yang terdengar paduan suara antara barangku dan mulut Khira. Emily masih saja menjilat-jilat bijiku.

Dengan kasar Eve menarik kepalaku untuk kembali ke putingnya. Kurasakan nikmat tak ketulungan. Kuraih bahu Emily untuk bangun dan menyuruhnya untuk berbaring di tempat duduk panjang. Setelah kubuka semua penghalang kemaluannya langsung kubuka lebar kakinya dan wajahku tertanam di selangkangannya.
“Aaahh.. Jacky.. aahh.. enak Jacky.. teruskan.. aahh.. teruss Jacky!” jerit Emily.
Ternyata Eve sudah bugil, tangannya dengan gemetar menarik tanganku ke arah barangnya. Aku tahu maksudnya, maka langsung saja kumainkan jari tengahku untuk mengorek-ngorek biji kecil di atas lubang nikmatnya. Terasa basah barang Eve, terasa menggigil barang Eve.
“Aaahh..” Eve sampai puncaknya.

Aku pun mulai merasa menggigil dan barangku terasa semakin kencang di mulut Khira, sedangkan mulutku belepotan di depan barang Emily, karena Emily tanpa berteriak sudah menumpahkan cairan nikmatnya. Aku tak tahan lagi, aku tak tahan lagi, “Aahh..” Sambil meninggalkan barang Emily, kutarik kepala Khira dan menekannya ke arah barangku. Terdengar, “Heerrkk..” Rupanya Khira ketelak oleh barangku dan mencoba untuk melepaskan barangku dari mulutnya, tapi terlambat cairan kentalku tersemprot ke tenggorokannya. Kepalanya menggeleng-geleng dan tangannya mencubit tanganku yang sedang menekan kepalanya ke arah barangku. Akhirnya gelengannya melemah Khira malah memaju mundurkan kepalanya terhadap barangku. Aku merasa nikmat dan ngilu sekali, “Sudah.. sudah.. aku ngiluu.. sudah..” pintaku. Tapi Khira masih saja melakukannya. Kakiku gemetar, gemetar sekali. Akhirnya kuangkat kepala Khira, kutatap wajahnya yang berlumuran dengan cairanku. Khira menatapku sendu, sendu sekali dan kudengar suara lembut dari bibirnya, “I Love you, Jacky!” aku tak menjawab. Apa yang harus kujawab! Hanya kukecup lembut keningnya dan berkata, “Thank you Khira!”

Rasa nikmatku hilang seketika, aku tak bernafsu lagi walaupun kulihat Eve sedang memainkan klitorisnya dengan jarinya dan Emily yang ternganga memandang ke arahku dan Khira. Mungkin Emily mendengar apa yang telah diucapkan oleh Khira. Demikianlah, kejadian demi kejadian terus berlangsung antara kami. Kadang hanya aku dengan salah satu dari mereka, kadang mereka berdua saja denganku. Aku masih memikirkan apa yang telah diucapkan oleh Khira. Umurku lebih 10 tahun darinya. Dan sekarang Khira lebih sering meneleponku di rumah maupun di tempat kerjaku. Hanya untuk mendengar jawabanku atas cintanya. Dan belakangan aku dengar Eve dan Emily sudah jarang bergaul dengan Khira.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar