Jumat, 28 Mei 2010

Kemerdekaan di Perbatasan elvira

Kemerdekaan di Perbatasan

August 23rd, 2009 by Elvira Khairunnisa

Postingan kedua..

Alhamdulillah..itu kata pertama saya ketika landing dengan selamat di Bandara Udara Mopah. Akhirnya tiba di Merauke – Papua, salah satu kota di ujung Timur Indonesia.

Perjalanan cukup luar biasa. Saya dan tim TVONE, berangkat pukul 22.00 WIB, dengan rute Jakarta – Makasar – Biak – Jayapura – Merauke. Total perjalanan lebih dari 6 jam ( ini hampir sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk penerbangan ke Australia).Take off dan landing berulang kali, membuat perjalanan terasa tidak nyaman (alias jantungan hehehe)

Jujur, saya sama sekali belum pernah ke Papua. Hanya sebatas mendengar cerita dari teman-teman, atau melihan tayangannya di tv. Di benak saya, Papua adalah provinsi yang sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan provinsi lain. Termasuk masih banyaknya suku – suku asli, yang mempertahankan kebudayaannya dengan tidak terlibat dengan modernisasi.

Tapi semuanya salah, saat menapakkan kaki di kota Merauke, semuanya biasa saja. Tidak ada pemandangan yang “aneh” menurut saya. Bahkan, saya bertemu banyak masyarakat dari suku Jawa, yang kebanyakan berdagang atau menjadi transmigran di Merauke.Suku Bugis juga meramaikan kota Merauke. SMS atau pesan di Facebook dari teman-teman, yang berisi ” Vie, titip koteka ya, atau hati-hati lihat orang sana pakai koteka”, ternyata tidak terbukti hehehehe.

Mungkin bila perjalanannya bukan ke Merauke, melainkan kota-kota terpencil lainnya di papua, sms dari teman-teman saya baru terbukti :)

Suku asli terbesar di Merauke, yaitu suku Marind, ternyata juga sudah berkembang. Meskipun masih ada sebagian yang memilih tetap untuk mempertahankan adat istiadat dengan berburu. Biasanya hewan yang diburu ada rusa, babi, atau kangguru. Kota Merauke memang dikenal sebagai kota Rusa. Dekade 1990-an, rusa bahkan sering dijumpai di pusat kota. Namun sekarang, rusa harus diburu sampai ke pedalaman hutan merauke.

Berburu, memang menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat yang tinggal di pinggiran kota Merauke. Termasuk di wilayah perbatasan antara Merauke – Papua Nugini, yaitu distrik Sota. Di distrik ini, ada sebuah patok wiilayah perbatasan, yaitu patok 13. Bentuk nya cukup sederhana, dengan makna luar biasa…hanya berbentuk batu, yang sekilas mirip batu nisan kecil.

Perbatasan memang target utama peliputan di Merauke. Pemandangan “luar biasa” akhirnya muncul. Dimulai dari kondisi serba terbatas yang harus dimaklumi masyarakat disana, saya sadar, Merauke memang butuh lebih banyak perhatian dari pemerintah pusat.

Listrik terbatas ( listrik hanya tersedia dari pukul 6 sore hingga 12 malam), sinyal yang “super minim” menyulitkan tim untuk melakukan live report. Meskipun dengan modal “telepon satelit” tetap saja komunikasi untuk melakukan koordinasi dengan Jakarta menjadi terbatas. (Saya terakhir kali memakai telepon satelit ketika melakukan peliputan tsunami tahun 2004, saat itu hampir keseluruhan infrastruktur di pantai barat Aceh hancur).

Saya ngobrol dengan warga transmigran asal Jawa Tengah, yang mengaku akhirnya terbiasa dengan kondisi terbatas tersebut. Sedikit miris rasanya, ketika membayangkan Jakarta terang benderang, dan komunikasi bisa dilakukan 24 jam tanpa hambatan. Sementara warga di perbatasan harus standby di “pohon sinyal” (sebutan warga untuk pemancar di dekat perbatasan) bila ingin berkomunikasi melalui telepon dengan sanak saudara di kampung halaman.

“Kita ini untung-untungan mbak, pernah dulu hampir dua bulan, pemancar rusak. Waduh, itu kalau mau telpon keluarga, harus ke kota dulu.” ujar seorang warga . Sedikit ilustrasi, jarak kota Merauke dengan Distrik Sota lebih dari 50 km. Tidak ada angkutan umum yang melintas, kebanyakan naik mobil sendiri atau numpang di mobil yang melintas. Makin tersenyum miris, itu baru soal komunikasi, belum lagi masalah pendidikan dan kesehatan yang lagi-lagi berlabel “terbatas”.

Joseph Mbanggu, orang pertama yang membuka pemukiman di distrik Sota, juga mengakui label “terbatas” memang sudah melekat sejak perbatasan disulap menjadi pemukiman. Tahun 1990-an, dia mulai mengajak beberapa keluarga, untuk menetap di wilayah sekitar perbatasan. Tapi perkembangannya, ternyata tidak sesuai seperti yang diharapkan. Termasuk pembangunan infratruktur yang terbentur dengan aturan pembangunan yang dibatasi. Distrik Sota memang terletak dikawasan hutan yang dilindungi, yaitu Taman Nasional Wasur. Joseph mengatakan, masih terus berjuang agar pemerintah pusat mau “melirik” sedikit pembangunan di wilayahnya.

Itu hanya potret kecil dari wilayah perbatasan di distrik Sota. Karena masih ada puluhan titik wilayah perbatasan lainnya di berbagai pelosok di Indonesia yang berada di posisi yang tidak jauh berbeda. Pembangunan infrastruktur yang terhambat, membuat perkembangan masyarakat juga bergerak dengan “slow motion”. Kita tidak berbicara siapa yang salah, dan siapa yang benar. Tidak ada yang bisa ditetapkan menjadi “terdakwa” dalam kasus pembangunan yang di wilayah perbatasan.

Mungkin kini hanya ada harapan-harapan, menunggu ada yang mendengar dan memberikan perhatian yang maksimal bagi saudara-saudara kita di wilayah perbatasan. Meskipun itu harus menunggu selama bertahun-tahun. Karena kita tidak ingin, kemudian timbul pertanyaan, apakah arti perbatasan = terbatas??

560 Kursi di Senayan

Postingan pertama …

Hubar habir masalah kursi belakangan menjadi topik yang paling hangat dibicarakan di media. Bom di kawasan Mega Kuningan memang tidak kalah “sexy”, namun masalah siapa yang dapat dan tidak dapat kursi, membuat berita seputar Pemilu Legislatif yang sempat redup oleh Pemilihan Presiden kembali menghangat.

Beberapa menit lalu, saya baru saja menerima sms dari seorang narasumber, yang terancam tidak melenggang ke senayan bila Putusan Mahkamah Agung ternyata berlaku surut.

Saya sempat mewawancarainya, beberapa hari lalu. Ia bahkan menyebutkan “Putusan MA sebagai tsunami politik“. Uhm, separah itukah???

Caleg dari Jawa Timur tersebut ( Maaf, tidak menyebutkan nama dan asal partai) mengirim pesan seperti berikut :

“Alhamdulillah, Keputusan KPU membawa rasa keadilan dan sesuai dengan prediksi dan keinginan saya yaitu KPU menerima keputusan MA namun diberlakukan untuk yang akan datang ( karena keputusan MA tidak berlaku surut). Terima kasih atas support, dukungan, dan pemberitaannya.”

Rapat Pleno yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum hari ini, ditunggu oleh semua caleg DPR serta DPRD yang “khawatir” kursinya terenggut oleh Putusan MA. Tapi seperti sms dari narasumber saya, KPU akan lebih bijak menyikapi putusan MA. Tidak melawan, melainkan menerima, dan menerapkannya untuk kedepan…( tidak berlaku surut)

Saya yakin, banyak yang ” bernapas lega” malam ini…Saat kursi impian ternyata masih bisa dipegang, dan akhirnya merasakan duduk di Senayan…

Saya yakin, banyak yang ” merasa kecewa ” malam ini..Saat celah untuk mendapatkan kursi sudah hilang, dan akhirnya tidak merasakan duduk di Senayan…

Dan saya yakin…masyarakat atau anda yang membaca tulisan ini, tidak perduli berapa kursi yang didapatkan partai politik apapun itu, .. asalkan anggota dewan yang terhormat ingat janjinya saat merasakan duduk di Senayan…

560 Kursi di Senayan
August 1st, 2009 by Elvira Khairunnisa

Postingan pertama …

Hubar habir masalah kursi belakangan menjadi topik yang paling hangat dibicarakan di media. Bom di kawasan Mega Kuningan memang tidak kalah “sexy”, namun masalah siapa yang dapat dan tidak dapat kursi, membuat berita seputar Pemilu Legislatif yang sempat redup oleh Pemilihan Presiden kembali menghangat.

Beberapa menit lalu, saya baru saja menerima sms dari seorang narasumber, yang terancam tidak melenggang ke senayan bila Putusan Mahkamah Agung ternyata berlaku surut.

Saya sempat mewawancarainya, beberapa hari lalu. Ia bahkan menyebutkan “Putusan MA sebagai tsunami politik“. Uhm, separah itukah???

Caleg dari Jawa Timur tersebut ( Maaf, tidak menyebutkan nama dan asal partai) mengirim pesan seperti berikut :

“Alhamdulillah, Keputusan KPU membawa rasa keadilan dan sesuai dengan prediksi dan keinginan saya yaitu KPU menerima keputusan MA namun diberlakukan untuk yang akan datang ( karena keputusan MA tidak berlaku surut). Terima kasih atas support, dukungan, dan pemberitaannya.”

Rapat Pleno yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum hari ini, ditunggu oleh semua caleg DPR serta DPRD yang “khawatir” kursinya terenggut oleh Putusan MA. Tapi seperti sms dari narasumber saya, KPU akan lebih bijak menyikapi putusan MA. Tidak melawan, melainkan menerima, dan menerapkannya untuk kedepan…( tidak berlaku surut)

Saya yakin, banyak yang ” bernapas lega” malam ini…Saat kursi impian ternyata masih bisa dipegang, dan akhirnya merasakan duduk di Senayan…

Saya yakin, banyak yang ” merasa kecewa ” malam ini..Saat celah untuk mendapatkan kursi sudah hilang, dan akhirnya tidak merasakan duduk di Senayan…

Dan saya yakin…masyarakat atau anda yang membaca tulisan ini, tidak perduli berapa kursi yang didapatkan partai politik apapun itu, .. asalkan anggota dewan yang terhormat ingat janjinya saat merasakan duduk di Senayan…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar