Sabtu, 15 Mei 2010

ratna dumila

Sakit nular …

May 1st, 2010 by Ratna Dumila

Saya ingin bagi rahasia pada anda tentang diri saya. Begini, saya ini bukan orang yang bisa mengolah emosi dengan baik. Ketika ada satu masalah maka saya tidak selalu bisa menyelesaikannya saat itu juga namun justru akan saya pikir beberapa waktu lamanya. Anda tahu apa akibatnya? Akhirnya saya stress sendiri untuk memikirkan hal yang sebenarnya tak penting-penting amat untuk dipikirkan. Nah, untungnya saya punya suami yang jauh lebih dewasa daripada saya dan dari dia lah saya dapat guide untuk bisa handle masalah dengan cara sederhana. Tapi terkadang lagi-lagi sifat saya membuat apa yang disarankan suami mental lagi, hehehe…

Begini persoalannya.. belakangan ini saya ini kok apesnya dikelilingi beberapa teman yang de-motivasi. Entah masalah pekerjaan, masalah keuangan, masalah hubungan sama si bos dan merembet ke hal-hal yang lain. Sekali dua kali saya dengar keluhan demi keluhan, umpatan, ngomel-ngomel dan grundelan yang berkelanjutan. Dan anda apa tahu akibatnya??? Saya jadi kena imbasnya juga.. Telinga dan akhirnya menjalar ke otak, dijejali dengan umpatan, keluhan, marah, banyak hal negatif lainnya. Saya yang awalnya semangat dan nggak ada masalah apa-apa akhirnya jadi mulai kesal dan bete kalau sudah ketemu oknum tersebut. Mau diberi nasehat agar bisa semangat lagi, sayangnya kok ya saya ini nggak ada bakat untuk jadi motivator ala Om Mario Teguh. Mau diam saja, kok ya keluhan-keluhan itu terus saja mampir dan saya pun larut jadi membenci keadaan di sekeliling saya…

Ahhhhh…, mau pecah rasanya ini kepala!!!!

~~

Saya yakin siapa pun manusia di dunia ini nggak pernah lepas dari yang namanya masalah. Apakah dia orang kaya sekalipun, ganteng dan cantik sekalipun, se powerfull apapun pasti yang namanya masalah itu ada. Maka terkadang kematangan kita untuk menjadi manusia itu diukur dari sebaik apa kita menyelesaikan segala persoalan yang ada dihadapi.

Banyak macamnya orang menyelesaikan masalah. Ada orang yang senang lari dari masalah dengan cara menyalahkan orang lain. Pokoknya dirinya jadi mr/ mrs clean saja. Ketika ada masalah maka hal yang pertama yang dia cari adalah siapakah orang yang bisa disalahkan dan bukan masalah apa yang sebenarnya dia hadapi. Nah, saya pernah mengalami dan mempraktekannya ketika saya masih kecil, saat TK atau SD. Kalau saya mendorong teman saya hingga jatuh, maka saya akan bilang ke guru : “Bu, tadi dia yang duluan jahat sama aku. Salahnya dia tadi kenapa jahatin aku…”. Saya pikir penyelesaian masalah dengan cara seperti ini sudah bukan zamannya lagi dilakukan saat kita berada di lingkungan kerja, keluarga apalagi jika umur sudah 25 tahun ke atas. Malu, Bu. Namanya orang kan pasti ada salah dan justru dengan mengakui kesalahan itulah kita bisa belajar lebih baik.

Ada juga orang yang menyelesaikan masalahnya setengah-setengah. Masalah itu seakan diredam di permukaan namun bisa jadi akan meledak sewaktu-waktu kalau sudah sampai puncaknya. Hmm, tagihan kartu kredit misalnya. Bukannya dilunasi tapi dicicil sedikit-sedikit, nah parahnya gesek selanjutnya jalan terus. Kalau sudah over limit dan jatuh tempo baru puyeng mikir gimana bayarnya.

Ada juga orang yang dianugerahi sifat kesatria. Apa yang jadi masalah dan kesalahannya akan dia akui secara jantan dan dia selesaikan saat itu juga. Saya yakin ini bukan perkara yang mudah, semudah kita mengucapkannya sebagai sebuah idealisme. Yang benar saja, saat kita mengakui hal tersebut maka seluruh dunia akan tahu bahwa kita lah yang salah. Dan dunia punya banyak cara untuk menilai kita atas kesalahan yang kita buat termasuk penilaian yang buruk. Tapi setidaknya malu di awal, selanjutnya tegak berjalan.

Nah kembali ke persoalan yang dialami beberapa teman saya ini yang mengalami de-motivasi berkepanjangan. Mungkin ada baiknya sejenak berdiam diri dan memikirkan apa sebenarnya yang jadi masalah.

Satu teman selalu mengeluh masalah keuangan, maka satu hal yang pernah dikatakan oleh guru saya : “Jangan mengingat apa yang tidak kamu punya tapi coba ingat dan bikin list apa yang sudah kamu punya. Maka kamu nanti akan bersyukur…”.

Teman yang lain mengeluh masalah pekerjaan. Mungkin lebih baik Ia menyesuaikan apa yang saat ini sedang ia hadapi dan bekerjalah terbaik dengan keikhlasan. Toh mengeluh dan ngomel ataupun ngumpat nggak akan bikin keadaan berubah jadi baik. Nah kalau nggak bener juga, ya sudah simple saja : resign, cari kerja baru… Pilih mana???

Tiap kali saya berada di atas pesawat dari Surabaya yang akan landing di Bandara Soekarno Hatta, saya selalu akan menatap ke luar jendela. Saya suka pemandangan sore menjelang malam, indah sekali melihat titik-tiitik lampu berbinaran terang di bawah sana, di tanah Jakarta. Tiap lampu seakan berlomba untuk menjadi yang lebih terang dan paling “bintang” entah itu lampu penerangan jalan tol, lampu dop di teras rumah, lampu di pusat perbelanjaan, lampu di tengah tambak, lampu mobil, lampu..-lampu…Berbinaran seperti berlian berkilauan.

Tapi di dalam hati saya ada galau. Tak lama lagi saya akan (kembali) menjejakan kaki di Jakarta. Pertanyaan di dalam adalah : saya akan jadi apa nantinya di Jakarta? Apakah saya akan jadi orang yang menang? Orang runner up? Orang biasa? Atau jangan-jangan saya hanyalah bagian dari yang kalah, yang terpuruk? Anda tentu paham maksud saya bagaimana deskripsi dan definisi klasifikasi yang saya sebutkan tadi. Tak perlu saya jelaskan karena mungkin antara satu orang dengan orang yang lain presepsinya juga tak persis sama. Wajarkah saya bertanya seperti itu? Mungkin wajar saja karena saya tak mau membuang waktu sia-sia dalam hidup saya yang berarti saya harus punya target untuk menjadi siapa. Tapi pertanyaannya mudahkah dan mampukah berada di posisi yang diinginkan?

~

Ini cerita seorang lelaki itu bernama Bachtiar. Potret kelas bawah yang kerap ditemui kebanyakan. Ia menjadi perhatian sejumlah pemberitaan dan mengaduk-aduk perasaan antara marah, prihatin, ironi dan juga semuanya sesuai dari mana kita memandangnya.

Bachtiar adalah seorang ayah dari Agun dan Gia. Agun adalah anak tertua lelaki yang duduk di kelas empat SD, sementara Gia adalah anak perempuan lima tahun yang kurang sempurna. Ia menderita epilepsi, tulangnya kering dibalut kulitnya yang kusam, ia tak bisa banyak bicara dan hanya mampu berkata “ayah” dan “kakak” itupun jarang sekali.

Mereka bukan siapa-siapa. Jika dunia ini adalah teater atau sinetron mereka tak punya peranan apapun, jadi figuran pun sudah satu keberuntungan. Jika anda naik pesawat mungkin kontrakan mereka hanya tampak semilimikron dari di mata anda alias tidak terlihat.

Gia bukan anak Jakarta dan anak kota besar yang bisa kita temui di mall, play group, taman bermain dengan tumbuh subur, baju bagus dan cas cis cus bahasa inggris. Gia tidak di kelas itu, Ia punya dunia sendiri. Dunia yang stag dan mengungkungnya setiap hari di sempitnya rumah kontrakan dengan pinggan terikat gesper dan tali agar ia tak kemana-mana. Siapa yang melakukannya? Bactiar, sang ayah. Bactiar tak punya pilihan lain karena Ia harus meninggalkan Gia setiap pagi hingga siang untuk mengamen demi uang tiga puluh lima ribu rupiah per harinya. Gia dibiarkan sendirian di rumah itu. Entah Ia mengerti atau tidak, entah Ia merasa sakit atau senang, entah Ia marah atau sudah biasa menerima perlakuan seperti itu. Ia dipasangi pampers agar Ia tetap merasa nyaman saat pipis namun entah bagaimana lagi jika buang air besar.

Gia tak berinteraksi, ia tak belajar kosakata baru, ia tak punya masa kecil yang bisa dimiliki anak kecil kebanyakan, ia tak punya boneka, ia tak punya senyum, ia tak punya.., ia tak punya..

Ini berulang, hingga 3 tahun lamanya …

Lalu cerita Bachtiar dan Gia ini mencuat di mana-mana. Rasa kesal, sedih, marah, prihatin, kasihan dan iba datang silih berganti. Bachtiar menangis, mungkin Ia malu. Malu karena akhirnya kehidupan keluarganya yang memprihatinkan ini akhirnya semua orang tahu, malu karena tindakannya ini membuat dirinya dipandang raja tega, malu karena Ia tak mampu menjadi ayah yang baik, malu karena Ia gagal membina rumah tangga hingga harus membuat Gia terpisah dari Ibunya, malu karena ia miskin, malu karena mimpi perantauannya di Jakarta buram. Malu karena Ia gagal menjadi yang menang di Jakarta. Ia kalah bukan?

Lalu dermawan dan donatur ramai memberikan bantuan. Gia dirawat di rumah sakit daerah untuk bisa memenuhi kebutuhan gizinya, Gia mendapat perhatian (yang seharusnya memang menjadi miliknya jika hidupnya wajar dan berkecukupan), Bachtiar mendapatkan lowongan pekerjaan dari perusahaan yang berada di lingkungan sekitarnya. Kasus ini hari demi hari silih berganti ditampilkan media. Menguras air mata, meremas hati..

Bachtiar menangis tiap kali menerima bantuan, semua yang memberi bantuan diciumi tangannya. Semua terenyuh, semua hanyut.. mungkin judul besarnya begini : Sang Kalah akhirnya Mengakhiri Nasib Pedihnya..

~

Lalu datanglah berita dari kontributor kami. Bachtiar diperiksa polisi, Ia dituduh menelantarkan anak. Lalu terkuak juga cerita masa lalu bahwa Ia berpisah dari istrinya karena Ia sempat akan memperkosa anak tirinya. Dirinya lah yang bersikeras memelihara Gia dan melarang Ibunya bertemu..

Sebuah media menulis : “Diselidiki Kemungkinan Orang Tua Mencari Keuntungan Dari Kasus Gia”.

Peran orang kalah? Potret orang kalah? Ironi orang kalah dari Jakarta? Yang terkalahkan di Jakarta?

.. Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah….

Dan saya masih berada di atas pesawat dengan pertanyaan yang sama :

”Ratna Dumila, mau jadi siapa kamu di Jakarta?”..


Surat untuk Anakku Alya ..

February 23rd, 2010 by Ratna Dumila

YULI/ GADIS DEPOK-JAWA BARAT YANG HILANG DUA MINGGU TERAKHIR/ JUMAT PAGI AKHIRNYA DIPERTEMUKAN DENGAN KELUARGANYA// DARI PENGAKUANNYA/ YULI SELAMA INI IA PERGI DENGAN KEKASIHNYA DENY/ SOPIR ANGKUTAN UMUM//

DALAM PELARIAN ITU/ KEDUANYA MENGAKU TELAH MELAKUKAN HUBUNGAN SUAMI ISTRI//

Mbak Alya yang cantik..,

Sore itu mata mama tercekat membaca naskah yang dikirimkan seorang kontributor tentang kelanjutan nasib seorang gadis SMP yang melarikan diri dengan kekasihnya. Naskah itu sudah menjelaskan bagaimana akhir perjalanan mereka. Mama serasa ingin meremas hati, tak habis mama bertanya mengapa Yuli tega meninggalkan keluarganya yang begitu sayang dengannya hanya untuk bersama kekasihnya dan akhirnya menyerahkan “yang harus Ia jaga” di usia yang sangat belia.

Di liputan tergambar adegan haru Ibu yang menangis di pertemuan itu. sang anak menangis di pelukan karena malu tapi sang Ibu lebih dari itu, Nak.. Ibu itu menemukan langit runtuh menimpanya, Ia malu, Ia rasakan kegagalan mendidik anaknya dan yang lebih menyakitkan sangat adalah setelah Ia menjaga dan menyayangi anaknya sejak lahir hingga tumbuh seperti sekarang tiba-tiba sesuatu yang berharga telah terenggut begitu saja. Miris Al, mama menyaksikan tayangan itu. Mama ingat kamu di rumah, Nak..

~

Alya.., apa yang akan terjadi dengan kamu esok?

Ketika sekarang kamu masih nyaman dan menantikan gendongan Mama selepas pulang kantor, masihkah hal yang sama akan terjadi nanti?

Alya, ketika sekarang tiap akan tidur malam dan bangun pagi kita bercanda di atas kasur dan kau memamerkan deretan gigimu yang masih enam itu, apakah itu akan terjadi nanti?

Alya, ketika Sabtu dan Minggu kamu begitu bergantung dan manja dengan Mama, apakah suatu saat nanti kamu justru akan memilih Sabtu Minggu hang out dengan teman dan juga pacarmu?

Alya, ketika sekarang Mama masih bisa memilihkan baju dan legging berderet pink untuk baju jalan ke mall, mungkin suatu saat kamu akan menganggap baju pilihan mama jadul..

Alya, ketika sekarang tontonanmu adalah Telletubbies dan Baby TV, semoga kau besok berjanji tidak nonton tayangan yang ‘tak senonoh’ tanpa sepengetahuan Mama..

Alya, ketika Mama sekarang bisa menebak apa yang akan lakukan, semoga esok kau tak bersembunyi dan menyembunyikan sesuatu dari Mama..

Ah alya.. Mama dulu selalu bilang nenek ketinggalan zaman ketika nenek tidak tahu apa itu email, apa itu VCD, MP3 atau bahkan kesulitan menulis SMS.. Namun pelahan gejala itu akan terjadi antara kau dan mama sebentar lagi. Mana mama tahu gimana itu Blackberry, mana mama tahu apa itu I pod, mana mama ngerti apa itu pentingnya PS, mana mama tahu gimana caranya eksis di twitter..

Tapi semoga Mama akan bisa tetap mengiringi kemana langkahmu kelak, sayang.. Mama bertanggung jawab pada Tuhan atas titipan terindahnya yakni kamu, sayang…

~

Sayang.., sayangku Alya.. ketika malam kita pulang jalan dari mall dan kamu tertidur pulas ke badan Mama di mobil, Mama menyelimutimu dengan selimut bulu dan dekapan tangan Mama. Mama ingin tetap membuatmu hangat..

Ketika kamu sulit tidur, Mama akan mengusap rambutmu ala creambath salon seperti kesukaanmu hingga kau terlelap..

Ketika kamu sakit dan hanya ingin berada di pangkuan Mama, mama akan memainkan boneka tangan bebek dan gajah hingga sedikit kau bisa tertawa dan memamerkan deretan gigi mungil lagi..

Ketika kau tidur dengan gaya putar 360 derajatmu dan memakan semua space spring bed mama ayah, kami hanya tersenyum dan gemas melihat ulahmu..

Ketika kamu pipis dan pup.., kami akan menggantikanmu dengan pampers yang baru agar kamu nyaman Nak..

Ketika semuanya serba sekolah internasional.., kami sudah siapkan tabungan agar kamu bisa setara dengan yang lain..

Ketika susu kalengmu habis.., maka Mama akan mencari hingga ke ujung Giant agar kamu selalu dapat nutrisi terbaik..

Ketika..ketika..ketika… semuanya akan Mama dan Ayah lakukan yang terbaik untukmu Nak..

~

Maka Mama hanya minta satu, Nak.. Ingatlah itu semuanya kelak.. Bukan untuk meminta balasan dengan uang dan juga pamrih.. hanya agar kamu bersedia agar kita bisa melangkah seirama dan sejalan.. akan ada beberapa kompromi, Al.. Mama juga akan menghadapi perubahan zaman yang akan kau hadapi esok.. Kita saling terbuka ya, Al.. Jangan sembunyikan sesuatu yang buruk dari Mama..

~

Sungguh Mama tidak ingin menyaksikan liputan tentang “YULI” lagi..

Mama sayang Alya, Rameyza Alya Hakim-nya Mama.., sayang banget Nak..

[[end]]

HITAM PUTIH

February 11th, 2010 by Ratna Dumila

Apakah tulisan kali ini akan memberikan ending bijak seperti tulisan-tulisan sebelumnya? Hmm.., jika anda mengharapkan jawaban ”iya” agaknya anda harus sedikit kecewa. Tulisan kali ini adalah bentuk wujud rasa manusiawi saya yang sedang resah, yang hanya ingin berbagi cerita dengan tema tak terlalu menyenangkan, yang akhirnya harus bertemu dengan cerita-cerita nyata di sekeliling kita dan tak semuanya bahagia.. Bukankah kita tidak hidup di negeri dongeng yang selalu berakhir baik? Ada kalanya yang dihadapi adalah sesuatu dengan ending menggantung atau harus menelan pedih.

Awalnya saya sedih bukan main ketika mengetahui harus hidup di Jakarta yang berarti meninggalkan keluarga di Surabaya. Itu bukan perkara yang mudah karena sejak kecil saya bisa dibilang ”anak mama” alias bukan tipikal petualang. Jangankan kos, ikut Persami (perkemahan sabtu minggu ala pramuka SD) saja Ibu saya sudah ketar-ketir, hehehe. Tapi akhirnya ada satu hal yang harus saya syukuri yang saya dapat di Jakarta. Anda tahu apa? Karena saya diberi kesempatan untuk bertemu dengan banyak orang dari berbagai kalangan yang punya beragam cerita. Itu semua memperkaya hidup saya, begitu pula dengan pengalaman hidup mereka yang begitu berwarna. Saya tak lagi harus memandang hidup dengan HITAM PUTIH tapi pelangi.. Hidup tak harus selalu lurus namun ada kalanya ada banyak tikungan yang akhirnya menuju tujuannya. Tapi ada kalanya banyak yang stag diam di posisi gigi netral..

Ini adalah kisah seorang kawan, sebut namanya Karina. Di usianya yang sudah menginjak 40 tahun ia belum juga menikah. Dia cantik, sukses, mandiri dan smart. Apa lagi yang kurang? Apakah pertanyaannya sesimple itu? Nyatanya toh tidak. Di balik sikap acuhnya menanggapi pandangan dan cibiran lingkungan di sekitarnya, Karina tetaplah seorang manusia. Ia juga menyimpan keresahan yang tak kalah luar biasa sebagai seorang manusia, seorang wanita. Ia berusaha menerjang semua itu dengan kesibukkannya sebagai wanita karir sukses ala Jakarta. Apakah tak ada yang tertarik dengannya? Tidak, bukan itu. Ada dua lelaki yang saat ini dekat dengannya, namun pilihan masih berat dan tak kunjung Ia jatuhkan. Hatinya terlanjur tersayat dengan cerita masa lalunya. Dua kali ia pernah dikhianati kekasihnya dan itu semuanya dilakukan saat usia telah matang. Ketika masa serius seseorang saat masalah cinta bukan lagi cinta monyet dan pertaruhan belaka. Wajar jika ada kekhawatiran mendalam di dirinya. Saya berusaha berada di posisinya.. Lambat laun akhirnya saya tahu apa yang ada dibalik itu semua dan akhirnnya saya tak lagi memandangnya HITAM PUTIH. Ada banyak alasan di balik kesendiriannya dan mungkin hal itu pula yang akan saya lakukan jika saya menjadi dia.

Ini cerita tentang kawan saya yang lain, sebut laginya Naresh.. apakah hidup seseorang akan bahagia ketika Ia bertemu dengan orang yang dicintainya? Kalau di cerita fairy tale mungkin iya tapi lagi-lagi ini tidak. Naresh mencintai Joy, kekasihnya yang berbeda agama, suku dan status sosial dengan keluarganya. Berbagai cara dilakukan Naresh untuk meyakinkan orang tuanya bahwa pilihannya ini adalah orang yang tepat untuk mendampinginya. Nyatanya ini tak mudah. Naresh harus menghadapi amarah orang tuanya yang memuncak hingga ke pengusiran dirinya dari rumah. Naresh dengan ’sayap kecil’nya bertahan dengan kekuatannya yang lumpuh. Ia berusaha tersenyum hari-hari belakangan ini meski saya tahu ada beban berat yang Ia pikul. Saya salut dengan keberaniannya meski hingga detik ini saya masih mengkhawatirkan keadaannya. Seandainya ini sinetron Indonesia pasti akan berakhir bahagia dengan adegan sebelum-sebelumnya yang mendramatisir perjuangan pasangan ini. Tapi ini kenyataan yang tak selalu manis. Naresh dan Joy sampai detik ini masih mengumpulkan kekuatan untuk bisa mengetuk kembali pintu maaf dan keikhlasan orang tua Naresh. Akhir yang masih menggantung..

Kisah tentang Kamadevi.. ketika waktu terus berjalan baru sadari ada yang tak seharusnya terjadi di pernikahannya. Ada langkah yang sampai ke titik jenuh. Lalu seseorang dari masa lalu kembali hadir menawarkan sesuatu yang lebih. Perasaan Kamadevi tak bisa terarah hingga akhirnya Ia yakin bahwa orang dari masa lalu inilah yang Ia kehendaki. Tapi tak semudah membalikkan telapak tangan untuk menggenggam semuanya. Dan semuanya hanya bisa Ia pendam dalam hati tanpa suara dan kata-kata. Bersandiwaralah Ia untuk tetap bisa bertahan dalam pernikahannya meski ada yang lain di sudut ruang yang lain. Dan teringianglah saya dengan lagu dr. Pm … ”mungkin cinta tak harus miliki …”

Saya akhirnya hanya bisa mendengus kesal karena harus mendengar lagi nasehat dari seseorang kawan yang lain.. ”Come on.., you cant get all in your life..must leave one thing to get another one..”..

Pahamkah anda? Terkadang hidup abu-abu, merah, orange, biru, hijau.. tak selalu HITAM PUTIH..

[[end]]

Belajar menjadi padi dan langit…

January 19th, 2010 by Ratna Dumila

Beberapa pekan lalu saya dan seorang kawan ditunjuk untuk menjadi juri sebuah lomba presenter yang diselenggarakan salah satu kampus di Jakarta. Senang juga diberi kepercayaan ini tapi sebenarnya dalam hati saya berguman :”yakin pantes jadi juri? Baca berita aja masih belepotan, otak juga masih perlu di-up load, hahaha..”. Solusinya lalu kemudian saya tanamkan pada diri saya bahwa keberadaan di sana bukan untuk berlagak menjadi orang yang sempurna, presenter yang senior atau yang mapan ilmunya tapi lebih ke sekedar sharing pengalaman dan memberi masukkan bagi peserta yang (dirasa) masih ada kelemahan dan kekurangan. Kelihatannya simple tapi pikiran itu harus buru-buru ditanamkan untuk menjauhkan saya dari sikap angkuh, sombong dan merasa sok pintar.

Satu demi satu peserta mulai ambil giliran. Terpaksa dengan berat hati saya katakan bahwa sulit untuk menemukan sosok nyaris sempurna di perlombaan ini. Ada yang cantik tapi bacanya seperti baca anak SD, ada yang bacanya lumayan tapi make up nya kemenoran, ada yang suaranya tippiiisss banget (cempreng kaya yang nulis blog ini), ada yang baca berita duka tapi sambil tersenyum, ada yang pas openingnya pede tapi saat materi kedodoran kemana-mana intonasi, artikulasi dan jspeednya.

Ingatan saya kemudian melanglang buana ke beberapa tahun yang lalu. Saya pernah mengalami proses seperti ini juga. Saya addict ikut lomba pencarian presenter, salah satunya adalah yang diadakan sebuah stasiun televisi swasta. Saya ingat saaat itu penampilan saya (jelas) tidak sebaik sekarang, gigi masih dibehel, blazer masih beli dadakan, make up berantakan (saya pulaskan eye shadow cokelat muda ke seluruh kelopak mata, padahal untuk mata turun saya seharusnya cokelat tua dan tidak sampai ke atas), suara cempreng (terbawa sih sampai sekarang), rambut potongan Dora dan entahlan saya lupa membayangkan bagaimana rupa saya saat itu. saat saya giliran membaca, tiga juri berhadapan dengan saya (kalau tidak salah ada Jajang c Noer, Ussi Karundeng dan David Chalik). Untuk anak daerah seperti saya bertemu orang top seperti itu tentu makin menambah dag dig dug jantung yang sebelumnya sudah bercampur dengan nervous. Aduh, sial!!

Saya mulai membaca naskah dan tak sampai naskah saya usai, Jajang memotong.

“Kamu baca untuk dirimu sendiri..”

“Maksudnya..?”

“Nggak ada intonasi, nggak ada speed, nggak punya artikulasi..”

“Apa yang ada dipikiran kamu meloncat loncat, nggak sinkron dengan apa yang kamu ucapkan..”, Ussi Karundeng menimpali.

Ada beberapa bantahan dari saya tapi dengan mudah mereka tumbangkan. Saya keluar dari ruang penjurian dengan gontai, pulang, tak pernah ada panggilan kembali hingga akhirnya sebulan kemudian saya melihat babak demi babak penilaian di televisi (jelasnya saya nggak lolos gitu =) .

Tapi itulah rahasia Tuhan. Saya diberi jalan lain untuk mencapai apa yang saya raih sekarang. Saya mengawali menjadi reporter di sebuah televisi swasta, kemudian saya menjadi koresponden di Surabaya sembari kuliah dan skripsi, sering on cam, sering live, ditarik jadi presenter dan kemudian meloncatlah saya ke Tv One. Dan tak ada yang tahu apa lagi rahasia Tuhan yang dituliskan untuk saya selanjutnya

Saya kembali ke lomba presenter tadi. saya yakin satu atau dua atau berapa lah di antara puluhan peserta ini pasti suatu saat akan ada yang ‘jadi’. Tinggal bagaimana mereka diuji keteguhannya untuk terus berusaha. Atau kalaupun tidak menjadi presenter mungkin lain waktu besok mereka akan sukses untuk menjadi seseorang di bidang lain. Sekali lagi Tuhan punya rencana bukan? Saya menaruh harapan besar dengan kesuksesan mereka. Saya usir pikiran ‘meremehkan’ kemampuan mereka saat ini. Karena sekali kita meremehkan maka seterusnya kita nggak akan legowo dengan kesuksesan mereka kelak..

~~

Seorang sahabat pernah menasehati saya :

”Rat, di Jakarta lu nggak akan berhasil kalau lu terus merendah. Lu bakal diremehin..”.

Saya berusaha mengikuti nasehat teman saya tapi sulitnya minta ampun. Anda tahu apa masalah terbesarnya? Karena saya sejak kecil dibesarkan di keluarga sederhana dan kedua orang tua saya selalu mengajari saya untuk merendah, khas tipikal orang Jawa dulu banget. Mungkin mengambil makna pepatah ”Padi makin berisi makin merunduk…”. dan ketika saya mau belajar angkuh sekali saja, saya merasakan perasaan rikuh yang luar biasa. Ya sudahlah, masa bodoh dengan pandangan di luar sana tapi khusus untuk saya sendiri saya menerapkan quote : ”Jangan meremehkan dan memandang rendah yang lain…”.

Bicara untuk tidak meremehkan seseorang agaknya hal itu bukanlah yang gampang untuk dilakukan. Terlebih di Jakarta tempat saya berkutat sehari-hari dengan pekerjaan, rasanya perasaan iri dengki dengan rekan kerja atau teman sah-sah saja dibalut dengan sifat meremehkan ini.

Sekarang begini.. anda pernah melihat seseorang baru masuk ke lingkungan anda? Mayoritas dari anda pasti akan menilai dari penampilan, wajah, barang apa yang melekat di badannya dan simbol-simbol ’kemakmuran’ yang lain. Masalah orang itu baik apa jahat, orang itu pintar atau bodoh akan jadi pertimbangan nomor ke sekian.

Lalu anda pernah bertemu seorang kawan yang dahulunya bukan siapa-siapa dan sekarang dia menjadi ”someone”. Nah, apakah yang akan ada lontarkan menanggapi kesuksesannya? :

  • ”Hebat ya si Rifky. Dulu dia bukan siapa-siapa lho, eh sekarang sudah sukses jadi pengusaha.. emang saya akui dia orangnya ulet, nggak gampang putus asa …” ; atau
  • ”Ya ellah Rifky. Kok bisa ya dia sekarang sukses?. Coba dulu dia gimana? Dulu kesana kemari saya yang nganter, duit aja minjem, minta-minta kerjaan juga …”

Anda paham kan ‘njomplangnya’ dua contoh pernyataan di atas. Pernyataan kedua memang mudah sekali bergelayut ke benak kita-kita. Saya menilainya itu adalah upaya membela diri dari perasaan kalah. Sementara pernyataan pertama membutuhkan kebesaran hati untuk mengakui kesuksesan seseorang (yang mungkin melebihi kesuksesan kita) padahal dahulu orang itu berangkat dari titik yang sama dengan kita.

Entahlah kenapa saya ingin sekali menulis ini. Saya pikir saya harus menularkan semangat tidak meremehkan seseorang ini kepada anda agar terus meluas. Seburuk apapun orang yang anda temui yakini saja bahwa orang tersebut kelak akan menjadi seseorang yang hebat. Perkara anda sekarang lebih sukses itu karena waktu dan rencana Tuhan begitu namun suatu hari nanti siapa yang tahu??…

Belajar tidak meremehkan dan memandang rendah seseorang juga akan membuat anda bisa menerima masukkan dari orang lain karena diri anda belum sepenuhnya hebat, anda bukan siapa-siapa. Saya percaya hidup itu adalah roda yang berputar, ketika hari ini anda di atas maka keesokan harinya anda akan digantikan dengan yang lain. Bagaimana bisa legowo? Ya itu tadi, menghargai orang dan tidak memandang rendah yang lain.

Hingga akhirnya saya tahu kenapa ada ungkapan : “Di atas langit masih ada langit …..”

[[end]]

Ayo berlari…

December 20th, 2009 by Ratna Dumila

Saya masih ingat ketika saya kecil dulu, tiap kali hari ulang tahun saya selalu mengingatkan seluruh keluarga saya agar bisa merayakannya. Minimal memberi ucapan selamat juga sudah melegakan hati. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya saya pelahan-lahan juga sudah melupakan ritual itu. Tanggal ulang tahun saya pun tidak lagi selalu diingat atau menjadi hal istimewa..

Apa yang saya lakukan saat usia saya bertambah? Saya kembali mensyukuri hidup yang diberikan Tuhan dengan segala suka dukanya. Hidup saya kadang terasa flat, tapi saya sadar bahwa di luar sana ada banyak orang hidupnya tidak sama beruntungnya dengan saya. Seorang teman pernah mengeluh dan bilang pada saya:

“Gue capek benget kerja, kesel banget.. kapan kayanya ya gue??”.

Wajarkah keluhan itu? Bagi sebagian orang dengan banyak keterbatasan mungkin lumrah tapi rasanya keluhan itu tidak cukup pantas untuk dia ucapkan. Teman saya ini sukses luar biasa dalam karirnya, di usianya yang masih muda ia sudah mampu memiliki apartemen di tengah Jakarta, mau keluar negeri kapan pun bukan urusan sulit, kemana-mana tentengannya selalu branded, blackberry dan handphone canggih lainnya tak lepas dari genggamannya dan yang terpenting adalah keluarganya sangat menyayangi dia.. So? Saya iseng jawab keluhannya dengan begini :

”Hei, nggak boleh ngomong gitu. Kamu mungkin merasa kurang tapi tahu nggak ada orang lain yang ngelihat kamu ngerasa kamu adalah orang yang sangat beruntung. Wiuh, mbak ini hebat ya punya BB, punya apartemen, uangnya banyak, keluarganya utuh.. Disyukuri mbak!”.

Teman saya cuman cengengesan dengar jawaban saya, mungkin tidak cukup memuaskan. Dan apa yang terjadi? Sore hari sepulang kantor, saat teman saya sedang menunggu jemputan di lobi kantor ia mendapati pemandangan yang (dikirimkan Tuhan untuk) ’menyadarkannya’.

”Dum, gue kemarin ketemu bapak-bapak tua jualan kerupuk pake pikulan. Kayanya saking seringnya mikul, baju yang ada di bagian pundaknya sobek. Ngenes banget? Gila, gue pikir omongan lu ada benernya juga. Sepanjang perjalanan gue cuman diem di mobil dan ngerasa gue ini nggak ada syukur-syukurnya ya sama Tuhan!”.

Hmm, tapi di kala lain saya juga tidak sebijak yang saya omongkan seperti di atas. Saya juga pengeluh. Paling sering adalah keluhan :

”Ah, kok pengeluaran banyak sih padahal pemasukkan nggak nambah-nambah”. Saya utarakan hal itu pada suami dan seperti biasa dengan kedewasaannya dia selalu menjawab pertanyaan picisan saya.

”Dari pada tempat lama, pemasukan sekarang jauh lebih besar kan?”

”Iya”

”Nah, dulu (gaji) di tempat lama bisa cukup kenapa sekarang kok jadi nggak cukup buat hidup, kenapa hayo?”

”Ya kan ada beberapa kebutuhan tambahan”

”Apa?”

Lalu kami kalkulasi ini itunya, baru saya sadar ada banyak hal tidak penting yang seharusnya bisa saya hilangkan. Dan rupanya sebenarnya ada banyak hal yang sudah saya raih dengan rezeki sekarang yang tidak saya sadari. Itulah kenapa saya selalu merasa kurang karena saya lupa dengan apa yang saya miliki.

” Namanya orang, sebesar apapun pemasukkannya pasti nggak akan pernah cukup kalau dia selalu menuntut lebih. Dulu cukup naik motor sekarang pingin naik mobil; sekarang naik mobil xenia pinginnya alphard ; sekarang punya rumah mungil lihatnya pingin rumah besar tingkat ; dulu baju nggak ketinggalan jaman cukup sekarang tuntutannya brand minded. Kalau gaya hidupnya terus lihat ke atas ya nggak akan cukup, Bun”

”Hmmm… (agak diam tapi sebenarnya masih mikir mau mungkir..)”

“Nah yang bijak adalah kalau kita diberi kelebihan dengan Tuhan, kita bisa bersikap sewajarnya. Tidak berlebihan tapi juga nggak pelit-pelit amat. Sesuaikan dengan kemampuan. Jangan latah ikut trend..”

Saya pikir betul juga omongan suami saya. Lagi-lagi saya lupa bersyukur.

Ada lagi keluhan yang selalu ‘ngganjel’ dalam hati. Namanya orang dalam bersosialisasi pasti ya tidak sepenuhnya cocok, ada saja yang agak ‘bermasalah’ dengan kawan. Maka kadang saat saya mau berangkat kerja, di kantor dan sepulangnya, saya pasti berpikir tentang apa yang akan terjadi jika saya bertemu dengan orang itu. Yang saya ingat jeleknya saja, dan harus diakui itu berpengaruh dengan mood kerjaan. Tapi belakangan saya mulai bisa atasi itu. Atas saran teman (yang juga patner berdebat di kantor), Alfito maka saya disarankan untuk membaca buku The Secret, Rhonda Byrne. Salah satu yang diajarkan buku itu adalah bahwa kita harus berpikir mulai positif dan yakin bahwa segala sesuatunya akan berjalan seperti yang kita inginkan. Maka mulailah saya membayangkan bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja dan ..aha… it works!!! Sebagian teman yang dulu agak bermasalah sekarang lebih kooperatif, kemudian saya memilih meminimalkan kontak dengan sebagian teman yang lain. Hasilnya adalah pikiran saya jauh lebih baik dan tidak dipusingkan dengan hal-hal yang nggak penting. Satu masalah selesai.

Masih berbicara dengan bertambahnya umur saya.. ya itu tadi, rupanya masih banyak kekurangan yang ada di diri saya. Kurang bersyukur, tidak bisa memanage sesuatu, sering berpikir negatif dan yang paling parah I dont have any target in my life.

Saya merasa cukup puas dengan apa yang saya raih dan itu berpengaruh dengan tiadanya keinginan untuk bisa maju lebih baik lagi. Bayangkan bedanya ketika saya masih kuliah/sekolah. Setiap kali usai belajar, maka kembali kita akan dihadapkan ke UTS/UAS atau ujian untuk merefresh lagi ilmu yang sudah diajarkan dosen/guru. Setidaknya ada keinginan untuk bersaing, berusaha dan memotivasi menjadi yang terbaik. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah : saya mau bikin apa lagi untuk studi saya selanjutnya? Saya mau ke manakan hidup saya ini??

Dan lagi-lagi teman saya yang satu itu menegur saya.

“Jangan pesimis gitu dong, Rat. Kamu harus punya target. Itu yang bikin kamu untuk berpikir bahwa hidup ini nggak pernah stag..”.

Saya memikirkan kembali ucapannya. Ya, bukankah Tuhan sudah begitu baik dengan saya. Saya diberi anugerah putri cute saya, Rameyza Alya Hakim ; suami saya yang bijak , Rido Harman ; keluarga Surabaya dan Lampung yang selalu memenuhi hati saya dengan cintanya ; rezeki yang melimpah ; kesehatan ; pekerjaan ; teman-teman yang baik ; semuanya yang tak bisa saya sebutkan satu persatu..

Maka Tuhan pasti akan marah dan kecewa kalau saya tidak membuat itu semua menjadi jauh lebih baik. Saya harus berbenah sekarang, saya harus mengejar sesuatu. Bukan berarti ambisius tapi ini justru ungkapan syukur saya atas hidup yang diberi Tuhan. Lalu jangan berpikir apa yang tidak mungkin, saya punya otak; saya punya kaki; saya punya tangan; dan saya punya hati sama dengan manusia lain yang lebih hebat dari saya..

Ada satu hal lagi yang saya sangat cintai dan itu adalah salah satu pemberian Tuhan yang paling berharga. Saya diberkahi dengan sifat humoris, saya bisa menertawakan kesalahan saya untuk bisa memperbaikinya di lain waktu. Tak ada dalam kamus saya untuk bersedih di waktu yang lama. Maka saya memandang hidup ini indah.., indah sekali, seperti semburat oranye yang mengintip di sela-sela awan ketika senja. Ayo berlarilah.., berlarilah kencang..

[[end]]

Reuni Oh Reuni …

November 8th, 2009 by Ratna Dumila

Ini sekelumit oleh-oleh pulang mudik saya ke Surabaya akhir Oktober lalu. Di tengah tingginya hasrat pergi kesana kemari keliling Surabaya, saya menyelipkan agenda reuni dengan teman alumni kuliah. Dari rencana ketemu hanya dua orang, akhirnya terkumpulah lima orang teman perempuan di food court Tunjungan Plaza pada suatu sore.

Apa ya yang amazing? Kalau dari penampilan nyaris tidak ada perubahan, wajah dan postur mereka tidak terlalu berbeda, masih sama dengan waktu kuliah dulu. Kecuali satu teman sudah saya temui dengan mengenakan jilbab. Sementara ada satu teman lain yang dulu selalu harga mati mengenakan jilbab dan rok panjang lebar kini (sudah mulai) berani mengenakan celana jeans, hahaha (mungkin karena dua tahun belakangan ini dia ditempatkan di Jakarta, biasa pengaruh kota metropolitan). Yah, namanya juga waktu berjalan, siapa sih yang bisa membendungnya?? Dan saya yakin setelah hampir tiga tahun tidak bertemu pasti banyak cerita yang disimpan oleh kawan-kawan saya.

Orang pertama yang jadi sasaran untuk cerita adalah saya. Yang jadi topik besar tentu Alya, putri saya. Bagaimana proses kehamilan dan kelahirannya, bagaimana dia sekarang, sudah bisa apa serta bla..bla..bla.. Kemudian perhatian mengarah ke teman perempuan yang lain. Seorang kawan yang kalem, lembut, dan dikenal rajin semasa kuliah. Hubungan dengan kekasihnya sudah putus sejak setahun lalu dan kini Ia sedang dalam posisi hunting a man who can become his husband.. mudahkan urusan itu? Nyatanya tidak, rupanya posisinya yang sekarang bekerja di sebuah bank bukan jaminan bisa menemukan pasangan dengan gampang. Saya yakin bukan urusan fisik, tapi waktu dan kondisi.

“Ya sekarang gimana? Pagi kerja sampai sore. Udah gitu teman-teman kantor rata-rata juga sudah bapak-bapak. Mau jalan juga udah nggak sempat, capek..”

Sebuah alasan klise tapi ya kalau dipikir masuk akal juga..

”Kemarin sempat kenalan dengan beberapa orang di facebook tapi nggak sreg. Ada satu orang yang sekalinya kenal langsung ngajak jadian, udah gitu yang kapan hari orangnya main di ’dua kaki’. Dia deketin aku sama temenku juga..”

”Ya…aaah”, tukas saya spontan.

Dalam hati saya membatin bahwa memang kondisi yang terjadi saat ini jauh berbeda dengan saat saya SMA ataupun kuliah. Ketika saya masih SMA, perkara gonta-ganti pacar bukan hal yang tabu-tabu amat. Suka dengan orang lain dan bosan dengan yang lama ya sudah solusinya gampang : PUTUS. Alasannya paling gini : ”Maaf aku nggak bisa lanjut, aku mau fokus belajar” atau ”Maaf, kita kayanya nggak cocok lagi deh!!!”. (hahaha, saya buka kejahatan saya sepuluh tahun yang lalu).

Atau lihatlah semasa kuliah ketika sebuah hubungan mulai ’belajar sedikit-sedikit’ tentang komitmen, mulai jadian agak lama dengan seseorang, tapi biasanya di masa-masa kuliah ini kemungkinan untuk putus dan berpaling dengan pilihan lainnya masih terbuka, hehehehe. Saat itu biasanya yang perempuan sudah mulai berpikir tentang bibit,bebet,bobot pasangannya untuk menentukan apakah sang pria layak untuk jadi suaminya. Banyak sih teman yang lolos ujian ini, artinya pacar semasa kuliah adalah pacarnya atau sudah suaminya di masa sekarang ini tapi ada juga yang tidak. Saat saya kroscek dengan teman-teman di Surabaya, rupanya banyak teman yang putus nyambung dengan pasangannya, bahkan banyak juga yang ’tukar-tukaran’ pacar, dan ada pula yang putus sama sekali..

Tapi inilah kondisi yang harus kawan saya hadapi sekarang. Tentu tak ada yang bisa dipersalahkan saat hubungannya dengan kekasihnya selama tiga tahun kandas tahun lalu. Kini mau tidak mau, saatnya teman saya harus mencari orang lain. Orang tuanya sudah tanya-tanya kapan dia akan menikah.. Namun ya begitulah, masalah klasik ketika orang bekerja pagi sampai malam dengan lingkungan orang yang jauh lebih senior di atasnya. Jangankan pacaran, dapat teman lawan sejenis yang sebaya saja susahnya bukan main.

Kita beralih ke cerita kawan saya yang lainnya. Percaya atau tidak, kawan saya ini masih setia dengan cintanya semasa kuliah dulu!! Masih mending kalau teman saya ini sempat jadian dengan lelaki impiannya, tapi nyatanya dia sama sekali tidak pernah bersamanya. Lelaki itu selama ini masih menganggapnya sahabat dan kepada teman saya inilah lelaki itu selalu menumpahkan keluh kesahnya; mengenalkan sederetan pacar barunya; dan ajaibnya dia tetap melakukan itu meski dia tahu kawan saya ini memendam perasaan cinta padanya.. Aaaah, jahat!!! Dan ya itu tadi, ajaibnya pula teman saya masih setia sayang pada lelaki itu.

“Lebih baik kaya gini, kan kita bisa tetap dekat meski jadi sahabat..”

”Iya, tapi kamu khan buang waktu, Bu!. Inget umur lho, tiba-tiba kamu udah 30 aja..”

Teman saya hanya membalasnya dengan senyum cengengesan.. Seketika mendengar cerita kawan saya yang satu ini, pelan-pelan mengalun lagu sound track imajinasi ”One day in Your Life”-nya MJ di telinga saya..

Cerita dari kawan-kawan yang lain pun mengalir renyah, dan diselingi dengan tawa serta sesi foto bersama. Kami jadi sekumpulan wanita narsis di area food court tersebut dan menarik perhatian pengunjung yang lain. Sudah biar saja cuek saja.., belum tentu momen ini berulang lagi..

Pukul 9 malam kami pulang, setelah Bapak di rumah SMS “pulang jam berapa?”. Hehehe, walaupun saya sudah berumah tangga sendiri tapi karena saya di Surabaya berarti saya ya serasa masih di bawah kendali orang tua. Jadi nggak enak juga kalau saya pulang terlalu larut malam..

*

Cerita reuni sudah selesai hingga titik di atas. Tapi sepulangnya dari Surabaya, saya terkadang masih merenungkan dengan apa yang terjadi dengan kawan-kawan saya. Bukan prihatin, lho.. namanya juga setiap orang khan wajar jika mereka punya persoalan sendiri-sendiri tapi lebih ke mengguman :

“Ooo, begini ya masalah di masa kami sekarang?”.

Bukan hanya teman kuliah yang reuni beberapa waktu lalu, tapi kemarin seorang teman lelaki yang seumuran dengan saya curhat tentang kegundahannya menikah dengan tunangannya.

“Gue nggak yakin, Rat?”

“Kenapa?”

“Ya hubungan gue dah pasang surut, gue nikah karena gue nggak enak sama orang tuanya”.

“Nah, kok gitu. Kalau nggak mantep kenapa nikah?”

“Ya, masa gue batalin. Orang tuh cewek nggak ada salah apa-apa ke gue. Gue juga dah terlanjur dekat sama keluarganya. Coba lu kalau di posisi gimana ?’’

Saya tidak menjawab pertanyaan itu. Walau saya pikir teman saya ini begitu brengseknya sebagai lelaki tapi yaaah apa yang dia rasakan begitu manusiawi. Toh bukan satu kali ini saja ya dengar masalah ketidakyakinan seseorang saat Ia akan menikah. Biasanya mereka menikah hanya untuk memenuhi schedule.. ibaratnya kalau sudah pacaran lama, kerja, tunangan ya sudah nikah. Tapi apakah pernikahan itu disambut dengan antusias seperti tergambar di foto-foto pre wedding. Wah.., hanya yang bersangkutan dan Tuhan yang tahu..

Seorang teman lainnya akan menikah karena dorongan orang tuanya. Ketika satu demi satu pasangan yang Ia tunjukkan pada orang tuanya tak juga dapat nilai sempurna di mata orang tuanya, akhirnya Ia memilih menyerah dan mengiyakan calon yang di-approve oleh orang tuanya, meski hatinya bertentangan. Apakah dia bisa lari? Hallo, ini bukan sinetron Mbak.., hadapi secara realistis.. dan pilihan paling masuk akal serta tak banyak resiko adalah menerimanya.. Aduuuh, periiiihhh..

Ya, itulah hidup.. waktu terus berjalan. Seiring dengan usia, akhirnya masalah yang kita hadapi pun berbeda dan tentu jauh lebih rumit.. kita pun dituntut untuk menyelesaikannya dengan cara dewasa dan berempati dengan memikirkan perasaan pihak-pihak lain.. seperti kata saya tadi, tidak seperti SMA. Putus nyambung seenaknya..

[[end]]

Menghitung Hari ..

October 18th, 2009 by Ratna Dumila

Pirang dino engkas, Mil kowe mulih?(berapa hari lagi, Mil kamu pulang?)”, pertanyaan dari Ibu itu selalu mampir ke telinga saya belakangan ini jelang rencana kepulangan ke Surabaya. Ibu kemudian menghitung hari dan selalu mengakhiri pertanyaan itu dengan nada gembira.

“Wes arep, yo?”

Ya, akhirnya saya dapat cuti pengganti libur lebaran di akhir bulan Oktober 2009 ini. Kalau tidak salah, sudah empat kali kesempatan lebaran saya tidak pernah menjalaninya dengan ‘normal’. Entah kadang tugas liputan ataupun harus jaga kandang eh studio untuk tetap siaran. Makanya kadang saya iri dengan cerita orang-orang yang mudik, sungkem dan bertemu dengan sanak keluarga yang lain. Ada tetangga yang bilang, ”mudik lebaran di Pantura itu macetnya luar biasa tapi seneng. Beda rasanya sama macet biasa”. Duh, rasanya ngenes hati ini, kok saya jarang ya bisa begitu?

Dan itulah Ibu. Saat tahu saya akan segera pulang ke Surabaya bersama Alya, cucu tersayang membuncahlah rasa bahagianya. Walaupun terlambat tapi kehadiran kami tetap spesial baginya, hahaha. Ibu cerita katanya di ruang tamu rumah Surabaya sudah ada deretan pigura yang isinya foto Alya dan Arkan, para cucu Ibu. ”Iyo, ben ngerti nek Alya iku disambut, dienteni (Iya, biar Alya tahu kalau dia disambut dan ditunggu)”. Ibu juga berulang kali menyampaikan rencananya mengajak saya dan Alya untuk nyekar ke makam keluarga di Madiun. Tapi karena alasan kondisi fisik Alya yang masih kecil akhirnya rencana itu dibatalkan. Mungkin menunggu ketika Alya sudah mulai agak besar dan tidak rewel lagi, rencana itu bisa terlaksana. Ibu tak patah semangat, sederetan rencana lain sudah Ia susun. ”Nanti kita makan ke Lekker Joo, makan di Pakuwon, Sate Ponorogo Kertajaya, ya? Pokoke jadwale wes siap!!!”. Saya sih oke-oke saja, namanya ke Surabaya selain jenguk keluarga ya pasti juga harus wisata kuliner juga, biar lidahnya nggak kangen lagi …

Dan sekali lagi itulah Ibu saya. Kemarin saya berbagi cerita dengan seorang kawan SMA tentang obrolan Ibu di telefon. Rupanya ’fenomena’ menghitung hari kepulangan anaknya tidak hanya dilakukan oleh Ibu saya saja.

”Mamaku juga gitu, tiap kali telefon bolak-balik yang ditanyain ya kepulanganku. Berapa hari lagi kamu pulang, Nak? Ini apa juga maksudnya..”. Tawa kami langsung berderai mendengar kesamaan itu, rupanya tiap Ibu sama ya?.

”Padahal inget nggak dulu waktu kita SMA. Kalau kita pulang agak sore aja, wes mukanya Ibu nggak ada manis-manisnya. darimana kamu?” , tambah teman SMA saya cerita pengalamannya tentang Ibunya. Saya tersenyum, pengalaman serupa juga pernah saya alami juga soalnya, hehehe.. (saya dulu sering banget alasan pulang terlambat padahal nonton film sama pacar di Mitra 21, hhihihi..)

Ya, masa rupanya sudah berubah. Mana terasa bahwa sudah hampir sepuluh tahun saya meninggalkan bangku SMA, lalu kemudian kuliah, lalu kerja, berkeluarga dan akhirnya sampai seperti sekarang? Semuanya rasanya berlalu begitu cepat.

Rupanya begitulah siklus hidup. Saya dilahirkan,saya dibesarkan, kemudian saya mandiri dan Ibu merindukan saya kembali. Lalu tak lama lagi Alya saya besarkan, Alya kemudian mandiri, menikah dan tak akan lagi Ia ada di dekat saya dan haa..ah saya akan merindukannya lagi. Maka kadang ketika Alya sekarang sudah mulai rewel, atau justru pada saat Alya lengket sekali dengan saya, saya lalu bilang ”Alya jangan lupa apa yang terjadi sekarang ya? Besok kalau kamu punya pacar jangan lupa sama Mama ya??”.

Ah, Ibu.. sungguh saya tidak ingin meninggalkanmu. Sungguh saya sedih melihat badan Ibu yang tambah kurus. Sungguh miris dengar bahwa Ibu harus disuntik insulin setiap hari karena diabetes. Dan betapa malunya saya, saya belum cukup bisa dibanggakan dan membuat Ibu ayem.

Tapi, tenanglah .. Tinggal senin, selasa, rabu, kamis, jumat dan SABTU kita ketemu. Aku pulang, Ma…

[[end]]

“SHO WAT GITU LOH?”

August 26th, 2009 by Ratna Dumila

Saat ini anda yang rutin membaca blog saya jangan khawatir tulisan sekarang akan kembali membuat anda mellow, marah, sedih atau bahkan mikir (makanya daoakan saya bisa secerdas Alfito Deannova biar bisa nulis tulisan ‘berat’ hihihi..). Saya ingin mengajak anda tersenyum atau tertawa kecil membaca tulisan saya sekarang, saya coba ya?

Perjalanan ke kantor yang saya tempuh naik motor rupanya memberi saya banyak kesempatan untuk melihat kanan-kiri. Begitu juga saat saya dulu masih sering liputan di Surabaya maupun di Jakarta. Sepanjang jalan ada saja hal yang menggelitik untuk direnungi atau justru ditertawakan. Dan salah satu hal yang bisa membuat saya terhibur adalah tulisan-tulisan di jalanan yang kadang salah penulisan dan ejaannya hingga membuat saya berpikir “gimana sih ini orang yang nulis? Pasti waktu sekolah dia bolos saat pelajaran bahasa”. Dan yang paling menggelikan tulisan salah ejaan itu tetap dengan ‘pede’nya nampang di jalanan dan si empunya pembuat tak menyadari kesalahannya.

Saya mulai mau mendata tulisan-tulisan konyol tersebut untuk anda.

  1. Saat saya dalam perjalanan menujul liputan ke Kediri, Jawa Timur saya melihat ada seorang penjual ikan di pinggir jalan. Anda tahu apa tulisan untuk promosinya ? “JUWAL IKAN HIYAS”..
  2. Ada lagi orang di sebuah desa yang ingin menjual sepeda onthelnya, dipasanglah papan kecil di stang sepeda bertuliskan “SEPEDAH DI JUAL”. (sebagaian masyarakat jawa memang kadang bilang sepeda ada yang ditambah huruf ‘h’ dibelakangnya).
  3. Ada seorang tukang duplikat kunci di Sidoarjo yang mengecat kiosnya dengan tulisan “ TUKANG KONCI” (lagi-lagi biasanya orang Sidoarjo, Jawa Timur bilang ‘u’ menjadi ‘o’. misalnya Lumpur dibaca lompor, nganggur dibaca nganggor).
  4. Seorang teman pernah bercerita pengalamannya di Ancol melihat sebuah kios minuman yang sepi. Rupanya ia tahu alasannya karena di depan kios tersebut bertuliskan “JUAL KOLT DRINK DAN SNAKE” maksudnya “COLD DRINK dan SNACK”. Lha kalau dijual ular siapa yang nggak takut???
  5. Ada lagi tukang servis elektronik di dekat rumah saya yang agak sok keminggris (ke inggris-inggrisan) yang menuilis “Service Machine Cuci”. Alllaaaah, kenapa kok nanggung sih nggak sekalian..
  6. Kemarin saya juga lihat ada pangkalan ojek di Pondok Bambu yang menuliskan “OJEK JAM 24”, mungkin maksudnya OJEK 24 JAM. Lha kalo jam 12 malam, siapa dong yang mau naik???
  7. Sebuah truk pernah di kaca depan atas menempelkan stiker “SHO WAT GITU LOH?”. Weleh weleh, pingin kece tapi kok…
  8. Biasanya paling jamak adalah orang yang salah nulis “KETOK MAGIC” jadi : ketok mejik, ketok majik, ketok magik.. Atau biasanya “SERVICE” jadi ; cervice, serfis.
  9. Lagi zaman rame-ramenya Manohara ada angkot yang menulis namanya besar-besar di kaca belakang “MANUHARA”.

Saya sadar bahwa sudah ada banyak orang Indonesia yang bisa baca tulis, tapi menulis yang benar rupanya juga bukan perkara mudah ya?? Anda punya temuan yang sama, bagi ya???

“What is in a name..??”..

August 23rd, 2009 by Ratna Dumila

Saya bikin riset kecil-kecilan, tapi jangan tanya tentang metode penelitiannya. Namanya juga asal, jadi ya hanya berdasar pengamatan saja, hehe.. Begini, pernahkah anda sadar bahwa rupanya nama seseorang itu ditentukan oleh dekade tahun kelahirannya. Zaman saya dulu tahun 80 an, saya ingat sewaktu SD nama teman-teman seangkatan adalah Mira, Yuyun, Susi, Niken, Ayu, Shinta, Indri, Devi, Nana dan lainnya. Nah, coba sekarang tengoklah nama-nama anak era 2000-an, namanya rata-rata modern dan enak didengar seperti Kayla, Nayla, Kiara, Keisha, Najwa, Zahra (di komplek rumah ada tiga anak perempuan yang namanya ini), Maura dan sebagainya. Kalau cowok lebih ke nama Islami seperti Rafi, Rafli, Raihan dan Akbar.. Bener nggak? Kurang kerjaan betul saya ini mengamati hal ini.. Saya bayangkan kalau saja nama anak saya sekarang adalah sebangsa Yuyun, Santi, atau Niken mungkin ada sebagian orang yang aneh mendengarnya karena rasanya ketinggalan zaman banget, hahaha.. Terus, bayangkan juga jika gurunya mengabsen namanya ketika yang lain namanya Marvel, Kiara, Zahra, terus nama anak saya Yuyun atau Hartinah, lalu apa kata dunia???. Maka dengan pikiran panjang dan matang saya berikan nama anak saya ‘Rameyza Alya Hakim’ yang berarti wanita bijaksana yang diberi kedudukan tinggi dan terhormat’. (itu saya nyontek di buku-buku yang dijual di Gramedia juga kok…)

Ngomong-ngomong tentang nama, saya juga punya cerita. Begini, kedua orang tua saya memberikan nama saya Ratna Dumila. Awalnya sewaktu SD saya kurang sreg dengan nama itu, karena kadang banyak yang me-plesetkannya dengan Ratna Dumilah, Jamilah, Karmila, bahkan paling jauh Jum-minten, hihihi. Namun ketika tinggal di Magetan, Jawa timur (saya lupa SD kelas berapa) pernah suatu malam Bapak dan Ibu mengajak saya ke Madiun yang jaraknya tidak terlalu jauh. Saat itu ada pementasan ketoprak Siswo Budoyo. Namanya anak kecil ya saya he..eh aja. Di suatu lakon rupanya diceritakan ada seorang putri dari Bupati Madiun yang bernama Raden Ayu Retno Dumilah. Di situ, lakonnya diperankan seorang wanita yang cantik, molek, dengan suara merdu namun sekilas saya menangkap ada sisi ketegasan dari tokoh Retno Dumilah itu. Soal cerita lengkap sosoknya, sekali lagi karena masih kecil saya tidak nyambung. Sekilas adalah Raden Ayu Retno Dumilah adalah seorang putri yang tidak ingin tunduk dalam kekuasaan Mataram yang mengirimkan utusan Sutawijaya. Saat berperang, Retno Dumilah dengan Sutawijaya kalah dan menjadi tawanan Mataram, namun pada akhirnya Retno Dumilah ini dijadikan istri oleh musuhnya sendri si Sutawijaya itu (heroik betul sejarah nama saya, ya??). Tapi dari malam itulah setidaknya saya tahu bahwa nama Retno Dumilah yang akhirnya diadaptasi oleh Bapak Ibu saya menjadi Ratna Dumila adalah bermakna baik, ada sejarah Jawa dan menyiratkan arti keberanian serta pantang menyerah.. Kurang lebihnya begitu..

Nah, sewaktu saya baru bekerja di tempat televisi lama adalah saya yang menyandang orang kesekian yang bernama ‘Ratna’. Akhirnya seorang teman memberikan saya panggilan ‘Ratdum’ alias singkatan dari RATna DUMila. Awalnya saya menolak karena rasanya nama itu tidak indah sama sekali didengar tapi ya mau bagaimana lagi, semua orang sudah akrab dengan nama itu hingga sekarang di Jakarta. Jadilah nama panggilan saya dari Mila menjadi Ratdum. Kemudian munculah modifikasi nama itu menjadi “Dumdum”. Alamak…

Sekarang masalah nama juga merembet ke masalah siaran, lho. Waktu di tempat lama ada teman yang mengusulkan nama saya diganti karena terlalu njawani. “Ganti, Rat. Masa di nama presenter yang lain pada kelihatan modern kok kamu tetep Ratna Dumila. Presenter opo iku?”, kata seorang teman dengan nada becanda tapi ngece.”Bayangkan di Metro itu namanya Kania Sutisnawinta, atau Chantal Della Concenta. Enak khan didengarnya, masak kamu Ratna Dumila?”. Jelas saja saya menolak, bagaimana pun ini nama pemberian orang tua saya. Saya yakin nama ini punya makna bagi orang yang mengerti sejarahnya, hehehe (sok yakin banget, masalahnya yang ngerti arti nama saya ini khan cuma segelintir orang). Persoalan lain adalah biasanya orang mengerti bahwa nama saya ini adalah adapatasi dari nama peragawati 80’an. Aduh, tambah jauh lagi. Nah, masih tentang nama dengan siaran.. Tiga kali patner saya siaran di Kabar Siang pernah keceplosan memanggil saya “Ratdum” dan bukan Ratna. Biasanya mereka cuman cengar-cengir merasa tak enak hati, tapi dalam hati saya ya cuman bisa ngerundel, wong dari dulu nama saya Ratna Dumila, kok dan bukan Ratdum. Salah sendiri!!!

Ah, sudahlah biar saja. Benar kata William Shakespeare, “What is in a name..??”..

Jangan Mengeluh ..

August 3rd, 2009 by Ratna Dumila

Hampir tiga tahun hidup di Jakarta, membuat saya punya banyak kesempatan untuk memetik banyak pelajaran. Dengan berat hati akhirnya saya harus jujur bahwa saya adalah tipikal orang yang pengeluh. Selalu tidak puas dengan apa yang saya miliki, selalu melihat ke atas dan merasa bahwa ada banyak orang yang lebih beruntung daripada saya dan saya adalah segelintir orang yang sengsara. Hal yang manusiawi saya rasa, dan mungkin itulah yang juga pernah anda rasakan. Bukan begitu?

Saya merasa jarak 50 km PP ke kantor dengan naik motor tiap harinya adalah pengorbanan paling berat, saya merasa pekerjaan saya berat, saya merasa Bos begitu sentiment dengan saya, saya merasa barang yang saya miliki sudah tidak up to date lagi, saya merasa baju saya sudah jadul modelnya, saya merasa saya tidak cantik, saya merasa …bla..bla..bla..

Tapi, itulah.. Allah rupanya memang masih sangat sayang dengan saya. Ketika saya terus mengeluh dan lupa mensyukuri kuasa-Nya, maka Ia dengan baik hati memberi saya kesempatan untuk sadar. Satu hal adalah ketika saya hidup di Jakarta maka saat itu pulalah saya ditunjukkan ada 1001 cara manusia untuk bertahan hidup, tekun menggeluti pekerjaannya (yang jauh lebih sulit daripada yang saya alami), dan hal itulah yang membuat saya sadar bahwa yang saya alami bukanlah apa-apa..

Satu waktu dalam perjalanan pulang usai mengantar baby sitter pulang kampung, di sekitar jalanan Rawa Lumbu, Bekasi saya melihat seorang pemuda memanggul tas kain serupa tas pak jenggot di majalah Bobo yang berisi penuh buku. Di tangannya juga tergenggam sekitar lima buku agama dan rupa-rupa (saya tak begitu jelas melihatnya). Dengan tas berat ala pak Jenggot itu, tubuhnya agak bungkuk menyusuri jalanan. Saya menduga dia sedang menanti sebuah bus untuk ia jadikan ‘pangsa pasar’. Ya, biasanya orang seperti itu akan menjajakan dagangan murah meriahnya di atas bus, Ia akan menyebarkannya satu demi satu ke penumpang, dan berharap ada pembeli yang tertarik. Lepas sudah urat malu, Ia akan mempresentasikan buku-buku yang Ia bawa dengan lancer bak seorang presenter handal. Lalu saya mikir, “berapa sih untungnya? Apa sesuai dengan berat beban Ia panggul ke sana ke mari itu?”. Tapi jauh dalam hati, saya salut dengan semangatnya, setidaknya Ia bukan orang yang meminta-minta.

Sekali waktu larut malam saat saya selesai mengambil uang di ATM dekat rumah, saya dihampiri oleh seorang nenek. “Nak, mau kue ?”. Dengan halus saya jawab tidak. “Belilah, Nak”. Sepintas saya ingat sosok Ibu dan juga mertua saya, saya bayangkan jika yang berjualan ini adalah mereka. Mana saya tega?.

“Kue apa ini?”

“Brownies, murah 25.000 saja”

“20.000 ya?”

“Tambah dikit lah, Nak? Ini bagus bahannya”

“Nggak ah, 20.000”

“Ya sudah. Ambil berapa?”

“Satu aja”

“ Puji Tuhan Jesus. Kamu nasrani, Nak?”

“Bukan, saya muslim”

“Kamu rajin-rajin sembahyang ya, Nak. Tuhan akan berkati kamu”, nenek itu berkata sembari tersenyum senang karena dagangannya laku.

“Buat sendiri, Nek kuenya?”

“Ini buatan anak saya, buat biaya sekolah. Ini Nak kuenya. Ingat kamu rajin sembahyang ya. Puji Tuhan mempertemukan kita..”.

Sesampainya saya di mobil, saya baru menyesal kenapa brownies tadi ditawar. Tega betul saya ini. Sekali lagi rasanya hati miris membayangkan seorang nenek tua pukul 22.00 masih belum istirahat hanya untuk mengumpulkan rupiah demi rupiah. Satu lagi, dia mengajarkan toleransi yang tinggi pada saya. Saya tahu dia Nasrani, tapi dia tetap menghormati keyakinan saya dengan menyuruh saya rajin sholat.

Seorang sahabat saya lain lagi ceritanya. Ia harus bangun pukul 03.00 pagi untuk segera membuat risoles dan kue sus. Meski Ia ibu rumah tangga tapi Ia tak ingin berpangku tangan untuk membantu ekonomi keluarga. Kue-kue itulah yang tiap paginya akan Ia setorkan ke warung-warung sekolah di sekitar kompleks rumah kami. Bayangkan saja bagaimana repotnya Ia harus mengerjakan hal itu sementara Ia punya dua anak kecil perempuan yang masih kesana-kemari dan tanpa pembantu..

Pengalaman lain juga saya dapatkan dari perjalanan pulang dari kantor ketika malam berangsur tiba. Di sepanjang jalan Pondok Bambu, sesekali saya bertemu dengan keluarga gerobak. Bapaknya mendorong gerobak, Ibunya di belakang sedangkan anak-anaknya tidur di dalam gerobak itu. Anda tentu bisa membayangkan sendiri tanpa saya harus deskripsikan bagaimana mirisnya. Yang saya pikir, bagaimana caranya keluarga itu hidup saat hujan, panas, angin datang. Darimana uang obat, darimana uang dokter sedangkan uang makan saja kadang ada kadang tidak. Pernah saat kebetulan saya berhenti saya sodori Sang Bapak uang ala kadarnya dan tahu apa balasannya? Ucapan terima kasih yang tiada putus..

Dan pelajaran yang paling mudah saya temui adalah tentang Atin, pembantu saya. Usianya belum genap 17 tahun saat Ia ikut saya ke Jakarta. Sebelumnya Ia sudah ikut keluarga saya di Surabaya. Dengan berani Ia akhirnya memilih ikut saya ke Jakarta (Bogor sih maksudnya..) tanpa takut kangen keluarganya di Ngawi. Namanya juga belum dewasa betul, kadang ada saja pekerjaan rumah yang masih Ia lakukan serampangan. Kalau akhir pekan, itu jadwalnya untuk hang out ke pasar dekat rumah untuk sekedar beli kaos atau apalah.. Kapan itu Ia beli kaos dengan tulisan “hijau daun” atau “The Virgin”. Sesekali waktu hal itu membuat saya geleng-geleng kepala dan akhirnya saya memilih cerita ke Ibu yang ada di Surabaya all about Atin.

“Kamu mau jadi Atin? Umurnya bari 16 tapi dia sudah jajah pergi ke Jakarta cuman buat mbelani diut beberapa ratus ribu, thok? Ninggalne keluarganya di Ngawi dan setahun sekali dia pulang!”.

Baru akhirnya saya sadar bahwa saya harusnya malu pada Atin. Dia lebih muda daripada saya tapi dia telah mengajarkan satu hal : “kemandirian”.

Ah, saya malu tulisan saya jauh dari rasa menyentuh. Tapi ya itulah sekali lagi, intinya Tuhan sangat bijak memilih cara untuk mengingatkan saya agar tidak takabur, agar tidak hidup bermewah-mewah dan tenggang rasa serta berempati dengan apa yang orang lain rasakan. Dan satu hal, TIDAK TERUS MENGELUH …

Antara Aku, Alya dan Ibuku …

July 24th, 2009 by Ratna Dumila

Sore itu mendung gelap menggelayut di langit Jatiasih, Bekasi. Sesekali cahaya berkilatan cepat dari celah langit. Dari atas motor supra fit, saya berharap dalam hati,”jangan hujan..jangan hujan..”. Ya, sore itu perjalanan pulang dari kantor saya memang tidak berencana segera pulang ke rumah tapi harus mampir ke suatu tempat, beli susu formula buat Alya, Rameyza Alya Hakim, anak saya tersayang. Kemarin sore, baby sitter Alya bilang, “Dik Mila ( dia biasa memanggil begitu karena usianya lebih tua 20 tahunan lebih dari saya), susunya tinggal sedikit. Mungkin cukup buat besok sama lusa saja”..

Saya segera memacu motor sekitar 300 meter dari pintu tol Jatiasih menuju ke arah Ciangsana. Di sana ada sebuah agen susu, di rak tokonya berjajar puluhan kaleng susu berbagai merek.

“Koh, ada susu merek X”, Tanya saya dengan menyebut susu yang biasa Alya minum.

“Nggak ada, stocknya lagi kosong…”.

Tak banyak basa-basi, segera saya kendarai motor mencari toko lain. Cuaca sudah mulai tidak ramah, mendung makin gelap, setir motor dan helm sudah sesekali dihiasi titik air hujan. Setelah menempuh jarak 3 kilometeran, motor saya hentikan ke sebuah swalayan kecil searah dengan jalur rumah.

“Ada susu kaleng X, mbak?” Tanya saya dengan mata awas mengamati rak di belakang meja kasir.

“Hmm..,nggak ada kosong, Bu”, jawab mbak kasir sekenanya setelah sebelumnya melirik rak sebentar.

Agak kecewa, tapi mata saya terus awas mengamati hingga rak terbawah.

“Nah, itu mbak ada. Ada berapa di sini?”

Mbak kasir kemudian bertanya pada temannya yang lain yang berada di gudang dan tak lama ada satu lagi susu sama dibawa. Tak butuh waktu lama, dua susu sudah di tangan, sekarang waktunya pulang. Dan benar saja, hujan sudah menyapa tapi tak masalah yang penting susu Alya sudah aman…

Sepanjang perjalanan ke rumah, di atas motor saya selintas berpikir. Tuhan masih memudahkan urusan saya dalam hal logistic susu ini, hahaha… Semuanya saya lakukan demi anak dan saya yakin itu semua juga dilakukan oleh semua orang tua di dunia ini.. Sekilas berkelebat bayangan Ibu saya yang ada di Surabaya, tiba-tiba saya ingat Ibu.

Ah Ibu, saya jadi ingat seluruh perjalanan kita… Sejak kecil, Ibu saya selalu menerapkan aturan disiplin yang ketat, semuanya serba terencana, Beliau tipikal orang yang sangat perfeksionis. Dan tentu saja hal itu berbeda dengan saya. Saya orang yang semaunya sendiri, mengalir apa adanya, dan agak kesana kemari. Jadi pastilah saya dengan Ibu saya ada sebagian hal yang tidak memiiki kecocokan. Saya jadi ingat satu cerita semasa SD. Ketika teman-teman main ke rumah, Ibu justru memberi mereka tugas matematika. Katanya daripada main lebih baik belajar tambah-tambahan dan tahu apa? Sejak itu teman-teman SD saya kapok main ke rumah, hahaha…

Saya mulai menemukan kecocokan dengan Ibu saat mulai bekerja, menikah hingga sampai saat ini. Beliau bukan lagi Ibu streng yang penuh disiplin tapi lebih jadi orang yang mengayomi. Beliau bukan lagi orang yang pelit pujian tapi kini lebih jujur saat menilai prestasi anak-anaknya. Beliau adalah Ibu yang hangat..

Bahwa banyak pertentangan antara kami di masa lalu, saya akhirnya sadar itu Ibu lakukan demi yang terbaik untuk anaknya. Bahwa saya sering marah pada Ibu, itu karena saya tidak tahu rencana terbaik apa yang Ibu rancang untuk saya. Ketika akhirnya antara rencana dengan kemauan saya tidak cocok, saya kembali ke poin awal, ITU KARENA IBU SAYANG SEKALI PADA KAMI..

Dan ketika Ibu kini sudah sepuh, sudah ringkih karena diabetes, Ibu tetap mengajarkan hal terbaik pada saya. Ia masih berusaha mandiri tidak tergantung pada orang lain meski saya tahu itu tidak mudah. Ah, sudahlah tak usah saya sebutkan satu demi satu apa yang Ibu ajarkan pada saya, too much!!! Ibu lah yang terbaik..

Tiba-tiba perjalanan saya sudah berakhir, saya sudah sampai di rumah. Di depan pintu, Alya menyambut saya dengan bibir tawa lebarnya. Saya sapa dia, dan langsung saya ciumi, saya ciumi sepuasnya.. Saya tahu Ibu saya pernah melakukan hal yang sama. Saat itu saya di gendongannya….

Demi kami, mereka dan anda

September 17th, 2009 by Fenny Anastasia

Terkadang realita dan berbagai kondisi yang dilihat dan dialami seorang jurnalis
Memaksa untuk sejenak berpaling dari perasaan pribadi, sentimentil, ketakutan, pesimistis, subyektifitas, keegoisan, kejenuhan, dan iba…
Kadang menyiksa, tapi biarlah begini, sebagai sebuah konsekuensi ,dedikasi dan… ‘industri’

Demi kami, mereka dan anda…

Hiruk pikuknya nya perdebatan
Riuh rendahnya deklarasi dan perjuangan serta dentuman kesengsaraan yang membabi buta
Seolah tak terbendung dan tersaring oleh sebuah kelambu yang bernama dedikasi…
Jauh di ujung sana berlapis keinginan untuk merangkul dan merengkuh bersama…

Dikala ribuan manusia terengah mengayuh langkah di ibukota
Dan semakin tergopoh mereka dengan terbatasinya ruang lingkup dengan rangkaian benteng hukum
Terinjak oleh mahalnya sebuah kehidupan..
Seakan tak ingin menambah beban dengan jejalan pertanyaan dan segera mengulurkan sebelah tangan
tatkala tangan lain memegang senjata idealisme sebuah industri informasi
Harus bertahan dan biarlah begini..

dan tatkala musim itu tiba,
dimana ribuan bendera berjaya dimana dimana
bukan bendera merah putih itu, ini bendera promosi sebuah kekuasaan
maksudku banyak tawaran variant kekuasaan
merah, kuning, biru, hijau, merah bercorak, atau polos bergambar de el el
sontak seketika itu tak terhitung pula wajah ceria,gembira ria, penuh senyum simpul, memaksa untuk dipedulikan dan mempedulikan
tak ingin melihat tapi tak kuasa menolak, seperti terperangkap
hingga segera harus beranjak dan berbuat untuk sebuah rangkaian kata dan kalimat demi mereka
dan sebagian lain orang yang ‘terperangkap’

tak perlu itu..gumamku di dalam sana, dan ternyata hanya bisa begitu
sembari sadar menjadi bagian kemeriahan musiman

sesekali terpaksa menutup mata dan telinga..
sembari memegang sebuah bendera lambang kejayaan, kami….

harus bertahan dan biarlah begini…

sebuah gendongan yang mahal

September 11th, 2009 by Fenny Anastasia

Bbrp saat mata kami beradu,
dengan jelas dapat kutangkap harapan besar dalam sekelumit senyum polosnya.
Tp Sayang blm sampai hitungan menit, seorang petugas melarang kami untuk melakukannya, meminta kami menurunkan dari gendongan
Dg alasan takut keenakan..
Ironis ..ternyata anak2 seusia itu hanya pantas mendapat gendongan ketika sdh jelas ada yang melamar
Alias akan mengadopsi..
Jika tidak, jangan harap mendapat pelukan dan gendongan hangat dari siapapun..
Ini hanya sekelumit pengalaman ketika mencoba kembali bertandang di tempat penampungan anak panti asuhan balita cipayung jak tim
Ketika masuk salah satu ruangan tempat tidur, bermain, makan dan menangis untuk bayi bayi mungil ini
Mata saya sejenak terpana akan pemandangan itu
Belasan balita menyambut kedatangan kami dg ramah dan ceria
Ooh sungguh malang, mereka tak pernah tau dimana orang tuanya..
Entah, mungkin mereka justru blm tau apa itu yang disebut dengan orang tua
Ada sedikit hal tak biasa yang tertangkap dibalik senyum polos itu..
oh Tuhan rupanya anak-anak sekecil ini mencoba menarik perhatian kami, tatapan, senyuman, sentuhan ,dan kadang terlihat tak tau lagi dg cara apa mereka harus saling berebut merebut hati kami
untuk membawanya keluar dari tempat itu
atau, setidaknya sudi meluangkan sedikit waktu berbagi kebahagiaan bersama mereka
‘mama..mama’ atau akhirnya hanya itu yang mereka bisa…

memandang mata mata kecil jernih dan polos
Kala itu tiba tiba tersadar
Mau tak mau menggeliat dari pesimisnya melihat yang mulia manusia
Berharap tak akan bertambah makhluk2 kecil ini setiap hitungan harinya..

kanvas maya

September 11th, 2009 by Fenny Anastasia

Ketika mencoba kembali ke kanvas maya ini..rasanya sungkan utk mengumbar kata2 tanpa maksud yg jelas
tp sdhlah..sprti biasa sy hanya ingin jujur..
Kanvas..sesuatu yg sederhana dan akan menjadi penuh makna
Tak pernah ingin mendikte rupa, karena sadar hanya sebuah tempat menuang makna
Bukan bualan..bukan rangkain pujian ataupun setumpuk buaian
Namun goresan maha karya dalam aneka rupa
Sungguh indah..di sisi lain, tak jelas mau apa dan kemana
Tp biarlah demikian adanya
tak ada yg berkuasa memaknai..tak ada yg bisa disangkal…semua hanyalah mahakarya dalam balutan makna yang tertoreh dalam sebuah kanvas maya…
Terbaca..atau
teronggok diujung ruang kosong dan hampa.
Gambaran sebuah realita..bukan dg kata kata (semoga)

saat rajin2 nya corat coret, bikin karangan remaja, cerita hasil imajinasi, gambar muka dosen, kaligrafi di tangan, dan pastinya skripsi :-)

saat rajin2 nya corat coret, bikin karangan remaja, cerita hasil imajinasi, gambar muka dosen, kaligrafi di tangan, dan pastinya skripsi :-)

bbrp teman mempertanyakan mengenai tulisan ini, memang..mungkin tulisan ini akan agak susah utk dimengerti maksudnya, jadi baiklah sy akan mencoba sedikit menambahi mengenai maksud di dalamnya, kira2 begini…

kanvas maya itu sy tulis utk menggambarkan situasi penulis (saya) saat membuat tulisan itu:-)
intinya, tulisan ini dibuat saat sangat ingin menulis, meskipun ga jelas jg apa yg mau ditulis..tp hanya ingin jujur menorehkan apa isi hati pada pembaca…(maklum penyakit mood2an)
saya mencoba menjelaskannya dari sisi objek yaitu salah satu halaman di internet, yg dikiaskan sebagai kanvas (wahana utk melukis) “maya” (tak nyata, tak tersentuh)
Meskipun saat itu kondisi penulis sedang sedih, gundah, bingung, atau apa saja, maka saat itu jg, penulis bisa saja bebas melukis/menulis apa aja dlm objek itu, dan bagimanapun hasil lukisan/ tulisannya, maka dia (kanvas) tidak akan pernah protes, krn hanya sebuah wahana menuangkan apa aja, jadi terserah mau dijadiin apa.
knp kanvas??
krn bagi saya, kanvas adalah sebuah wahana yg sederhana tapi akan menjadi luar biasa indah bila berada pada tangan2 yg tepat, akhirnya tergantung pada si pelukis. bisa saja menghasilkan sebuah mahakarya indah yg banyak dikagumi, atau hanya sebuah lukisan biasa yg teronggok di sebuah sudut gudang (meskipun mungkin begitu berharga bagi pelukisnya)…akan menjadi demikian jg dg tulisan, maka apapun hasil tulisannya, penulis hanya akan tersenyum lega, karena hanya ingin jujur dalam mengurai tulisan, saat menulis kembali, walau pasti banyak keterbatasan.
hanya ingin menulis…..dan terserah bagaimana pembaca memaknai, itu saja..:-)
begitu kira2..semoga jelas ya.
makasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar