Senin, 26 April 2010

Demi kami, mereka dan anda Fenny Anastasia / campuran tiga sekawan


Kemerdekaan di Perbatasan

August 23rd, 2009 by Elvira Khairunnisa

Postingan kedua..

Alhamdulillah..itu kata pertama saya ketika landing dengan selamat di Bandara Udara Mopah. Akhirnya tiba di Merauke – Papua, salah satu kota di ujung Timur Indonesia.

Perjalanan cukup luar biasa. Saya dan tim TVONE, berangkat pukul 22.00 WIB, dengan rute Jakarta – Makasar – Biak – Jayapura – Merauke. Total perjalanan lebih dari 6 jam ( ini hampir sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk penerbangan ke Australia).Take off dan landing berulang kali, membuat perjalanan terasa tidak nyaman (alias jantungan hehehe)

Jujur, saya sama sekali belum pernah ke Papua. Hanya sebatas mendengar cerita dari teman-teman, atau melihan tayangannya di tv. Di benak saya, Papua adalah provinsi yang sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan provinsi lain. Termasuk masih banyaknya suku – suku asli, yang mempertahankan kebudayaannya dengan tidak terlibat dengan modernisasi.

Tapi semuanya salah, saat menapakkan kaki di kota Merauke, semuanya biasa saja. Tidak ada pemandangan yang “aneh” menurut saya. Bahkan, saya bertemu banyak masyarakat dari suku Jawa, yang kebanyakan berdagang atau menjadi transmigran di Merauke.Suku Bugis juga meramaikan kota Merauke. SMS atau pesan di Facebook dari teman-teman, yang berisi ” Vie, titip koteka ya, atau hati-hati lihat orang sana pakai koteka”, ternyata tidak terbukti hehehehe.

Mungkin bila perjalanannya bukan ke Merauke, melainkan kota-kota terpencil lainnya di papua, sms dari teman-teman saya baru terbukti :)

Suku asli terbesar di Merauke, yaitu suku Marind, ternyata juga sudah berkembang. Meskipun masih ada sebagian yang memilih tetap untuk mempertahankan adat istiadat dengan berburu. Biasanya hewan yang diburu ada rusa, babi, atau kangguru. Kota Merauke memang dikenal sebagai kota Rusa. Dekade 1990-an, rusa bahkan sering dijumpai di pusat kota. Namun sekarang, rusa harus diburu sampai ke pedalaman hutan merauke.

Berburu, memang menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat yang tinggal di pinggiran kota Merauke. Termasuk di wilayah perbatasan antara Merauke – Papua Nugini, yaitu distrik Sota. Di distrik ini, ada sebuah patok wiilayah perbatasan, yaitu patok 13. Bentuk nya cukup sederhana, dengan makna luar biasa…hanya berbentuk batu, yang sekilas mirip batu nisan kecil.

Perbatasan memang target utama peliputan di Merauke. Pemandangan “luar biasa” akhirnya muncul. Dimulai dari kondisi serba terbatas yang harus dimaklumi masyarakat disana, saya sadar, Merauke memang butuh lebih banyak perhatian dari pemerintah pusat.

Listrik terbatas ( listrik hanya tersedia dari pukul 6 sore hingga 12 malam), sinyal yang “super minim” menyulitkan tim untuk melakukan live report. Meskipun dengan modal “telepon satelit” tetap saja komunikasi untuk melakukan koordinasi dengan Jakarta menjadi terbatas. (Saya terakhir kali memakai telepon satelit ketika melakukan peliputan tsunami tahun 2004, saat itu hampir keseluruhan infrastruktur di pantai barat Aceh hancur).

Saya ngobrol dengan warga transmigran asal Jawa Tengah, yang mengaku akhirnya terbiasa dengan kondisi terbatas tersebut. Sedikit miris rasanya, ketika membayangkan Jakarta terang benderang, dan komunikasi bisa dilakukan 24 jam tanpa hambatan. Sementara warga di perbatasan harus standby di “pohon sinyal” (sebutan warga untuk pemancar di dekat perbatasan) bila ingin berkomunikasi melalui telepon dengan sanak saudara di kampung halaman.

“Kita ini untung-untungan mbak, pernah dulu hampir dua bulan, pemancar rusak. Waduh, itu kalau mau telpon keluarga, harus ke kota dulu.” ujar seorang warga . Sedikit ilustrasi, jarak kota Merauke dengan Distrik Sota lebih dari 50 km. Tidak ada angkutan umum yang melintas, kebanyakan naik mobil sendiri atau numpang di mobil yang melintas. Makin tersenyum miris, itu baru soal komunikasi, belum lagi masalah pendidikan dan kesehatan yang lagi-lagi berlabel “terbatas”.

Joseph Mbanggu, orang pertama yang membuka pemukiman di distrik Sota, juga mengakui label “terbatas” memang sudah melekat sejak perbatasan disulap menjadi pemukiman. Tahun 1990-an, dia mulai mengajak beberapa keluarga, untuk menetap di wilayah sekitar perbatasan. Tapi perkembangannya, ternyata tidak sesuai seperti yang diharapkan. Termasuk pembangunan infratruktur yang terbentur dengan aturan pembangunan yang dibatasi. Distrik Sota memang terletak dikawasan hutan yang dilindungi, yaitu Taman Nasional Wasur. Joseph mengatakan, masih terus berjuang agar pemerintah pusat mau “melirik” sedikit pembangunan di wilayahnya.

Itu hanya potret kecil dari wilayah perbatasan di distrik Sota. Karena masih ada puluhan titik wilayah perbatasan lainnya di berbagai pelosok di Indonesia yang berada di posisi yang tidak jauh berbeda. Pembangunan infrastruktur yang terhambat, membuat perkembangan masyarakat juga bergerak dengan “slow motion”. Kita tidak berbicara siapa yang salah, dan siapa yang benar. Tidak ada yang bisa ditetapkan menjadi “terdakwa” dalam kasus pembangunan yang di wilayah perbatasan.

Mungkin kini hanya ada harapan-harapan, menunggu ada yang mendengar dan memberikan perhatian yang maksimal bagi saudara-saudara kita di wilayah perbatasan. Meskipun itu harus menunggu selama bertahun-tahun. Karena kita tidak ingin, kemudian timbul pertanyaan, apakah arti perbatasan = terbatas??

560 Kursi di Senayan

August 1st, 2009 by Elvira Khairunnisa

Postingan pertama …

Hubar habir masalah kursi belakangan menjadi topik yang paling hangat dibicarakan di media. Bom di kawasan Mega Kuningan memang tidak kalah “sexy”, namun masalah siapa yang dapat dan tidak dapat kursi, membuat berita seputar Pemilu Legislatif yang sempat redup oleh Pemilihan Presiden kembali menghangat.

Beberapa menit lalu, saya baru saja menerima sms dari seorang narasumber, yang terancam tidak melenggang ke senayan bila Putusan Mahkamah Agung ternyata berlaku surut.

Saya sempat mewawancarainya, beberapa hari lalu. Ia bahkan menyebutkan “Putusan MA sebagai tsunami politik“. Uhm, separah itukah???

Caleg dari Jawa Timur tersebut ( Maaf, tidak menyebutkan nama dan asal partai) mengirim pesan seperti berikut :

“Alhamdulillah, Keputusan KPU membawa rasa keadilan dan sesuai dengan prediksi dan keinginan saya yaitu KPU menerima keputusan MA namun diberlakukan untuk yang akan datang ( karena keputusan MA tidak berlaku surut). Terima kasih atas support, dukungan, dan pemberitaannya.”

Rapat Pleno yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum hari ini, ditunggu oleh semua caleg DPR serta DPRD yang “khawatir” kursinya terenggut oleh Putusan MA. Tapi seperti sms dari narasumber saya, KPU akan lebih bijak menyikapi putusan MA. Tidak melawan, melainkan menerima, dan menerapkannya untuk kedepan…( tidak berlaku surut)

Saya yakin, banyak yang ” bernapas lega” malam ini…Saat kursi impian ternyata masih bisa dipegang, dan akhirnya merasakan duduk di Senayan…

Saya yakin, banyak yang ” merasa kecewa ” malam ini..Saat celah untuk mendapatkan kursi sudah hilang, dan akhirnya tidak merasakan duduk di Senayan…

Dan saya yakin…masyarakat atau anda yang membaca tulisan ini, tidak perduli berapa kursi yang didapatkan partai politik apapun itu, .. asalkan anggota dewan yang terhormat ingat janjinya saat merasakan duduk di Senayan…



dear ex..

April 19th, 2010 by Yenny Yusra

dear ex bf..i know that it’s been 5 years already but can you please stay out of my head! whenever I’m in trouble or in deep stress u seems to re-appear in my head..XD

is there anyway to erase or restore our memory?not that anything wrong with me whatsoever..I’m happy with the way i am right now..it’s just that i just hope i can erase certain memories..especially the unpleasant one..

been in this industry for quite a while, i know how this industry runs..even thou i found some bumps along the way..i just wish it all just go away..till the day i die…=)

anniversary..

February 2nd, 2010 by Yenny Yusra

there’s been a lot of things going on with my life..some are good and some are very bad! but then again all the experience that I’ve been through..made me what i am today!

I’m not what u called a very enthusiastic girl when it comes to celebrating the birthday..but then again it all change like big time..thanks to my sis bday party a moment a go…it was a small dinner party with family and friend only..but it sure is fun! we laugh and laugh for hours..it was a fun moment from start to finish..

getting older is not so bad after all..when you have family and good friends around you..and thank god i have mine..

happy bday sis..=)

AVATAR!

December 20th, 2009 by Yenny Yusra

one thing i know for sure is about movie! i love movie so much it makes me trembling even just to think about it..nothing satisfied me after watching a good movie!

this entry all i want talk about is AVATAR! i love this movie so much i just can’t stop thinking about it..i never thought one awesome movie can made me upside down like this..that is totally mind blowing…

i gotta give a big credit to James Cameron..one genius film maker ever existing in this scary world!he’s actually prepared this awesome movie for 14 years..which is beyond awesome..

not only a good story but also the out of the box place and imagination that shows in this movie from start to finish..and that is why people i love this movie so very much!

hands down..the best movie ever in 2009..a good ending for a good movie…..

stressed-out!

August 20th, 2009 by Yenny Yusra

I know that a lot of people have different way dealing with the whole unfortunate event called stress, depress or whatever you want to call it. When it comes to dealing with depression. What is the best way to get it all out?

For me I chose music. I know that it sound bit cliché but the truth is it help so much. Just listened to my fave music. Either it’s up beat or slow music. as long is I love the music. all the stressed that kept crapping my head. Slowly faded and just disappear. Well not all gone but at least I feel happy and ease inside…

It goes also when I’m driving…. We know that we can get a bit outrage sometimes during traffic jam ….all the crowded street seems to put us not in a good mood. so I just change the music into the soothing kind. and just enjoy it…all the craziness just gone…

I just hope I don’t have to experience awful feeling all the time thou. but unfortunately. I can’t. in every situation whether I like it or not…I can’t seem to escape from it all…

I just hope that I can always able to manage that lousy feeling and just enjoy the rest of the day…With my fave music of course =)

I like movie..don’t you?

July 29th, 2009 by Yenny Yusra

Seriously thou you can call me movie buff,movie freaks or just a movie fan I’m definitely consider my self a movie lovers indeed..it’s just that i love movie so much i consider my self a movie critics for sure!

every time new movies that excite me the most come out..i have this big urge to go right away to the cinema and just watch the movie for sure..i love all kind of movie! i have funny criteria though..i kinda picky about the star..for example i love a few Hollywood movie actors..like Matt Damon,Christian Bale and also Ryan Reynolds..every time a new movie staring one of those guys come out..i gotta see the movie…

don’t you guys have the same criteria?or probably favorite?

anyways i love movie so much,sometimes i can predict the ending..and sometimes i tend to be picky or cynical about the story plot and wish the movie maker just change one of the scene or even the ending..haha crazy i know!

i don’t recall any experience about making or even dreamt of becoming a movie maker..it’s just that i love movie so much..

so my question is..what is your favorite movie so far?

Tribute To Michael Jackson

June 30th, 2009 by Yenny Yusra

it’s been almost 1 week but until now i still can not believe that MJ has died! i remember in the morning the day that MJ died..my mom said to me that “MJ just died” i was like WHAT??? but then i turn on the television and there it was..all the news about MJ’s mysterious death story! i was like OMG..this is real..sad..really sad!

i knew it right away that everybody in the office will talk about that and just kinda hectic cause it really is a big news..and all the headline will change right away!

even all the buzz about election and the campaign kinda over shadowed by MJ’s news and phenomena!

i was never MJ’s biggest fans..but always loveeee his work so very much! he’s such a great performer,genius artist and smart businessman ..which i believe inspired a lot of people!

i think it’s not only me that suddenly searching for his old song,records..and my parents also kinda enjoy all MJ’s song..all over again!

as a fan and admirer..i want to say big condolence to MJ’s family..and may he rest in peace..love you MJ..always..

choosing the right ‘idol’

May 23rd, 2009 by Yenny Yusra

when it comes choosing your favorite idol?you must think of certain factor that concludes your idol type..whether it’s the looks,the personality,the knowledge and also the talent?

what about in singing competition?like American idol for instance..that just wrapped their season 8..since day one i like Adam Lambert sooo much..he’s soo talented and humble at the same time..and along the way Adam Lambert really delivered..until the final day..but unfortunately he didn’t win the idol title thou..really disappointed! i was soo mad and ruined my mood all day long..but then again..is that so important? idolizing someone you like with certain talent and charmed?really affecting your mood?crazy really..

anyway I’ve gained a lot of weight lately and try so hard to reduce this fat in my body..frustrated really..when you try every single way to loose weight at the same time..sometime you choose the wrong way..whatever that means..

just hope i can control my appetite really…so i can look a lot thinner on air!

coffee & tv!

March 27th, 2009 by Yenny Yusra

Is there anyway that we can all get along? There are so many problem already and lot’s of misunderstanding around and seriously thou’ it all starting to drive me crazy!! I dunno why all of a sudden I became so calm and indifferent..maybe cause I try not to let it bother me..but seriously thou’ I feel sorry for all of them..may god give you all good strength!

Just want to give a big shout out to all the peeps that visited my blog! I know I can not reply all of your message..but that doesn’t mean I didn’t care..I do care peeps..

Anyway..had a great day today..meeting old
friends always a good thing!

media frenzy…

March 16th, 2009 by Yenny Yusra

i don’t recall any memory of doing something wronk..but then again it’s all in your mind anyway..hahahaha blabbering about something really..

hi peeps..just feeling a bit weird today..just realize something that..even thou sometimes things did not turn out the way you always wanted..but on the other hand, things would turn out to be perfect..when you least expected! true story indeed..so people,when something bad happen a long the way..just do not over thinking it…believe me..good things will happen..you might call it..good karma? hahaha whatever that means..

just finished doing something refreshing and new..and so far…i loveeeeeee it!

Mood swing!

March 9th, 2009 by Yenny Yusra

hi peeps..

actually I’m in the middle of something right now..but decided to write something anyway..thank you so much for all your comments..encouraging really!

I’m having this issue right now..pretty disturbing really..and kinda annoying! i just wish that all bad things that always surround my good aura will fade away..

i do concern about the future..and wish things would turn out the way “they” wish to be..but it’s not happening yet..i just wish “those precious people” will have their patience and just wish me luck…

as for me..I’ll try my best..try not to disappointing you “precious people”





“When Leader Sings: Please Be Careful With My Heart”

April 1st, 2010 by Alfito Deannova

beye

“Kau tahu rumah Ibu Hartini dicoret – coret ‘Lonte Agung’,‘Gerwani Agung’ dan lain – lainnya? Kau tahu apa artinya lonte? Hartini adalah istriku dan aku adalah Bapakmu, jadi dia adalah juga ibumu. Inikah yang dilakukan anak terhadap ibunya?”

(Gie, Soe. Hok. 1989, Catatan Harian Seorang Demonstran, LP3ES, Jakarta)

Kutipan ini, diceritakan oleh Soe Hok Gie, atas sebuah peristiwa sehari setelah corat – coret dirumah Hartini dilakukan. Soekarno mengumpulkan sejumlah perwakilan aktifis mahasiswa untuk berdialog perihal komentar asusila itu di Istana. Pernyataannya bernada keras dan tegas, tapi ada kehangatan yang terkandung didalamnya. Bingkai yang tepat, dipakai Bung Karno (BK) untuk menyatakan bahwa ini bukan masalah “Aku” ,“Kau” atau “Kalian”. BK dapat meminimalisir kesan private intrest dalam protesnya kepada mahasiswa dan memberi konteks bahwa ini masalah “Kita”. Tidak ada nuansa picisan dibalik pernyataannya, meski siapapun tahu, marahnya BK bersumber dari sesuatu yang sifatnya sentimentil sekali. Yakni kegeramannya atas caci maki terhadap labuhan cintanya yang baru (lagi) rekah, Hartini. Belakangan diketahui tulisan ‘Lonte Agung’ tadi ‘diabadikan’ Guntur, putra sulung BK dari Fatmawati, bukan aktifis mahasiswa. Maka kemasan pesan yang disampaikan BK sebagai respon diatas, membuatnya terhindar dari dua hal : merengek – rengek minta dikasihani dan tuduhan setara fitnah. Well done !

Lalu mari kita bandingkan dengan apa yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengomentari unjuk rasa sensasional baru – baru ini, dengan salah satu “point of attraction” menempelkan poster kartun SBY di bokong seekor kerbau, yang juga dinamai SiBuYa :

“Tolong dibahas dan diberi masukan, apakah unjuk rasa beberapa hari lalu di negara Pancasila, yang konon memiliki budaya, nilai dan peradaban yang baik, apakah harus seperti itu? Tanpa mengganggu demokrasi itu sendiri, kebebasan dan ekspresi dan sebagainya, “


Lalu..


“….banyak orang yang memberi masukan yang menggelitik. Pak SBY, apa cocok misalkan ada unjuk rasa dengan loudspeaker yang besar sekali, teriak-teriak, SBY maling, SBY maling, Boediono maling, menteri-menteri maling, dan tidak diapa-apakan,”

Lanjutnya lagi..

“Ada yang bawa kerbau, SBY badannya besar, malas dan bodoh seperti kerbau (yang) dibawa itu? Apa ya itu unjuk rasa sebagai ekspresi kebebasan? Lantas foto diinjak-injak, dibakar-bakar di mana-mana”


Pernyataan ini, dianggap oleh sebagian orang sebagai bentuk keluh kesah yang tak perlu, apalagi disampaikan kemuka umum. Langkah SBY dianggap terlalu mengekspolitasi “kezaliman” yang dirasakannya, untuk menangguk rasa simpati yang berujung pada kenaikan rating popularitas dimata publik. Jika ini terus dilakukan, reaksi publik bisa saja berbalik, karena, “trik” yang dimainkan sudah tertebak dan jadi lagu lama. Jangan – jangan komentar seperti “Busyet, my mellow president..” atau bahkan “Cengeng amat sih !” jadi resultante daripadanya. Disisi lain, bagi sebagian pihak, apa yang disampaikan SBY itu wajar – wajar saja. Pasalnya, aksi yang dilakukan sejumlah pengunjuk rasa, 28 Januari lalu tersebut, bukan protes, tapi lebih cocok dikatakan pelecehan. Cobalah bereksperimen sendiri. Suatu ketika cobalah anda memarkirkan seekor kerbau ke halaman rumah. Tempelkan karikatur ayah anda dibokong si chubby itu. Jangan lupa bubuhkan tulisan “Si PapPAp.” Langkah selanjutnya, pastikan ayah anda melihat hewan itu ketika bangun tidur pagi hari. Apa kira – kira reaksinya ?

Lepas dari kontroversi diatas, SBY menanggapi masalah ini secara personal dan bereaksi juga dalam kerangka pikir personal. Entah itu kata – kata siapa, namun kutipan yang berbunyi : “teriak-teriak, SBY maling, SBY maling, Boediono maling, menteri-menteri maling, dan tidak diapa-apakan” menunjukkan bahwa SBY memandang masalah ini dalam konteks “Aku” dan “Mereka” Dari sini kita bisa membandingkan bagaimana perbedaan BK dalam berekasi atas protes yang disampaikan untuknya, dengan SBY. Yang satu menggunakan kerangka makro sebagai landasan keberatan, sementara satunya lagi memilih scope individu. Mana yang tepat?

Komunikasi Politik Gincu


Mei nanti, duabelas tahun sudah era reformasi bergulir. Namun sampai kini, pembenahan yang sangat terasa dalam alam demokrasi kita, baru pada batas demokrasi prosedural, penguatan institusi dan politik pencitraan. Setiap lima tahun kita menyelenggarakan Pemilu, Pilpres, Pemilukada. Undang – undang dibuat atas rembuk intensif, pihak eksekutif dan legislatif. Semua itu masuk kedalam indikator telah terlaksanakanya demokrasi prosedural. Penguatan institusi juga makin terlihat, pada kian berfungsinya lembaga – lembaga simpul demokrasi dalam melaksanakan tugas sesuai amanat konstitusi. DPR, sudah menjadi lembaga penyeimbang eksekutif yang efektif, walaupun beberapa oknumnya masih menunjukkan performa dan perilaku yang memperihatinkan. Begitu juga BPK dan MK yang banyak memberikan kelegaan kolektif kepada rakyat pencari keadilan. Sementara kita masih terus menunggu dan berharap agar MA dan DPD lebih dapat mengoptimalisasi fungsi – fungsi mereka, baik karena alasan pembenahan budaya dan moralitas, maupun revisi berorientasi konstitusional. Yang paling menarik untuk ditilik adalah menggelembungnya effort para politisi, untuk kepentingan pencitraan. Lalu terminologi komunikasi politik pun menjadi satu – satunya tools proxy ilmu kanuragan, seperti yang wajib dimiliki pendekar – pendekar dalam dongeng klasik. Ujungnya, politik (atau politisi) Indonesia terjerembab ke lembah nihilisasi substansi dan memainkan politik etalase. Komunikasi politik gincu kemudian menjadi keniscayaan.

Mari kita bumikan apa yang kesannya sangat konseptual dari tulisan tadi. OK, mari ingat – ingat lagi apa yang terjadi dalam rapat – rapat di Pansus Angket Century DPR. Ahhh…yang pertama anda ingat ketika saya sebutkan Pansus DPR adalah Ruhut Sitompul-kan? Bukan karena konten bicaranya, tapi terminologi yang dipilih, gaya penyampaian dan penampilan. Lalu substansi apa yang anda dapat dari rapat – rapat maraton yang diputar langsung secara terus – menerus oleh televisi tersebut? Selanjutnya, mari kita bicara isi pidato yang memuat reaksi SBY atas demo SiBuYa? Tidak ada jawaban substansial dari aspirasi yang tersuarakan dalam aksi itu, kan? Kalau begitu, kapan kita akan mendapat isi, kalau yang diwacanakan selalu wadahnya saja?

Popularitas adalah faktor krusial bagi seorang kandidat untuk masuk kedunia politik dalam sistem demokrasi. Untuk menjamin tingkat elektabilitas, seseorang harus terlebih dahulu dikenal, untuk kemudian disukai dan pada akhirnya dipilih. Sampai disini, komunikasi politik gincu, masih banyak membantu. Karena itu, di dua kali pemilu terakhir, nama – nama selebriti bertabur di daftar pemilih. Alasannya benar – benar pragmatis. Partai memanfaatkan popularitas pesohor, yang sudah kadung lekat dalam benak pemilih. Sebaliknya, tak sedikit juga, politisi berupaya menselebritisasi dirinya, sehingga familiar bagi calon pemilih. Sekali lagi, dalam fase “baru mau terpilih” komunikasi politik dalam konteks pencitraan diri, memang akan lebih efektif. Tapi tools ini tidak bisa menjadi trik “hafalan,” apalagi buat mereka yang sudah terpilih dan menjabat. Sebab simpati dan apresiasi menjadi akibat dari hasil evaluasi konstituen atas kerja yang dilakukan sang politisi. Tidak bisa lagi, paparan kosmetika, pernyataan dramatis, dongeng tragis, mampu menyihir publik untuk mencadangkan hatinya buat si pejabat. Mengapa? Sebab semuanya sudah terukur. Dalam fase ini, publik akan lebih rasional menimbang kinerja, tanpa histeria dan fanatisme partai, aliran atau pun golongan. Dalam fase ini sejatinya politisi bunga dan gula – gula sudah tidak laku lagi.

Kalau selama ini, komunikasi politik selalu identik dengan upaya pecitraan politik, rasanya harus segera dibenahi paradigma tersebut. Sebab pencitraan hanya bagian kecil dari keseluruhan komunikasi politik sebagai sebuah perangkat sosialisasi. Faktanya, banyak politisi, yang kurang mampu menguasai perangkat ini dengan baik. Berbicara dalam berbagai kegiatan apapun, dalam tema apapun isinya sama. Normatif statement ! Retorika belaka. Apalagi kalau sudah ketemu sama pejabat yang mengandalkan teks dalam berkomunikasi, entah karena terlalu tidak percaya diri mengingat semua yang hendak dikatakan, atau malah terlalu malas berpikir dan mengandalkan para staf memeras otak untuk membuat naskah yang sesungguhnya menjadi cermin seperti apa kinerja dirinya. Dan walapun semua tahu, bahwa bagian ini, selalu di-skip oleh pendengarnya, hal itu tetap saja dilakukan. Aneh kan?

Leader is A Hero For All

Nah, pola komunikasi politik yang menceritakan keterpojokan, diperlakukan dengan sewenang – wenang, dijahati, secara sadar atau tidak kerap dipakai SBY dalam berbagai kesempatan. Saya tidak usahlah mendaftar satu – persatu. Kalau ditanya mana buktinya, media pasti mengarsipkannya dengan rapi. Pada era yang tepat, misalnya ketika pereseteruannya dengan Taufik Kiemas, balik ke tahun 2004 lalu, yang ditandai dengan keluar pernyataan “Jendral Kekanak – kanakan” dari mulut TK, pilihan SBY menggunakan style “terzalim” berbuah dukungan melimpah dari rakyat. Dan dalam beberapa kesempatan lainnya, seperti teror bom Marriot II, dan jelang pemilu 2009 lalu, hal yang sama mungkin masih produktif. Tapi kini, rasanya sudah tidak bisa lagi. Ini malahan akan memperburuk cap yang disematkan oleh beberapa kalangan, bahwa SBY peragu, kurang berani mengambil keputusan dan seterusnya.

Dalam sejarah bangsa ini, sulit mencari padanan pemimpin seperti SBY. Tingkat kepercayaan masyarakat untuknya menakjubkan. Studi yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Meski turun belasan persen, dibanding sebelumnya, namun tingkat kepuasan publik SBY masih sekitar 70 %. SBY-Boediono sendiri terpilih dengan mengumpulkan jumlah suara yang fantastis, yakni 60 % lebih. Jadi tidak ada alasan sesunggunya untuk ragu – ragu terhadap kepercayaan rakyat. Dalam konteks ini, maka berkeluh – kesah atau terkesan seperti itu, membuat rakyat ragu akan dukungannya.

Salah satu ujian bagi pemimpin adalah, bagaimana ia dapat menghadapi suasana genting dan kritis. Keandalan pemimpin teruji ketika ada pada kondisi distrust dari sebagian para pengikut yang mempertanyakan kemampuanya menyelamatkan dan membawa mereka keluar dari marabahaya. Pemimpin yang paripurna, adalah ia yang mampu mengakomodasi semua golongan, termasuk mereka yang membencinya dan tidak mendukungnya. Pemimpin yang luar biasa justru mampu merangkul kelompok kontra ini, sehingga berbalik mendukung, bukan justru menambah jumlah mereka menjadi lebih banyak. Caranya, ya dengan berbicara soal substansi, bukan sekedar kemasan. Perbedaan yang bersumber pada aliran, paham dan ide akan mudah tereliminasi dengan munculnya rasa keadilan. Keadilan yang didalamnya terkandung kejujuran dan keterbukaan terwujud dalam tindakan, bukan wacana. Sikap pemimpin yang mendikotomi “Saya” dan “Anda”, “Kita” dan “Mereka” akan semakin memperlebar dan memperdalam jurang perbedaan. Pemimpin yang sejati sesungguhnya adalah dia yang bersedia berkorban untuk semuanya, bahkan ketika popularitasnya dipertaruhkan. Dia yang rela menjadi pahlawan buat semua.

I’ll Be Careful With Your Heart

Beranjak dari semua paparan diatas, maka tidak pada tempatnya kemudian pemimpin berkeluh – kesah. Saya kutip kembali pernyataan SBY pada April tahun lalu ketika sejumlah lawan politik menyerangnya menyimpangkan angka DPT secara sengaja :

“Sakit rasanya kita tidak ada niat untuk aneh-aneh dituduh curang dan main dengan DPT. Saya punya perasaan yang lebih dari itu,”

Lalu..

“Saya akan mengalami perasaan yang tidak enak. Saya ingin kalau sudah sepakat dengan DPT untuk pilpres dengan kesiapan KPU dan kita semua, mari kita berkompetisi dengan baik. Saya pun juga ingin berkompetisi secara sehat dan fair, bukan belum-belum hasilnya dibilang curang. Tidak baik demokrasi seperti ini. Saya tidak ingin berkompetisi yang nantinya hasilnya dibilang curang, pemerintah intervensi. Menyakitkan. Dan hati jangan terlalu galak mengatakan curang,”


Selanjutnya…


“Jangan banyak menguliahi soal curang dan tidak curang. Saya juga punya pengetahuan tentang beliau-beliau di masa lalu. Tapi biarlah ini proses pendewasaan demokrasi. Marilah kita sambut masa depan dengan hati yang bersih, pikiran yang jernih dengan suasana membangun aturan main yang baik, sehingga demokrasi makin berkualitas,”

Pernyataan yang terekam dalam sebuah situs internet yang saya jumpai ini, mengingatkan saya kepada penyanyi melankolis yang senandungnya mendayu bak Clif Richard, yang ngetop di-era 90-an, Jose Mari Chan. Satu hitsnya berjudul “ Please Be Careful With My Heart.” Mungkin salah saya menangkap kesan, namun ketika membaca apa yang pernah disampaikan SBY diatas, saya terngiang – ngiang lagu tadi sambil membayangkan beliau, yang kebetulan juga gemar berdendang. Menurut saya, pesan yang ada diatas, bisa disampaikan lebih ringkas, tegas, tak berbunga – bunga, tak berkeluh – kesah, mengandung makna mengayomi semua golongan tanpa dikotomi “Saya” dan “Beliau – beliau.”

Entahlah, mungkin saya agak berlebihan, namun semakin sering para pemimpin kita berkeluh – kesah, saya jadi berpikir, dimana porsi buat ratusan juta rakyat ketika mereka hendak berkeluh – kesah? Ketika orang tua Bilqis tak mampu membayar biaya operasi transplantasi hati buah hati mereka yang bernilai satu miliaran rupiah lebih, Ketika Sinar, bocah berusia 8 tahun asal Polewali Mandar harus kehilangan masa kecil untuk mengurus ibundanya yang stroke dan lumpuh. Ketika belasan anak jalanan disodomi oleh Babe Baekuni. Dimana kepedihan mereka bermuara. Sungguh, jika mau dan ada kesempatan, mereka akan meratap lebih keras dan lebih pilu lagi dari sekedar ngambek belaka. Maka sepatutnyalah, langgam Jose Mari Chan tadi, berbalik menjadi “I’ll Becareful With Your Heart”

Tulisan ini diterbitakan pada rubrik National Affairs majalah Rolling Stone Indonesia edisi Februari 2010

Man, Woman and Relationship

March 19th, 2010 by Alfito Deannova

maybach_man_woman

Saya menulis ini, saat menghabiskan waktu menanti penerbangan yang akan membawa saya ke Surabaya. Saya mencoba menulis dengan smartphone yang sudah saya miliki selama empat bulan (saya ingat sekali karena cicilannya sisa satu kali lagi hehehe…) Saya sempat berjanji, kalau telepon genggam jenis ini saya miliki, saya akan sering-sering menulis begitu ada waktu sedikit senggang. Faktanya, ya biasa. Janji itu lebih banyak terabaikan, ketimbang dilaksanakan. Tetapi entah mengapa, ketika duduk di ruang tunggu sembari menonton tayangan infotainment (apa boleh buat), saya tergelitik untuk menulis ini. Didepan saya, layar kaca menayangkan cerita spekulasi soal hubungan ‘ya-tidak’ Anang dan Syahrini.

Gosip ini memang sudah meruap cukup lama di program-program kabar selebriti. Kebiasaan Anang yang selalu mengecup pundak Syahrini setelah berduet, menjadi pasal penting episode ghibah populer ini berlanjut. Bagaimana tanggapan obyek pembicaraan. Ahh..klasik. “Hubungan ini murni profesional, tetapi kalau Tuhan menghendaki lain, ya itu diluar kuasa kami.Sejauh ini kami hanya berteman” (Nggantung ya jawabannya :) )

Bukan..tulisan ini bukan mau memperpanjang rumor yang mungkin saja bagian dari strategi pasar jualan album barunya Mas Anang. Saya justru menggunakan entry point ‘hubungan profesional’ itu untuk menjerumuskan anda kedalam konsep relasi antara pria dan perempuan. Suatu masa di waktu yang lampau, saya dan seorang perempuan pernah bertukar wacana tentang sejauh manakah hubungan antar dua manusia yang berlawanan jenis kelamin. Saya katakan, ya sebatas kawan. Apapun alasannya, seorang lelaki dan seorang perempuan pasti tidak punya daya untuk mengabaikan hukum alam. Selalu ada unsur physical attraction diantara keduanya. Karena itu konsep karib, kawan akrab dan sahabat antara keduanya menurut saya hanya isapan jempol belaka. Kawan itu memandang saya dengan tatapan aneh. “Kuno banget lo. Gue percaya ikatan tanpa ketertarikan apapun bisa dijalin keduanya,” begitu dia mendebat saya. “Sampai batas apa?” begitu saya memancingnya. “Tidak mustahil keduanya bersahabat!” tukasnya lagi.

Ahh.. Saya tidak percaya itu. Mungkin saya konservatif. Tapi saya yakin, selalu ada gangguan pada kemurnian prinsip persahabatan pria-wanita, yaitu, animal attraction factor. “Tetapi kita dikaruniai akal dan budi untuk bisa mengendalikan itu,” kata kawan saya itu lagi. Ok, mungkin saya terlalu barbar berpikir itu sebagai anjak awal argumen saya. Tapi menurut saya, kesamaan pendapat, visi, tujuan, perjuangan, sepenanggungan, seiring dalam suka dan duka antar pria akan menghasilkan persahabatan. Kalau pria dan wanita? Jawabannya cinta. Karena itu saya bertanya kepada kawan saya itu, “Berapa diantara kawan dekatmu yang lelaki tersebut, yang akhirnya menjadi pacarmu?” Hehe ternyata ada beberapa. I rest my case…

Anda mungkin berbeda paham dengan saya. Tidak apa-apa. Toh, kita merdeka untuk punya pendapat yang berbeda. Tetapi sikap saya masih sama atas hal itu. Saya sendiri, masih menjalin hubungan dengan kawan adu argumen saya tadi. Ahh..anda pasti akan mengatakan “See..! You’re so very wrong dude!” Boleh… Saya tidak keberatan. Sampai saat ini kami berteman sangat baik. Dia bahkan sahabat saya paling dekat sampai saat ini. Juni ini, Insya Allah jika semua lancar anak ketiga kami akan lahir.

Public Sphere Itu Bernama Twitter

February 26th, 2010 by Alfito Deannova

imagesPernahkah anda suatu ketika bertemu dengan seseorang, yang tidak anda kenal, belum pernah anda lihat sebelumnya, ketahui sepak terjangnya, tapi dia mengenal anda. Ya, mengenal anda…? Pernah barangkali, beberapa kali. Ok, sekarang coba anda ingat, dalam perjalanan hidup anda sampai saat ini, berapa diantara mereka tadi, yang berinisiatif menegur terlebih dahulu itu, melancarkan komunikasinya kepada anda dengan mencaci –maki. Mereka menghakimi anda, baik karena perilaku anda, pendapat anda, atau sekedar hanya karena gaya anda berbicara. Kalau tidak mencaci – maki, setidaknya nyinyir, apriori atau sinis. Kembali ke pertanyaan semula. Berapa kali? Tidak banyak rasanya kan? Mengapa demikian? Ini karena adanya psychological barrier yang agak sulit dilalui, dalam konteks komunikasi tatap muka. Kesungkanan dalam berkomunikasi ini terjadi, karena mereka tidak mengenal anda secara langsung, mereka segan dengan anda karena mungkin dalam strata yang mereka bangun dikepala, anda lebih “tinggi” dibanding mereka. Mungkin juga karena penampilan anda “intimidatif.”

Beberapa bulan terakhir ini, saya cukup aktif bersosialisasi di situs jejaring sosial Twitter. Disini, saya memperoleh kesempatan berjumpa dan berinteraksi dengan banyak sekali pihak, yang dalam dunia nyata belum tentu dapat peluang yang sama. Alhasil, apa yang disebut networking lumayan terbangun. Adib Hidayat, managing editor Rolling Stone meminta saya menulis untuk majalahnya. Konsultan karir Rene Soehardono, memberikan kehormatan kepada saya untuk mengomentari bukunya yang brilian, tentang bagaimana menjalankan kerja dengan hati. Bahkan ada seorang yang sangat saya segani, dan tokoh pemerhati demokrasi yang menawarkan saya untuk bekerjasama dalam ranah politik. Sungguh, begitu banyak kesempatan yang diperoleh, dan ini belum tentu bisa terjadi dalam dunia tatap muka.

Namun disisi lain, sungguh twittuniverse adalah juga belantara yang kejam. Tiba – tiba ada seseorang yang tak saya kenal berteriak – teriak @mentioning saya. Memaki – maki saya yang kerja di tvone ini sebagai antek pemilik, agen haram kepentingan kekuatan politik yang hendak menggulingkan sejumlah pihak, anti sosial terhadap korban – korban lumpur Lapindo. Atau ‘meludahi’ saya dengan kata – kata pedas, karena ketidakbecusan memandu acara secara berimbang, objektif dan merdeka. Awalnya semua ini membuat saya terkejut – kejut, geram dan hampir frustrasi. Saya tidak pernah memliki reserve untuk menghadapi hal – hal macam ini. Bukan cengeng, tetapi kaget. Bagaimana batas – batas kepatutan dalam komunikasi, yang biasa kita adopsi dan terapkan dalam komunikasi konvensional tidak ada gunanya di Twitter. Awalnya saya mencoba berekasi, mencoba menyampaikan tanggapan balik secara serius. Lama – kelamaan saya sadar, itu sia – sia belaka. Langkah yang paling bijak adalah mengabaikannya. Ya kalau taraf “menggangunya” sudah sampai keubun – ubun block saja. Ada yang marah –marah saya block. Entahlah, mungkin dia sudah sangat orgasmus, karena saya selalu berbaik – baik menanggapi caci – makinya. Dia pikir saya tong sampah yang nggak punya emosi hehehe.

Manusia akan bisa begitu berbeda di dunia maya. Mereka yang sesungguhnya minderan, introvert, kikuk di dunia nyata, bisa begitu artikulatif, luwes dan supel dalam pergaulan di negeri cyber. Mereka yang tadinya tak punya keberanian menyampaikan protes, dapat meledak – ledak dan menjadi begitu militan dalam menyampaikan ide. Tentu selalu ada dampak positif dan negatifnya. Tetapi lagi – lagi akomodasinya atas aspirasi begitu besar. Anda yang tadinya tidak akan didengar jika berbicara di alam nyata, bahkan bisa menjadi ‘nabi baru’ yang mencerahkan buat para follower anda, sekalipun sesungguhnya anda adalah no one. Begitu berkhasiatnya wahana komunikasi baru ini, tak jarang bahkan membuat kita melakukan pengabaian atas komunikasi konvensional. Kita lebih asyik berbicara dalam senyap melalui internet, ketimbang beradu bunyi dengan orang – orang disekeliling kita.

Jika selama ini, media massa konvensional, tidak bisa menghadirkan ruang publik (public sphere) secara sempurna, maka media baru (internet salah satunya) menjamin itu. Ada semangat leberalisme yang begitu kuat, sekat – sekat kasta dan strata menjadi begitu cair dan lepas. Faktor – faktor ini menyebabkan dari situs jejaring sosial merupakan wahana yang mungkin dalam berbagai upaya pergerakan sosial pula. Apakah philanthropic sifatnya, sampai politik revolusioner. Mungkin kalau di zaman Che twitter sudah ada, dia tidak akan masuk ke Bolivia dan berjuang membebaskan tanah air asing lain setelah Kuba dari tirani. Atau Gandhi tidak perlu menyaksikan pengikutnya digebuki polisi untuk menerapkan praktek perlawanan tak bekerjasamanya. Ini baru asumsi, tapi potensi untuk terlaksananya hal tersebut, indikatornya sangat kuat.

But i reckon, the big and best part of it hasn’t yet to come. Soon i suppose. Siapa yang akan membuktikan dan menunjukkannya kepada kita. That revolt is on by cyber propaganda.

Does Pansus Give Politics A Bad Name?

February 8th, 2010 by Alfito Deannova

Sebagian terkejut, lainnya gemas, jengah, bahkan marah. Ketika kata “Bangsat!” meluncur deras dari mulut Ruhut ‘Poltak’ Sitompul, anggota pansus Century asal fraksi Demokrat, ketika bersilang pendapat dengan wakil pimpinan rapat pansus Gayus Lumbuun. Masalah sebenarnya sepele saja. Ruhut menganggap, Gayus tidak adil memberikan porsi bicara dan bertanya kepada masing-masing anggota. Ruhut menuduhnya pilih kasih kepada anggota-anggota fraksi asalnya, PDI Perjuangan. Lalu melompatlah kata-kata sembarang insecta jelek yang kerap menghisap bokong Anda ketika nonton film di bioskop-bioskop murahan dari mulut pengacara sekaligus pesinetron komedi tadi. Lalu kita pun berteriak: ”There you go…Touch down one more time!”

Untuk kesekian kalinya, kita menyangsikan tepat tidaknya keputusan kita menjatuhkan pilihan kala Pemilu Legislatif beberapa bulan lalu. Buat yang memang anti memilih, kejutan dari balik agungnya kompleks gedung DPR/MPR itu semakin membuat yakin akan prinsip yang Anda anut. Itulah fakta yang kita dapati hari-hari ini. Kalau mau tega, dan membuat kekecewaan mengiris-iris kesadaran demokrasi, mari kita kenang lagi apa saja yang sudah dibuat wakil-wakil rakyat yang terhormat selama era reformasi. 2001 baku pukul, 2005 ada yang melompat meja bak aktor film laga, lalu selanjutnya ada episode-episode tentang foto perselingkuhan, korupsi, terima suap dan lain-lain. Tambahkan lagi sendiri catatan di atas, saya yakin Anda pasti punya daftarnya.

Mengapa anggota-anggota dewan kita makin hari kian melupakan substansi dan seperti hendak menegaskan, bahwa gelar wakil rakyat itu klise sepenuhnya buat mereka? Seolah-olah kita, yang “pemegang kedaulatan sejati” Republik ini tidak pernah ada, tidak pernah acuh dengan tutur dan tingkah polah mereka, serta tidak bisa membaca semua yang sesungguhnya serba telanjang itu. Apakah pragmatis nian para anggota dewan tersebut berpikir, sehingga rakyat tak lebih dari angka-angka. Bilangan-bilangan jumlah yang menjadi personifikasi tiket terusan, guna menjejakkan kaki di ruang megah, tinggal di perumahan serba bersubsidi dan memperoleh gaji setara dengan lima sepeda motor bebek keluaran baru, yang dicicil kembang kempis oleh pekerja kelas menengah? Apakah kita hanya menjadi penting lima tahun sekali buat para legislator? Jawabannya sudah pasti ya dan tidak. Jika “ya” pilihannya, berhenti sudah kita berwacana. Artinya memang selama ini wakil rakyat kita tidak pernah sepenuhnya mendengarkan hati nuraninya dan suara rakyat yang harus diperjuangkan. Maka, menjadi anggota DPR hanyalah predikat dari mata pencaharian lain seperti menjadi pegawai, buruh atau pengusaha. Kalau jawabannya “tidak”, ini juga tak kalah memprihatinkannya. Sebab itu menandakan mereka tak paham siapa mereka, apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melaksanakan fungsi dan kerja mereka sebagai legislator dengan benar.

Ada dua hal penting yang mencuat dan mempengaruhi tatanan pola komunikasi sosial di Indonesia, yang menjadi fenomena seiring dengan dimulainya masa bakti DPR/ MPR periode 2009/2014. Pertama, kedigdayaan penggalangan opini di situs-situs jejaring sosial dunia maya, yang bahkan jika dikelola dengan benar dan sungguh-sungguh dapat lebih efektif sebagai kekuatan penekan, ketimbang unjuk rasa atau lobi konspirasi politik. Dan yang kedua, pola siaran langsung rapat dan sidang yang terkait dengan isu-isu terhangat berita oleh televisi.

Reality Show Itu bernama Pansus Century

Kita tentu masih ingat, bagaimana seperti air bah yang menggulung deras, para Facebooker menggalang kekuatan menekan, lalu menyebabkan dua pimpinan KPK Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto akhirnya terbebas dari semua sangkaan yang membelit mereka. Hal yang sama juga terjadi dengan Prita Mulyasari. Melalui tweets dan update status, dunia maya melakukan “perlawanan” terhadap vonis yang dijatuhkan terhadap Prita dalam kasus perdata pencemaran nama baik R.S Omni Batavia. Koin-koin dari seluruh penjuru negeri mengalir dengan akumulasi yang fantastis. Terakhir jumlahnya mencapai 800 juta rupiah lebih. Koin-koin yang jika diangkut harus mengerahkan sedikitnya lima truk pasir itu adalah bentuk kegelisahan kita akan rasa keadilan, orang-orang yang merasa sama terpinggirkannya dengan Prita.

Kedua fakta diatas menunjukkan, betapa siapa pun yang masuk dalam lingkup ekspose media massa akan menjadi objek polarisasi pro-kontra wahana public sphere alam cyber. Proses tarik-menarik itu kemudian akan memunculkan pemenang dalam hukum besi ranah sosial: Dominasi Mayoritas. Pemenang akan menentukan arah angin, dan realitas benar-salah sebuah perkara. Misalnya, tentang skandal bailout Bank Century. Awalnya, opini dominan yang muncul ke permukaan dalam diskursus wacana publik adalah soal uang 6,7 trilyun rupiah yang diduga penggunannya menyimpang dari tujuan awal menyelamatkan bank imut, namun dikatakan berdampak sistemik terhadap perekonomian nasional. Lalu terbentuklah panitia khusus hak angket Bank Century. Sampai batas ini, suara-suara optimis dan positif memotivasi agar pansus bekerja dengan baik dan mengungkap seterang benderang mungkin, apa gerangan semua yang ada di balik keputusan bail out itu masih menjadi juara. Namun belakangan nuansa aspirasi yang beredar di forum-forum Internet dan jejaring sosialnya mayoritasnya menjadi semakin unfavorable buat pansus.

Tak dapat dipungkiri, ada sejumlah Spin Doctor atau orang yang memang berdedikasi untuk membangun opini demi kepentingan pihak-pihak tertentu, dengan jalan merusak citra, menghembuskan rumor atau pencitraan buruk pansus yang bermain di jejaring cyber. Tapi kalau mau jujur, tanpa mereka pun para anggota pansus tetap kehilangan kepercayaan dari publik. Penyebabnya tak lain dari blunder yang mereka buat sendiri, yang tertangkap dengan sempurna oleh lensa-lensa kamera jurnalis televisi. Belakangan, sejumlah isu penting pemberitaan terus mendapat perhatian khusus media televisi, dengan treatment yang juga spesial. Setidaknya hal tersebut dilakukan oleh dua televisi yang berbagi segmen pasar yang sama, Metro TV dan tvOne. Tak tanggung-tanggung siang dan malam keduanya menghadirkan siaran langsung jalannya rapat pansus yang kebetulan agendanya meminta keterangan sejumlah nama kesohor di republik ini. Spesial saya katakan, karena dengan melakukan itu, komitmen iklan yang wajib dilakukan keduanya sedikit banyak akan ternomorduakan. Tapi itulah harga sebuah persaingan barangkali. Adanya dua televisi yang hadir terus menerus di ruang sidang tersebut seharusnya membuat para anggota pansus semakin alert. Mulai dari bagaimana bersikap (masih ada yang tidur di rapat seramai itu), gaya bertanya, pemilihan diksi dalam kalimat yang dilontarkan, sampai bijak memutuskan poin penting-tidak pentingnya isi pertanyaan. Namun entah mengapa keberadaan live-cam tidak berpengaruh banyak buat mereka. Siaran langsung dua stasiun secara nasional bahkan telah membuat sebagian anggota pansus makin overacting. Coba kita ingat-ingat lagi, betapa yang kita saksikan begitu menyesakkan dada. Si A misalnya, tidak sadar bahwa fungsi mikrofon adalah mengamplifikasi suara, toh tetap saja dia merasa harus berteriak-teriak ketika melontarkan pertanyaan. Si B sangat senang mendengarkan suaranya sendiri, sehingga berbicaralah ia berpanjang-panjang sampai ketika di poin pertanyaan kemudian kehilangan inti. Si C malah hendak mensimulasi diri sebagai jaksa dalam ruang sidang, ”Anda saya tidak minta menjelaskan, jawab saja ’ya’ atau ’tidak’. Sudah-sudah, jangan terlalu memaparkan. Anda menjawab seperti apa yang saya tanya. Ini Pansus, ada hukumnya. Anda kan tidak mau dituduh kemudian melakukan tindakan contempt of parliament.” Apa gerangan yang ada di kepala mereka? Tidakkah mereka tahu, mempertontonkan semua itu akan mengaburkan inti agenda rapat pansus. Masyarakat kemudian hanya akan mengingat show yang dipirsa lalu melupakan substansi. Adakah disadari, selepas teater yang bernama Pansus Century yang dikemas oleh para pelakonnya menjadi proxy reality show itu, yang tersisa di benak ini hanyalah tingkah laku anggota dewan yang sebagian besar terekam dalam kesan negatif? Dalam stadium kekesalan akut seperti itu, apapun rekomendasi final pansus dikhawatirkan akan menimbulkan reaksi backfire dari rakyat. Dan pansus yang sudah berlelah-lelah melakukan rapat marathon tidak meninggalkan impresi positif apapun selain cangkang-cangkang atributif yang hampir semuanya bernuansa buruk.

Feedback and Permanent Campaign

Simpati dan kepopuleran adalah modal awal untuk setiap kandidat politisi yang dipilih (elected candidate) dalam sistem demokrasi. Seseorang harus melewati fase dikenal, disukai untuk kemudian dipilih. Image building process akan berakhir dengan terpilih atau tidak terpilihnya seseorang. Seorang politisi tidak boleh menganggap bahwa babak pencitraan sudah berhenti setelah terpilih. Ada lagi fase image maintaining process, yang diejawantahkan dalam melaksanakan kerja dengan baik berorientasi kepuasan pemilih. Inilah upaya yang disebut sebagai Permanent Campaign oleh Sydney Blumenthal, yakni upaya terus-menerus politisi dalam menjaga level elektabilitasnya. Sehingga di masa mendekati pemilihan umum, politisi tidak perlu bekerja mati-matian memperoleh simpati pemilih. Faktanya, itulah yang terjadi dalam politik Indonesia. Konstituen patah arang dengan perilaku kandidatnya lima tahun lalu. Mereka kemudian menjatuhkan pilih-an pada kandidat lain dalam pemilihan. Itulah sebabnya di masa bakti 2009-2014, ada 70% wajah baru di DPR. Jika orientasi kerja adalah tingkat kepuasan konsumen, maka dua fenomena yang sudah kita ulas di atas, siaran langsung TV dan forum interaksi sosial di Internet sebenarnya memberikan tools yang produktif bagi para anggota pansus untuk menyelesaikan investigasi kasus Bank Century.

Secara hakikat, forum rapat itu tidak hanya dihadiri oleh pansus dan siapapun yang mereka mintai keterangan. Tetapi ada jutaan peserta pasif yang mengikuti jalannya pansus, yang dapat memberikan feedback lewat situs jejaring sosial, apakah itu Facebook, Twitter, Koprol, Kaskus dan masih banyak lagi. Anggota pansus fokus berkonsentrasi pada kerjanya yang substansial, mengungkap apakah keputusan bailout sudah tepat, begitu juga penyaluran dana itu sendiri. Mereka dapat terus menerus memantau Internet guna mendapatkan umpan balik dari masyarakat yang menonton rapat mereka, berupa feeding aspirasi. Anggota dewan kemudian melakukan delivery extract feeding dari apa yang mereka baca dari Internet. Jika ini terjadi, maka praktik demokrasi nyaris sempurna. Nyaris karena akses terhadap internet masih dimiliki sebagian masyarakat. Tapi paling tidak yang sebagian itu bisa digunakan untuk sampel guna memproyeksi aspirasi publlik. Masalahnya kini apakah memang itu yang mau dijalankan oleh anggota dewan. Sebab kita masih apriori, apa landasan dasar yang menjadi anjak kinerja mereka, kepentingan rakyat, golongan atau jangan-jangan kepentingan pribadi?

Demokrasi Sebagai Aset, Bukan Liabilities

Mengikuti kasus Century membuat saya kembali tergerak membuka-buka kembali text book yang saya pakai untuk menuntut ilmu di FEUI sepuluh tahun lalu. Dari semua literatur yang saya baca, saya kemudian menangkap sebuah prinsip dasar dalam ilmu akuntansi, yang entah kenapa kemudian menjadi sangat relevan dengan apa yang terjadi di ruang rapat pansus.

“Substance Over Form” yang secara bebas terjemahannya adalah bahwa esensi atau isi dari sebuah fenomena, entitas atau transaksi akan menjadi lebih penting daripada bentuk format atau kemasan resmi yang membalutnya. Kalau kemudian kita konversi prinsip ini ke dalam analogi, maka ini sama saja dengan imbauan agar manusia lebih mengutamakan pentingnya isi dari sampirannya. Ketika sebuah negara seperti Indonesia sangat mempercayai demokrasi sebagai sistem politiknya, maka lembaga-lembaga negara sebagai elemen dasar pembentukannya harus juga diberdayakan secara optimal. Jangan sampai kemudian keputusan berdemokrasi kita sesali, atau out of the blue muncullah pemikiran, bahwa demokrasi tidak akan pernah cocok untuk bangsa ini. Bagaimana tidak, demokrasi adalah soal pembagian kekuasaan tetapi secara kasat mata kita terus-menerus menyaksikan siapa yang in control tetap melakukan abuse of power baik dalam skala ringan maupun berat. Korupsi masih sulit dituntaskan, undang-undang politik dibuat sebagai resultante kompromi kekuatan-kekuatan partai. Pemandangan tak sedap ini terus menerus kita lihat, dengar dan baca di media.

Suatu ketika kawan yang saya kenal benar sebagai seorang demokrat tulen berkata: “Indonesia sepertinya tidak butuh demokrasi, yang kita butuhkan hanyalah seorang kaisar yang arif bijaksana, cinta rakyat, mau berkorban untuk orang banyak dan menegakkan disiplin buat melayu-melayu seperti kita, yang cinta dan sangat gemar mengaplikasikan tatanan disorder.” Bergidik saya mendengarnya, tapi hati kecil saya sedikit banyak menimbang apa yang disampaikannya. Jadi adakah kita masih sepakat berdemokrasi? I know I would!


(diterbitkan oleh Rolling Stone Indonesia Februari 2010. Hyperlink : http://www.rollingstone.co.id/read/2010/01/26/599/8/2/Does-Pansus-Century-Give-Politics-A-Bad-Name)

Koin Prita Dan Keadilan Untuk Semua

December 5th, 2009 by Alfito Deannova

prita_mulyasari

Saya rasa, saya tidak akan memulai tulisan ini dengan kata – kata klise ” Sudah lama…..” Anda dan saya sama – sama tahu sudah lama sekali. Seperti kereta yang terus melaju pada relnya, dalam kurun itu banyak sekali peristiwa yang kita lalui, Anda dan saya. Banyak pula tokoh – tokoh yang bersinggungan dengan kita, para penyayang, pemurah hati, penghianat, gila kuasa, mabuk penghormatan, oportunis dan banyak lagi. Semuanya memberikan kesan yang berbeda – beda dan sedikit banyak mempengaruhi pribadi kita dalam mencitrakan hidup.

Oke, let me get straight to the point. After all, kritikus blog saya yang setia (dan hanya satu, Cany, Istri saya) selalu menyarankan agar saya tidak terlalu njelimet menuangkan isi kepala untuk menjadi tulisan yang harapannya akan dibaca orang lain. Baiklah, begini, anda pasti kenal Prita bukan? Jadi saya akan melongkap tanpa menjelaskan siapa dia dan apa yang dihadapinya. Intinya, setelah Pengadilan Tinggi Banten memutus banding kasus perdatanya, Prita Mulyasari wajib menjalankan vonis untuk membayar kerugian yang dialami RS. Omni Internasional, karena “tercemar nama baiknya” sebanyak 204 juta rupiah. Kenyataan ini, pahit buat Prita dan mungkin membuat geram sebagian (besar) dari kita. Ini setidaknya saya ukur dari komunitas dunia maya. Lalu mengelindinglah prakarsa ini: “Kumpulkan koin untuk “menebus” keadilan buat Prita senilai 204 juta rupiah (ada yang mengestimasi beratnya hingga 2,5 ton).” Wacana ini diamini banyak pihak. Senin adalah hari besar untuk “pemberontakan indah” ini. Koin – koin dari penjuru Indonesia dikumpulkan. The Revolt Is On Baby! Manifestasinya sangat elegan, sekaligus menyakitkan, jika pihak yang disasar sensitif. Sebuah fenomena yang mencengangkan. Prita menjadi personifikasi keraguan, kegalauan, kegeraman batin para pendukungnya, atas sebuah sistem yang dianggap belum becus menimbang hitam – putih.

Kamis malam (2 Desember 2009), saya sempat memwawancarai Prita. Saya bertanya, jika seandainya ada pihak – pihak yang membantu, dan ternyata nilai yang dibutuhkan terkumpul, apakah dia akan menghentikan upayanya mengajukan kasasi atas putusan majelis hakim tinggi? Prita mengatakan dirinya akan tetap maju, demi nama baik dan keyakinannya, bahwa dialah yang menjadi korban. Jadi kalaupun 204 juta dalam bentuk koin seberat 2,5 ton terkumpul, belum ada jaminan uang itu akan dimanfaatkan Prita, untuk menuntaskan prahara hukum yang membelitnya. Sebab jika kasasi diajukan, maka 2,5 ton koin itu akan teronggok begitu saja.

Lepas dari akan dimanfaatkan atau tidakkah “koin – koin perlawanan” itu, namun aksi yang ada dibaliknya tetap luar biasa. “Mencari keadilan di Indonesia mahal harganya” kutipan yang sesungguhnya tidak mengejutkan, namun karena keluar dari seorang Prita menjadi sangat berkesan buat saya. Dan koin – koin yang akan dikumpulkan itu, sesungguhnya bentuk kegelisahan kita akan rasa keadilan, bukan hanya dalam ranah hukum, tetapi juga ekonomi, pendidikan dan sendi – sendi kehidupan yang lain. Saya hanya membayangkan, seandainya semangat reaksioner para pendukung Prita tidak bersandar pada faktor momentum saat ini saja, tetapi konsisten dan semangat tersebut terus mengalir dalam nafas kesadaran, maka banyak orang – orang yang sama “termarjinakannya,” “takberuntungnya,” “terabaikannya” dengan Prita akan menemukan kekuatan dalam badai apapun yang mereka alami. Anda pasti sejalan dengan saya, jika saya katakan masih banyak lagi anak – anak bangsa yang mungkin sama atau lebih menderita ketimbang Prita, kan?Yang karena tak mengerti internet, tak dapat menulis email dan tidak memiliki komunitas dalam jejaring sosial dunia cyber tak kita baca, dengar dan tahu penderitaannya. Maka jika saja koin – koin itu adalah koin keadilan, mereka pun berhaknya memperolehnya, sama dengan Prita.

Pancasila, Sila V : “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”

Is It For All ?

September 10th, 2009 by Alfito Deannova
Disekitar kita kala hati jadi hitam
Justita tidak hanya buta
Tapi kini ia kerap diperkosa
Themis yang tulus jadi komiditi syahwat dunia bak pelacur jalanaan

Maka ketika hati sekelam malam
Kita jadi serigala – serigala belinang liur seperti kata Plautus

dari www.aflfitodeannovagintings.blogspot.com

Kisah Burung Merak dan Penikmat Kopi

September 8th, 2009 by Alfito Deannova

Sudah lama saya tidak mendatangi blog saya ini. Biasa, penyakit penulis amatir, angin – anginan. Yah.. kalau mau dicari execuse sih pasti ada saja, dan itu pasti klasik. Kesibukan tak henti berkejaran satu dengan yang lain, sejak dari membuat program untuk Pilpres, disusul banyak lagi program – program kagetan : Ada Bom, HUT MK, 17-an, dan sahur. Sedangkan program reguler jalan terus. Jadi kadang – kadang saya merasa seperti sais yang harus mengendarai dua delman sekaligus. Gagah enggak, encok iya…hehehe.

Sedih sih sebenarnya, terlalu lama gak menuangkan isi kepala secara subjektif di halaman ini. Saya jadi tidak bisa merekam banyak peristiwa dan memberikan konteks personal untuk tiap – tiapnya. Namun dari semua, baik yang hikmat, gegap gempita, full of s*?t, sampai yang blunder, hanya satu yang berkesan dan membuat saya sangat menyesal tidak mendedikasikan tulis untuknya. Yakni berpulangnya Mas Willy dan Mbah Surip.

Surip saya tidak terlalu mengenalnya, tapi Rendra, sudah jadi guru saya sejak awal 90-an. Anthologi puisinya begitu menggelitik. Lugas, tidak berbunga – bunga tapi dalam dan sarat makna. Tulisannya banyak memberi pengaruh buat hidup saya. Paling tidak mengajarkan saya untuk tidak cengeng, gampang menyerah dan takut akan keadaan. Malah setelah baca puisi – puisi Rendra, sense menulis saya, yang kebanyakan isinya soal itu – itu aja (ngomongin hati dan anak perawan maksudnya) jadi cenderung gahar, menyoal ketidakadilan, penindasan dan intimidasi. Apalagi masa itu, protes, makian dan amarah yang diluncurkan Rendra sangat kontekstual (Sekarang juga masih sih…). Lucunya, ketika mau memaksa otak berpikir untuk menulis puisi cinta, hasilnya seperti kisah cinta Frankenstein gitu. Jadi cenderung ”gelap” dan jauh dari mendayu -dayu. Namun diatas semua itu, yang terpenting Rendra menginspirasi misi saya sebagai wartawan (meski bukan dia yang membuat saya menjadi wartawan, tetapi nasib). Puisinya yang berjudul “Kesaksian” ( yang kemudian hari dibubuhi notasi oleh idola saya yang lain, Iwan Fals, dan menjadi lagu ajaib dari album Kantata Samsara) membuat saya paham arti dan tujuan keberadaan saya sebagai bagian dari proses produksi berita saban harinya.

Surip saya tidak terlalu mengenalnya. Itu sudah saya katakan tadi. Tapi tetap saja, ia tak kurang membuat saya kagum. Inti pesan moral yang terpancar dari sosok Surip adalah… you dont’t have to be an ass hole just because you’re famous. Pekerjaan saya belakangan ini kerap membawa saya menyaksikan, bagaimana sebuah sajian atau aksi panggung dari musisi dipersiapkan. Saya kemudian coba bandingkan Surip dengan para musisi muda sekarang. Bedanya Surip nggak ngartis banget, bahkan sepertinya nggak peduli dia terkenal atau tidak. Sementara yang lainnya hehehehehe……referensinya ada di atas. Jadi buat Surip sederhana itu nyaman, terus buat apa sok tajir?

Kenapa sih tokoh seperti mereka dikit banget? Segelintir… Kalo banyak kita pasti akan mudah sekali belajar dari mereka.

Menyoal Debat Capres

July 6th, 2009 by Alfito Deannova

“Debatnya tidak seru ! Berputar – putar dan jawabannya kebanyakan normatif,” seorang kawan mengganggu konsenterasi saya kala menyimak satu dari lima episode debat capres/cawapres beberapa hari lalu. Komentarnya mungkin sedikit blunder, namun lugas dan jujur. Saya yakin anda dan banyak lagi pemirsa berbagi perasaan dan penilaian yang sama dengan kawan saya tadi. Dalam lima rangkaian debat, tiga untuk para capres dan sisanya untuk para cawapres, perdebatan memang dilakukan dengan malu – malu, tidak banyak menyinggung substansi dan bahasa tubuh yang muncul dari masing – masing kandidat masih sangat kaku. Memang harus jujur diakui, dibanding debat yang dilakukan untuk Pilpres di tahun 2004, yang terjadi dalam tiga minggu terakhir ini sudah banyak kemajuan. Namun tetap saja, pemilih lebih banyak tidak mendapatkan apa – apa daripadanya. Mengapa demikian? Ya, karena pelaksanaan debat, jauh dari ideal. Saya mencatat beberapa faktor yang bisa jadi merupakan penghalang dari terciptanya perdebatan yang menarik dan bermanfaat sebagai referensi calon pemilih. Pertama, kegagalan mewujudkan format debat yang tepat, Kedua, faktor pemandu debat dan ketiga eagerness kandidat dalam membawakan diri dalam perdebatan.

Fait Accompli Tim Kampanye dan Ketegasan KPU

Dalam penjelasan pasal 39 ayat 3 tersebutlah aturan yang berbunyi :

Format debat dan moderator yang dipilih KPU dalam ketentuan ini harus mendapat kesepakatan/persetujuan para Pasangan Calon peserta debat.”

Pernyataan aturan ini kemudian menjelma pada ditetapkannya berbagai rambu oleh tim kampanye masing – masing sehingga membuat format debat sekaku dan se formil yang seperti kita sudah saksikan. Satu rambu yang disepakati bersama oleh para tim kampanye adalah kesepakatan agar para kandidat tidak saling bertanya satu sama lain. Apa sesungguhnya yang dikhawatirkan dengan format tersebut? Padahal sesungguhnya dengan mengembangkan kemungkinan masing – masing kandidat bertanya satu sama lain, seharusnya komparasi program dalam nuansa apple to apple mungkin akan lebih terbuka. Tetapi tim kampanye yang memang menjadi penanggung jawab sesi debat, terkesan over potective terhadap kandidatnya masing – masing dan akhirnya menihilkan kesempatan ini.

Entah apa yang dikhawatirkan tim kampanye tersebut. Tidakkah disadari, sesungguhnya dengan apa yang mereka lakukan, secara tidak langsung mereka meng-underestimate-kan para kandidatnya sendiri. Namun lepas dari itu, kelemahan juga ada pada sikap tegas KPU, yang terkesan sangat – sangat mengakomodasi keinginan tim kampanye. KPU sendiri soelah gamang dalam menentukan format. Ini terlihat dari berubahnya format dalam debat terakhir. Dalam putaran ketiga untuk para capres, tak ada lagi pertanyaan pendalaman yang jawabannya selalu berisi wacana normatif dan tidak konkrit. Yang ada hanyalah jawaban dari pertanyaan yang kemudian ditanggapi oleh kandidat pesaing dan akhirnya ditanggapi balik oleh kandidat yang ditanya. Jika saja format ini dimulai sejak awal, tanpa harus berpayah – payah mengadopsi pertanyaan pendalaman, mungkin debat akan lebih hidup dan suasana argumentatif yang kondusif akan terjaga. KPU sepertinya memutuskan perubahan format didebat terakhir, dengan harapan agar kritik yang bolak – balik meneriakkan landainya alur perdebatan akan terhenti. Dan itu terbukti. Media massa nasional relatif mengapresiasi debat terakhir yang dianggap lebih hidup.

Kredibilitas dan Kompetensi Moderator

Dalam UU Pilpres juga disebutkan bahwa moderator berasal dari kalangan profesional dan akademisi yang mempunyai integritas tinggi, jujur, simpatik, dan tidak memihak kepada salah satu Pasangan Calon. Lupakanlah bagaimana kita mengukur unsur – unsur kualitatif yang ditulis diatas itu. Yang terpenting mereka adalah kalangan profesional dan akademisi, yang mungkin menurut pembuat undang – undang, mereka memiliki kredibilitas tinggi di disiplin ilmunya masing – masing. Sayangnya, kredibilitas itu tidak ada manfaatnya, karena sang moderator hanya bertugas untuk bertanya. Mengapa? Karena rambu selanjutnya dalam UU tersebut menyatakan moderator dilarang memberikan komentar, penilaian, dan simpulan apa pun terhadap penyampaian dan materi dari setiap Pasangan Calon. Artinya, jika daftar pertanyaan sudah tersedia, logikanya siapapun dapat menjadi moderator. Saya tidak dalam kapasitas menggugat kerja moderator dalam tampilan mereka di lima rangkaian debat. Namun yang saya gugat adalah keputusan memilih para akademisi yang tidak memiliki pengalaman yang cukup untuk membawakan acara yang dirancang sebagai program televisi. Ini membuat, selain Aviliani, para moderator menyajikan gaya seminar ketimbang gaya penyajian untuk kepentingan televisi. Aviliani terbantu karena cukup memilki pengalaman dalam memandu acara di layar kaca. beberapa kali. Intinya masyarakat penonton tidak akan mempertanyakan kredibilitas para pakar tersebut dibidang mereka masing – masing. Namun ketika mereka diminta untuk menjadi moderator di hadapan banyak orang, dan untuk kepentingan siaran, ceritanya akan lain lagi tentunya.

Jika dibandandingkan dengan Amerika, rangkaian debat itu semuanya dipandu oleh para jurnalis senior yang bergerak dibidang televisi dan media. Ini membuat paling tidak, langkah penyesuaian diri dengan suasana broadcast (lampu dan kamera) misalnya, tidak lagi diperlukan. Hal ini yang justru menjadi kendala penting bagi para moderator debat kita yang memang kebanyakan tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam memandu acara, apa lagi menjadi host untuk kepentingan televisi. Lalu bagaimana dengan pertanyaan soal kredibilitas, independensi, obyektifitas dan seterusnya ? Saya rasa, meminjam model Amerika dengan memilih nama – nama jurnalis senior seperti Jim Lehrer, Editor Eksekutif dan Anchor PBS, Bob Schieffer Kepala Pemberitaan CBS Washington yang juga pemandu acara Face the Nation serta Tom Brokaw, Koresponden Khusus NBC News adalah sesuatu yang patut dicoba. Kalau kemudian ada apriori soal tingkat kemandirian dan preferensi politik dari nama – nama jurnalis senior di Indonesia, ya saya juga bisa pertanyakan soal itu kepada pihak – pihak lain bukan? Soal penguasaan materi ? Kalau pertanyaannya seperti itu logikanya semua wartawan harus selalu memiliki latar belakang yang in-line dengan topik berita yang ditulisnya. Saya misalnya, tidak akan kompeten menulis berita politik, karena latar belakang disiplin ilmu yang saya geluti adalah Akuntansi.

Debat Kandidat atau Debar Kandidat ?

Faktor terakhir datang dari para kandidat sendiri. Saya melihat tak satupun capres/cawapres yang memiliki persiapan cukup untuk tampil prima dalam semua seri debat. Ini saya tujukan baik untuk kemasan pesan yang disampaikan dan konsep delivery pesan itu sendiri. Dari sisi pengemasan pesan, para kandidat terlihat tergopoh – gopoh dalam menyusun buah pikir yang konkrit, yang memudahkan pemilih dari berbagai kalangan untuk secara tegas menentukan pilihan terbaik mereka. Layaknya jawaban politisi, jawaban yang ada kebanyakan normatif, dalam konstruk wacana dan cendrung cari aman. Tak banyak janji – janji yang lugas yang disampaikan. Kondisi ini memang ditambah dengan tidak idealnya pertanyaan yang disampaikan moderator. Entah disadari atau tidak, kelemahan – kelemahan pertanyaan yang dilontarkan diantaranya mencoba terlalu ideal. Satu pertanyaan berusaha untuk merangkum dua poin atau lebih, pertanyaan juga tidak tersusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan jawaban yang mancing perdebatan dan karenanya tidak sadar durasi. Untuk durasi menjawab dua menit, seharusnya pertanyaan yang disampaikan tidak boleh beranak pinak dan membuka kesempatan kandidat untuk berwacana dalam menjawab. Lepas dari itu, para kandidat juga tidak memiliki keberanian untuk berinteraksi head to head dengan kompetitornya. Ini membuat pemirsa sulit membandingkan paradigma misi calon yang satu dengan yang lain.

Dari segi delivery pesan, pasangan JK-Wiranto tercatat sebagai person yang keduanya berusaha untuk tampil out of the box dalam ajang debat, namun sayang, mobilitasnya masih tetap tanggung. Sementara dua pasangan lain, memilih untuk tidak bergerak sama sekali. Pentingkah mobilitas dalam berdebat. Layaknya komunikasi, bahasa non verbal juga sangat penting. Dengan bergerak seharusnya tingkat persuasi yang mungkin dicapai juga tinggi. Apalagi tiga dari lima panggung yang digunakan dalam seri debat berbentuk town hall. Format ini sesungguhnya menyimpan ekspektasi agar pergerakan fisik kandidat begitu cair. Tapi apa ayal, podium seolah menjadi benteng psikologis pertahanan terakhir, sekaligus menjadi “baju” dari ketelanjangan yang mungkin dilihat penonton dari tiap kandidat.

Debat kandidat seharusnya menjadi salah satu infrastruktur utama dalam kontestasi politik yang menjadi referensi bagi pemilih untuk menentukan pilihannya. Karena itu, semoga lima tahun mendatang debat capres/cawapres bisa dilaksanakan lebih baik lagi. Bahkan pembenahan bisa dilakukan segera jika seandainya pilpres berlangsung dua putaran.

Ketika Pengabdian Bukan Hanya Jargon

May 29th, 2009 by Alfito Deannova

Saya selalu berdecak kagum dalam hati, ketika bertemu orang dengan titel Profesor didepan namanya. Bagaimana tidak? Gelar itu bukan dianugerahkan kepada anda hanya semata – mata karena anda pintar. Otak yang encer saja tidak akan pernah bisa menempatkan gelar itu didepan nama anda, apalagi kuliah pura – pura yang belakangan menjamur dengan tujuan menaikkan derajat seseorang dibidang ilmu. Butuh perjuangan untuk mencapainya, dan sebagian besar bentuk perjuangan itu bernama pengabdian. Menulis buku, mengajar mahasiswa, menuangkan buah pikir kedalam jurnal ilmiah, menjadi pembicara di seminar. Mengapa semua hal diatas disebut pengabdian? Karena saya ragu anda bisa kaya dengan menjalankan itu semua. Apalagi Kita tahu sendiri, bagaimana sistem kompensasi lahiriah untuk para praktisi dunia pendidikan di negeri ini. Hebatnya, dengan kerja keras menuntut ilmu pada pendidikan tinggi sampai belasan tahun lamanya, para profesor ini tidak terpancing untuk cari duit sebanyak – banyaknya dengan bekerja pada kapitalis, malah ikhlas menghabiskan waktunya untuk membuat orang lain tambah pintar, bahkan jadi kapitalis baru. Itu profesor, bagaimana kemudian dengan nasib seorang guru? Adakah kita sebagai orang tua rela bahkan memotivasi anak – anak kita untuk menjadi guru, dengan kesadaran bahwa penghasilan yang akan mereka terima tak akan mungkin mengantar mereka mampu membeli rumah di kawasan Pondok Indah Jakarta, atau mengendarai Lexus keluaran terbaru.

Dengan menuyoal profesor dan guru diatas, saya sesungguhnya tidak bermaksud menulis soal dunia pendidikan. Saya hanya mencoba menginduksinya, untuk bercerita soal substansi dari arti kata pengabdian. Naif sepertinya, bahkan klise barangkali menyoalnya dikehidupan dunia seperti yang terlihat didepan mata kita saat ini. Bahkan saya tidak mau mungkir untuk mengatakan saya sendiri belum mampu to walk the talk. Tetapi jujur, saya resah berulangkali, ketika berpikir soal Muhammad, Gandhi, Theresia, Mandela, Hatta, Guevarra dan masih banyak lainnya. Bagaimana mereka begitu konsisten menjadi abdi dari cita – citak luhur, yang mungkin nilai dan kualitas keluhuran itu sendiri, tidak menjadi landasan awal atau alasan utama kerja mereka. Tidak ada kepura – puraan, hipokrasi dan penghianatan dari ide yang mereka pegang teguh dan kemudian dijalankan, meski tak jarang menyakiti mereka sendiri. Bagaimana perjalanan melaksanakan kata – kata mereka lakukan dengan jujur, murni dan tanpa syarat. Sebuah persetubuhan sempurna nan sakral dari apa yang dipikirkan, dirasakan, diucapkan dan dikerjakan.

Kawan, setujukah anda jika saya mengatakan “Pekerjaan yang dilakukan untuk banyak orang, sehingga banyak orang itu memperoleh manfaat lebih jika dibanding si pelaku” adalah terjemahan polos dan mendasar dari apa yang disebut pengabdian? Atau konteksnya bahkan ketika si pelaku tidak berniat mendapatkan apa – apa dari kerjanya itu, meski itu semata – mata hanya pujian belaka? Entahlah, tapi faktanya, para orang hebat yang saya sebut tadi telah melakukannya. Pertanyaannya kini, jika jawabannya ya, terbayangkah seberapa luas bagian hati yang harus disediakkan guna mengikhlaskan jiwa-raga dalam melaksanakan kerja bernama pengabdian itu?

Kita dan Soal Kekuasaan

May 15th, 2009 by Alfito Deannova

Adakah anda mencermati sepak terjang, manuver atau apapunlah terminologi yang layak dipakai untuk menggambarkan geliat para tokoh partai belakangan ini? Bagaimana tanggapan anda setelah mencermati hal tersebut? Buat saya sendiri hal ini menjadi bahan tepekur sendiri. Sebab menurut saya pergumulan tersebut seperti ada di ruang kosong. Artinya dalam konteks mencapai titik kesepahaman, elit seolah asyik sendiri dan mengabaikan elemen besar yang sesungguhnya terus menonton apa pun yang mereka pergumulkan itu, yakni Rakyat. Ruang kosong itu sendiri menjadi wajah sesungguhnya dari politik Indonesia.

Kata ganti yang paling mengemuka dalam ketelanjangan fakta yang ada adalah “Kami.” Maka, perjuangan soal kekuasaan menjadi dialektika, polemik dan mungkin konflik diantara “kami.” Mak… singkat sekali masa indah kala “kita” terus berkumandang dalam lantunan janji – janji sepanjang tiga pekan jelang masa pencontrengan. Dalam masa ke-kami-an seperti sekarang ini, elit berada di ruang kosong politik, yang mendikotomi rakyat sebagai objek, bahkan mungkin penonton saja. Fungsi keterlibatan mereka, baik secara fisik maupun cita – cita berhenti untuk sementara, untuk kemudian di-recall kembali dalam kontestasi pilih RI-1 dan pasangannya Juli mendatang. Mengapa demikian? yah mungkin itulah realitas politik.

Ini kan tidak terjadi sekali, tapi berkali – kali per lima tahun sekali. Pertanyaannya akankah berubah? Entahlah. Apakah mengganggu? Buat saya iya, tapi mungkin tidak bagi yang lain. Ada yang mengatakan, “Sudahlah, itukan dalam kehidupan sehari – hari tidak begitu – begitu amat,” seolah ketika kita mempermasalahkan ini menjadi sesuatu yang melebih – lebihkan. Bisa jadi ! Tapi menurut pemahaman saya, pengabaian atas hal tersebut diataslah yang membuatnya terus berulang. Rakyat menjadi objek untuk Bancakan Raya saban lima tahun. Setelah itu selesai. business as usual concept berlanjut lagi. “Kita” menjadi sementara. “Kami” adalah yang utama, sementara “Mereka” tergantung nasibnya saja.

Sekali lagi, mari saya ajak anda untuk mencermati apa yang menjadi kepala – kepala berita di media. Partai A menolak cawapres koalisi anu karena “tidak cocok” padahal sebel calonnya gagal digandeng. Partai X dan Z tarik ulur terus – terusan untuk menentukan siapa yang jadi jagoan dan siapa yang jadi sidekick. Sampai meleleh – leleh kita menunggunya, belum juga nyata hasilnya. Bahkan kabarnya akan ada flanking untuk nggandeng yang lain. Dalam konteks ini tidak jelas dimana ditempatkan posisi kepentingan makro. Tidak jelas buat saya saudara – saudara ! Sumpah Lillahi Ta’ala ! Tapi tunggulah dua bulan lagi, diantero kepulauan akan menggema kata “Rakyat”, “Bangsa”, “Negara” silih berganti. Lalu hening lagi…

Sambil tersenyum saya menulis ini, mungkin di benak masing – masing kita harus tergantung sebuah kalimat : ” Demokrasi dalam proses, Rakyat diminta maklum !”



Dunia Seperempat Abad

December 20th, 2009 by nane.nindya

Note : Tulisan kali ini tidak berhubungan dengan resep atau koleksi2 barang :)

Dulu ketika saya masih kerja di sebuah radio di Surabaya, saya punya seorang teman sesama penyiar sedang ultah ke 25, dia bilang seperti ini “aku mulai quarter life crisis ni ne..” waktu itu saya cuma bisa he eh aja tapi ga terlalu paham juga apa maksudnya karena saya masih berumur 21 tahun. Nah kalo sekarang saya baru paham..

Kurang lebih satu bulan sudah saya berumur 25 tahun. Lalu, apa yang istimewa dari angka 25 tahun itu?? Sebagian orang menganggap umur 25 adalah titik tengah peralihan menuju kehidupan baru yang menuntut untuk bertindak lebih dewasa dari sebelumnya, namun terkadang muncul juga perasaan berontak seolah masih ingin menikmati kehidupan kemarin kala remaja yang penuh keceriaan dan tidak menuntut kedewasaan, bagaimana mulai memilah dan menyelesaikan masalah dengan baik, pertanyaan di dalam hati tentang bagaimana hidup kedepan nanti juga mulai menghias isi kepala, dan masih banyak lagi, inilah yang biasa dinamakan masa-masa krisis perempat baya atau bahasa kerennya Quarter Life Crisis. Saya pun sekarang sedang berada di dalamnya dan saya menikmatinya, ini adalah masa perak saya (^^)

Saya mengganggap angka 2 dan 5 itu adalah dua orang penjaga yang berjaga-jaga di depan pintu gerbang, sambil membukakan pintu mereka pun berkata “Selamat Datang di Dunia Seperempat Abad-mu Nane , siapkan diri lebih baik lagi”.

:)


What is your fave animal?

August 3rd, 2009 by nane.nindya
Sebagian koleksi di Surabaya

Sebagian koleksi di Surabaya

Binatang apa yang lucu?? Apa binatang favoritmu?? Kebanyakan orang pasti jawab kucing, anjing, kelinci, hamster, monyet, burung hantu (di cerita Harry Potter kan rata2 melihara burung hantu), kadal, cicak (eh buat sebagian anak kecil cicak lucu & hebat lho secara bisa nempel di tembok kayak spiderman & bisa mutusin ekornya sendiri :p )

Kalo dua pertanyaan itu diajuin ke aku, bukan kucing ato anjing dkk jawabannya, tapi SAPI, yap kalian ga salah baca kok, beneran sapi yg ngeluarin suara Moooo,,, lebih tepatnya sapi perah yang item putih tu lho :D Heran kan dimana lucunya binatang segede gentong itu, hihihi..

Pertama kali suka sapi kira2 taun 2002-an, waktu tu lagi doyan maen game Harvest Moon di PS, tu game kan nyeritain tentang anak yg punya pertanian & peternakan, nah di peternakannya itu ada banyak karakter hewan, tapi yg paling menarik tu sapi2 yg gendut n lucu. Kenapa sapi?? Hmm,, aku sendiri juga bingung kenapa, mungkin krn sapi banyak manfaatnya aja buat manusia, dia bs menghasilkan susu, dari susu bs jd keju, semua bikin manusia sehat. Bahkan kotorannya aja masih bs buat pupuk. See, banyak kan manfaatnya, nah aq juga pengen bs punya banyak manfaat buat lingkunganku (cieee…)

Dan akhirnya kecintaanku sama sapi aku salurin dengan melihara sapi di halaman rumah (ya ga lah..) i wish i could, takutnya kalo aq melihara sapi di halaman rumah bisa2 pak RT di kompleks rumahku bilang “Mbak, bulan depan iuran RT khusus rumah anda saya naikkan yah, kasian petugas kebersihannya tiap hari harus bersihin kotoran sapi yang bejibun” atau “Mbak Nane, kalo mau ternak sapi jangan di kompleks perumahan ya”.

Ok, cukup bcandanya, balik ke benang merah lg, kecintaanku sama sapi aku salurin lewat koleksi smua benda yang berbentuk atau ada gambar sapinya, kayak misalnya boneka, sprei bedcover, toples kue, sandal, sikat gigi bentuk sapi (ga pernah liat kan, hehe), banyak lagi lainnya..

Akhirnya berawal dari situ mulailah pelan-pelan ngumpulin barang-barang sapi, ada juga beberapa koleksi yang dikasih sama temen2 karena mereka tau i’m cow freak ;P Ga semua koleksi gampang lho dapetnya, kadang ada yg sampe harus rebutan sama orang, ada yg harus nabung dulu berbulan-bulan krn harganya yg mahal (ini pas mau beli karpet bentuknya kayak boneka sapi gede banget, empuk + lembutnya mantab surantab) . Pokoknya tiap ngeliat barang sapi pasti langsung histeris sendiri. Dan perburuan cow’s stuff selama 7 taun (2002-sekarang) itu akhirnya bikin kamarku yang di Surabaya udah kayak kandang sapi, kalo rumah yang di Jakarta malahan di setiap sudutnya ada pernak-pernik sapi & kayaknya bakal terus nambah :p, untungnya keluarga udah maklum.

Beneran deh ampe sekarang aku masih berharap semoga ada orang yang nemuin formula buat bikin sapi bonsai, alias sapi gendut yang ga bisa gede, cukup segede kucing persia ato anjing golden retriever, kan keren tu bs jadi alternatif hewan peliharaan baru :D

Resep Sosis Casserole

July 26th, 2009 by nane.nindya

Sosis CasseroleSabtu pagi kemarin akhirnya kesampean juga buat masak Sosis Casserole. Apa itu casserole?? Menyimpulkan dr hasil googling, bisa dibilang casserole adalah makanan yg dimasak di dalam wadah/panci tahan panas seperti misalnya PYREX atau loyang kue, casserole bisa berisi sosis, kornet, daging cincang atau daging ikan tuna. Istilah casserole sendiri pertama kali dikenalkan oleh orang-orang Perancis.

Casserole yg aq bikin hasilnya sama kayak macroni schotel, cuma ada beberapa bahan aja yg di mix n match. Ok, as my promise di postingan sebelumnya, aq bakal tulis resep

SOSIS CASSEROLE ala Nane Nindya

Bahan-bahan :

1 Roti Tongkat (roti panjang yang biasa digunakan untuk makan sup)

4 buah sosis

1/2 bawang bombay

6 butir telur

320-350 ml susu putih cair

Keju batang untuk diparut

Garam, Merica bubuk, Penyedap rasa kaldu sapi secukupnya

Cara memasak :

- Iris sosis bulat-bulat, iris bawang bombay & cacah tp jangan terlalu halus, tumis keduanya bersamaan sampai baunya harum, kemudian tiriskan dulu.

- Telur, susu, garam, merica bubuk, penyedap rasa campur jadi satu kemudian kocok pake mixer sampai semuanya bercampur, cicipin aja sedikit adonan ini rasanya kurang asin ato kurang apa.

- Iris roti tongkat bulat-bulat secukupnya (jadi ga perlu satu roti dihabiskan semua), tata dalam loyang kue berbentuk kotak atau piring tahan panas (pyrex). Jangan lupa olesin dasar & samping loyan dengan mentega biar tar hasil masakan ga lengket.

- Setelah irisan roti ditata, siram sama adonan yg tadi sudah dikocok.

- Masukkan juga ke dalam loyang, sosis & bawang bombay yang tadi sudah ditumis. Oya, kalo mau ditambahkan jamur juga bisa lho..

- Setelah sosis, parut keju diatasnya

- Panggang dalam oven 30-40 menit suhu 180-200 C, tunggu samapi matang & berwarna kecoklatan. Jjangan lupa sebelum dipake oven harus dipanaskan terlebih dulu kurang lebih 15 menit.

Voila….jadi deh masakannya, bisa disajikan untuk 8-10 orang.

Selamat Mencoba & kalo ada yang kurang sory ya kan amatir..

Kalo ada yg mau sharing resep silahkan coz I love cooking…. v(^^)v

C u..

Tulisan Pertama

July 24th, 2009 by nane.nindya

Ujian Kebijaksanaan

April 23rd, 2009 by Indiarto Priadi

Lupakan dulu gebyar usrek umek para elit parpol. Karena pasti membuat kepala tambah nyut-nyutan mencermati langkah mereka yang seperti Kuda di permainan Catur. Lompat sini, sana, makan sono, ancam situ, dll. Salah satu topik Apa Kabar Pagi ini adalah penolakan kepesertaan Ujian Nasional seorang siswi SMU di Surabaya karena hamil di luar nikah. Di depan kamera, sang siswi dengan perut membuncit menyatakan kekecewaannya atas perlakuan itu dan meminta dukungan sebuah LSM untuk meminta haknya. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Menurut “Cinta” nama samarannya, tidak ada hubungan antara aktifitas pribadinya dengan materi ujian. Apalagi ia tetap memiliki hak sebagai orang merdeka, tidak seperti pesakitan di penjara, tetapi tetap dapat ikut UN.

Pada kesempatan itu, pejabat Dinas Kependidikan Kota Surabaya mengingatkan aturan sekolah sang siswi; yaitu pelanggaran etika dan kesusilaan akan ditindak dengan pemecatan. Namun ia memberikan solusi bagi sang pelajar untuk mengikuti program ujian paket C sebagai gantinya. Usul ini ditolak mentah-mentah Cinta dan LSM yang menyertainya.

Kedua kutub tersebut tampaknya memiliki argumentasi yang benar. Bagi saya alasan mereka dapat dinalar.

Sebagai pejabat publik, Kepala Dinas tadi menjadi penjaga peraturan yang diyakini akan memastikan payung hukum yang pasti bagi seluruh guru, siswa, aktifitas belajar mengajar dan infrastrukturnya.

Sang remaja pun rasanya memiliki kekuatan mengacu pada UUD 45 yang menjamin hak bagi setiap warga negara untukmemperoleh pendidikan.

Mungkinkah mendekatkan kedua kutub ini mencari “win-win solution”?

Pendidikan merupakan amanat pendiri negeri ini. Negara berkewajiban menyediakan pengajaran bagi setiap warga negara tanpa terkecuali, gender, status sosial, usia dan pasti moralitas. Bahkan mereka yang tidak bermoral pun perlu dididik agar terjadi perubahan sikap dan perilaku menuju hal positif.

Di lain pihak peraturan sekolah merupakan pagar penting untuk memastikan aktifitas belajar mengajar berjalan dengan benar. Namun pagar itu tentunya dibuat dengan tujuan produk yang dihasilkan sekolah itu bermutu. Ketika seseorang di dalam pagar itu melanggar, entah guru, siswa atau staf sekolah ia haruslah dihukum sesuai norma dan asas yang mendidik. Sekolah bukanlah institusi militer, tempat para siswa hanya mengenal perintah atasan sebagai satu-satunya peraturan. Sekolah adalah sebuah wadah bagi setiap anak melatih diri secara fisik, mental dan moral agar ia berguna bagi diri dan lingkungannya.

Menurut saya, kedua belah pihak harus berintrospeksi untuk melihat kebenaran pihak lain; hak dan kewajiban masing-masing dan mencari solusi masa depan.

Melihat perkembangan jaman dan mengendurnya arti kebebasan bukan tidak mungkin kasus “Cinta” akan terulang kembali. Pada saat itu kita anggota masyarakat, orang tua, para guru, pejabat negara akan diuji untuk memberikan jalan keluar yang sebaik-baiknya demi setiap warga negara, apapun dia.

Semoga.

Koalisi

April 21st, 2009 by Indiarto Priadi

Drama selama dua minggu terakhir seperti menjadi puncak aktifitas politik para elit negeri ini. Sebelum Pemilu 9 April digelar, banyak petinggi partai saling berkunjung. Kita semua mendapat penjelasan yang “template” alias senada, yaitu kunjungan silaturahim. Hehehe, kita orang awam memang hanya bisa geleng-geleng mendapat kata-kata seperti mengajari anak kecil.

Faktanya setelah Pemilu dan pemenang menurut quick count diketahui, silaturahim itu seketika menjelma menjadi ajang tawar menawar posisi kekuasaan. Dalam dua minggu terakhir ini tampak yang ini berkunjung ke sana minta anu. Yang itu bertandang ke sini minta begitu.

Kata silaturahim yang bermakna dalam yaitu mempererat persaudaraan menjadi dangkal. Macchiavelli berkata kekuasaan harus dilanggengkan dengan segala cara; menurut saya termasuk dengan cara silaturahim.

Kesibukan kaum elit yang kesana kemari menggalang “persaudaraan” juga menyisakan pertanyaan yang dijawab seperti mengajari anak kecil. Ada petinggi partai yang bermasa lalu kelabu karena menjadi tentara dengan anak buah yang terbukti mencederai anggota partai lain, kini bergandengan tangan. Petinggi partai yang sama yang pernah berseteru di depan publik atau di belakang dengan petinggi partai lain dan menolak berada di tempat yang sama, kini bersalaman. Semuanya untuk “persaudaraan”. Kata mereka masa lalu harus dilupakan dan yang terpenting masa depan untuk bangsa ini. Ada apa ini?

Ketika masyarakat memilih wakilnya 3 minggu lalu, sang wakil diharap bersiap menuntaskan agenda aspirasi para pemilihnya. Namun apa lacur, partai penaung sang wakil justru yang lebih berkuasa. Di tingkat nasional jangan harap sang wakil rakyat terpilih yang bukan terhitung elit partai bebas menentukan keputusan. Elit partai dinilai jauh lebih mengerti arah tujuan bangsa ini daripada keinginan rakyat kebanyakan. Sang wakil rakyat hanya boleh menunggu perintah. Take it or leave it. That’s it.

Pernahkah ada penjelasan kepada para pemilih, apakah Anda setuju dengan langkah elit partai bersilaturahi dengan si anu atau si itu? Apakah ada penjelasan bahwa langkah elit partai benar-benar untuk kemaslahatan para pemilih dan bukan sekedar bagi-bagi kekuasaan segelintir orang saja?

Vox Populi Vox Dei hanyalah angin sepoi-sepoi di tengah badai bernama koalisi.
indi

Politainment

April 17th, 2009 by Indiarto Priadi

SMS itu saya terima Minggu siang pekan lalu, saat saya sedang berkemah di Gunung Bunder Jawa Barat. Isinya singkat: Lihat Kompas hari ini halaman 31. Berhubung jauh dari peradaban, saya tidak dapat dengan segera mengecek apa yang dimaksud pengirim sms itu. Saya harus menjaga rasa ingin tahu saya sampai tiba di rumah Minggu malam. Tidak sabar lagi, begitu selesai memarkir kendaraan, saya cari tumpukan koran yang berserakan (maklum sudah tiga hari ditiitinggal).

Lembar demi lembar halaman koran bergengsi itu saya buka. Pada halaman yang dimaksud, saya mendapati sebuah foto berukuran besar (sekitar 30X30 cm) agak tidak jelas, tetapi yang pasti wajah tayangan tvOne, karena di sebelah kirinya ada grafis Quick Count dengan warna merah yang khas.

Wow, saya terkejut bercampur senang.

Kata demi kata. Baris demi baris tulisan itu saya baca. Wah isinya memuji dalam balutan kritik yang menurut saya agak memaksakan kehendak penulis (ini menurut saya). Istilah Politainment yang belum pernah saya dengar sebelumnya tertulis di sana. Maksudnya Politik yang dikemas dengan hiburan atau entertainment. Di akhir tulisan itu, Mas Budi Suwarna mengutip seorang aktivis TV Watch dari Jawa Barat yang tidak pernah saya dengar tentang harapannya agar tayangan tetap harus mendidik walau penuh hiburan.

Saya tidak ingin beradu argumentasi tentang tayangan yang kami buat. Namun lebih baik saya menggambarkan apa yang kami siapkan untuk tayangan Pemilu Indonesia selama dua hari itu.

Setelah memproklamirkan diri sebagai TV Pemilu, kami sepakat untuk memberikan sajian berbeda dari tv yang lain. Bagaimana pun sebagai pendatang baru, kami harus bekerja ekstra keras untuk meraih perhatian penonton.

Dimulai sejak penayangan Debat Pilkada sejak Juli 2008, kami terus mengasah kreatifitas untuk mencari format yang lain dari yang lain. memang tidak mudah, karena kami harus berhadapan dengan keterbatasan SDM, infrastruktur dan wawasan.

Namun melihat sambutan positif penonton (berdasarkan rating tentunya) terhadap tayangan-tayangan debat pilkada, kami memiliki gambaran dasar tentang apa yang diinginkan publik.

Pemilu adalah kegiatan yang sarat aktifitas politik. Para elit saling adu argumentasi, penuh kata-kata yang mungkin membosankan, ditambah ucapan-ucapan analis yang seringkali terkesan itu-itu saja.

Akhirnya disepakatilah membangun program yang mengajak penonton memandang Pemilu sebagai sebuah pesta. Pesta yang sebenarnya. Kami juga sengaja mengajak banyak pengamat dari berbagai bidang ilmu untuk mengamati peristiwa yang sedang berlangsung. Mereka muda, kritis, mengerti bagaimana berakting tetapi tetap bernas analisanya.

Sejak Pagi hari di program Apa Kabar Indonesia mengajak penonton bergembira dengan musik, perbincangan dan analisa yang ringan tetapi bernas. Diteruskan dengan program berikut yang memberikan tayangan dari berbagai belahan republik ini. Di siang, kami mengajak penonton terkejut melihat situasi Studio Cawang yang sarat manusia. Mereka, dipandu dua presenter, bersorak, bernyanyi dan berkomentar melihat masuknya angka-angka quick count.

Puncaknya adalah tayangan di jam utama “prime time” ketika penonton di rumahbersama penonton studio yang notabene para petinggi partai peserta pemilu mengakhiri hitungan quick count dengan sorakan kegembiraan disertai jatuhnya potongan-potongan kertas berwarna-warni. Pesta baru saja usai.

Kompas menulis peristiwa itu seperti menonton balap mobil Formula 1. Artinya, penonton tidak sekedar mendapat suguhan analisa yang melelahkan dan penuh istilah asing, tetapi merek dapat merasakan gegap gempita kejadian yang berlangsung lima tahun sekali. Bersama dengan KPU, Bawaslu, partai dan para caleg, penonton berhak merasakan mulusnya pelaksanaan Pemilu (terlepas dari fakta kekisruhan DPT yang sedang disoroti banyak pihak, kecurangan dan hilangnya hak politik warga negara).

Ibaratnya seorang bayi, tvOne baru belajar berjalan. Namun kami belajar juga untuk berlari bahkan menari agar penonton mendapatkan suguhan yang menarik, menghibur tetapi cepat. Ya quick count adalah masalah kecepatan. Berita adalah kecepatan dan kebaruan.

Pesta itu telah berlalu. Partai-partai kini sibuk menyiapkan diri menuju Pemilihan Presiden 3 bulan lagi. Yakinlah, pada saat itu kami pasti akan kembali hadir dengan suguhan yang lain. Cepat, akurat sekaligus menghibur. Entah itu namanya Politainment atau Electiontainment atau apalah. Anda yang menilainya.

Selamat menikmati.

indi

Pemilu Kita

April 10th, 2009 by Indiarto Priadi

Makan-makan. Itulah kata yang mungkin muncul setelah sekelompok orang merasa berhasil menyelenggarakan sebuah hajatan. Walaupun belum tentu sukses, klaim keberhasilan bisa dilakukan oleh para penyelenggaranya, sehingga kemudian mereka merasa perlu untuk melakukan selebrasi dan salah satunya adalah dengan makan-makan. Gembira. Puas. Kalau bisa menepuk dada.

Tetapi kalau penyelenggaraan kegiatannya adalah Pemilu 2009, mungkinkah penyelenggaranya dalam hal ini KPU boleh kemudian menyatakan diri berhasil, berpuasdiri, atau bahkan menepuk dada?

Kamis, 9 April 2008 adalah puncak kerja pertama KPU yang dipimpin Prof. Dr. H A. Hafiz Anshary. Persiapan bertahun-tahun, dan puncaknya ditunjukkan pada setahun terakhir memperlihatkan betapa KPU memang sudah bekerja keras. Akuntabilitas mereka ditunjukkan dengan kesediaan semua komisioner untuk berhubungan dengan pers guna melaporkan perkembangan pelaksanaan. Saya juga tahu semua komisioner KPU sampai harus begadang di kantor sampai menjelang subuh dan kembali bekerja beberapa jam kemudian. Beberapa yang saya temui menyatakan masuk angin, sakit maag dan kurang tidur. Namun kerja keras itu mungkin belum cukup baik.

Banyaknya laporan tentang warga negara Republik Indonesia yang kehilangan hak pilih adalah salah satu faktanya. Hampir di setiap TPS terjadi keluhan serupa. Mereka yang merasa ikut Pemilu 2004 kini tidak terdaftar sebagai pemilik hak suara. Saya bertemu dengan beberapa dari mereka di TPS tempat saya mencontreng di BSD, Tangerang, Banten. Akibatnya, banyak pihak tidak puas. Selain warga RI yang kehilangan suara, yang gusar tentu saja partai-partai yang merasa dirugikan, karena kehilangan suara pendukung. PDIP adalah partai yang bersuara keras. Dalam sebuah pernyataan persnya, seorang pimpinan partai menduga ada tindakan yang sistematis untuk menguntungkan partai tertentu. Dugaan ini mencuat, karena beberapa bulan sebelumnya persoalan DPT Jawa Timur untuk pemilihan gubernur Jawa Timur mencuat. Dugaan manipulasi DPT oleh KPU setempat berdampak pada pencopotan Kapolda Jawa Timur. Jenderal polisi bintang dua itu meminta mundur dari jabatannya dan sempat menghadap kepada ketua umum partai banteng gemuk moncong putih. Beberapa partai lain pun melontarkan ucapan miring tentang hal ini, karena mereka harapan memperoleh suara yang berarti pada pemilu kali ini musnah sudah.

Komnas HAM ikut bersuara. Harian Kompas menulis lembaga pengawal hak asasi manusia ini menyatakan hal itu adalah penghilangan hak politik warga negara. Kalimat ini bisa diartikan catatan merah untuk penyelenggara pemilu.

Persoalan lain adalah logistik pemilu. Sampai hari H masih ada 100 lebih surat dan kotak suara yang belum sampai di beberapa distrik di Papua. Persoalan cuaca yang buruk sehingga menghalangi helikopter pembawa logistik bisa disebutkan sebagai penyebab yang tidak bisa dikontrol (force majeure). Rasanya kita bisa memaklumi. Tetapi ada yang lain lagi dan cukup membuat kita (minimal saya) terperangah. Saat pencontrengan ditemukan kertas suara yang berasal dari daerah lain. Surat-surat suara itu bisa menyasar ribuan kilometer. Tidak hanya beda kelurahan, tetapi beda pulau! Cointohnya di Balikpapan ada kertas suara dari Bali.

Taruhlah pekerjaan besar itu kini sudah selesai. Warga negara sudah menentukan pilihan (Anda sudah tahu pemenangnya versi quick count, tetapi perhitungan KPU saat tulisan ini dibuat baru dimulai). Di depan masih ada satu puncak pekerjaan lagi yaitu penyelenggaraan pemilihan presiden. Dengan panjangnya catatan pascapemilu legislatif, KPU tampaknya harus bekerja ekstra keras. Sekali lagi, ekstra keras mungkin belum cukup. Yang pasti harus lebih baik, karena KPU harus menjamin legistimasi hasil pemilu.

Jadi, apakah makan-makan untuk menyambut selesainya sebuah pekerjaan perlu dilakukan untuk penyelenggaraan Pemilu 2009? Makan yes, makan-makan no!

indi.

Oh, Situ Gintung

March 29th, 2009 by Indiarto Priadi

Jumat pagi saya mendapat telpon rekan kerja di Apa Kabar Indonesia, bahwa tvOne akan “breaking news”. Apa sih yang begitu “urgent” begitu tanya saya dalam hati. Kampanye gitu-gitu aja. Teror bom kayaknya sudah nggak ada. Penangkapan-penangkapan tersangka teror tak terdengar lagi. Oh mungkin anggota DPR lain yang ditahan karena kasus korupsi, pikir saya membayangkan beberapa nama yang disebut-sebut terkait korupsi yang tengah hangat akhir-akhir ini.

Tapi lho kok? Breaking news kok hanya ngomong tanggul jebol di Cirendeu Tangerang ? Apaan ini? Sedemikian “urgent”nya kah? Rasanya banyak berita tentang tanggul jebol di musim penghujan di beberapa daerah di Indonesia dan tidak cukup kuat untuk di-”breaking news”kan.

Pertanyaan-pertanyaan saya saat itu ternyata cukup naif dalam menangkap pesan tragedi Situ Gintung. Seiring dengan meningginya hari, jumlah korban yang ditenukan terus meningkat. Bahkan menjelang berakhirnya hari jumlah itu mencapai 65 orang! Ya Tuhan ada apa dengan negeri ini?

Situ atau danau Gintung dikenal sebagai kawasan wisata. Beberapa teman pernah mengunjungi daerah itu untuk memancing, mengayuh sepeda air atau sekedar melepas lelah menyaksikan panorama alam yang berbukit dan hijau. Seorang rekan lain menyatakan sering menggunakan kawasan di sekitar danau untuk bermain motocross. Medannya yang naik turun menurut rekan tersebut cukup ideal untuk memacu adrenalin di atas sadel motor berkecepatan tinggi. Namun kini hal itu tinggal kenangan.

Beberapa warga di sekitar danau menyatakan pernah mengimbau pemerintahan setempat untuk memperbaiki kawasan situ, karena ditemukan adanya rembesan air. Tidak tanggung-tanggung imbauan, peringatan dan permintaan perbaikan sudah dilayangkan beberapa tahun lalu. Namun faktanya tidak ada tanggapan apapun terhadap peringatan itu.

Ingatan saya melayang tiga tahun lalu, tepatnya Oktober 2006. Saat itu jembatan gantung di kawasan wisata Baturaden Banyumas Jawa Tengah putus dan menewaskan 8 orang. Kendati jumlah korban lebih kecil dibandingkan Situ Gintung, persoalan penyebabnya hampir sama. Keteledoran pengelola tempat wisata Baturaden tak ubahnya dengan pengabaian perbaikan tanggul Situ Gintung.

Pertanyaan sederhana yang bisa timbul saat ini, apakah perlu ada bukti kehancuran masif dulu untuk dapat membuka mata pengelola negeri ini terhadap tempat-tempat publik.

Sebagai pembayar pajak, saya tidak terima dengan alasan-alasan kurangnya dana untuk perbaikan dan perawatan infrastruktur publik. Satu nyawa sudah terlalu banyak untuk menjad korban bencana akibat ulah manusia yang mengelola tempat-tempat umum.

indi

Memilih, Tidak Memilih, Memilih, Tidak Memilih, …

March 20th, 2009 by Indiarto Priadi

Hak memilih adalah sebuah karunia terutama bagi manusia merdeka yang memiliki kedaulatan (sovereignity) untuk menentukan hidupnya sendiri. Seorang budak tidak berhak menentukan jalan hidupnya karena kemerdekaannya terikat pada sang majikan. Bahkan dalam kondisi modern seperti sekarang seorang pembantu rumah tangga seringkali mendapat perlakuan seperti halnya seorang budak; ia tidak dapat menentukan dengan bebas kapan ia dapat libur, makan, bahkan beristirahat. Semuanya tergantung tuan dan nyonya.

Salah satu manifestasi kedaulatan bagi manusia merdeka di negara yang merdeka dan berdaulat adalah menggunakan hak pilih saat pemilihan umum. Seorang warga negara dapat menggunakan kedaulatannya untuk menentukan siapa yang akan menjadi wakilnya di lembaga legislatif atau eksekutif. Ia pun dapat dipilih untuk menwakili orang lain dalam menentukan masa depan.

Benarkah sesederhana itu? Rasanya tidak. Karena manusia adalah makhluk hidup yang kompleks, seluruh aktifitas hidup manusia pun kompleks, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemilihan umum adalah salah satu bentuk kompleksitas manusia. Semoga Anda pernah membaca betapa KPU ribet dan ribut menentukan jadwal tahapan pemilu, bersilatlidah tentang afirmasi untuk keterwakilan kaum perempuan di dewan, atau perhitungan penentuan kursi lewat bilangan pembagi.

Belum selesai sampai di situ, saya membayangkan betapa repotnya perhitungan suara usai pencontrengan pada 9 April nanti. Saksi harus memelototi kertas suara untuk memastikan cara mencontreng sudah tepat atau tidak; di nama siapa atau partai apa yang memperoleh hak suara itu. Heboh deh.

Namun sebelum di situ, ada kompleksitas lain yang harus dialami seorang manusia merdeka berlabel warga negara Indonesia. Anda dan saya harus memilih satu dari sekitar 11 ribu calon legislatif DPR RI, belum termasuk DPRD Tk I, Tk II dan DPD.

Bukalah kertas suara terus pilih salah satu. Pusing?

Saya memiliki analogi sebagai berikut. Andaikan ada permintaan ini: Anda harus memilih satu buah kue dari satu piring yang berisi satu jenis kue, dua kue yang sama, dua kue yang berbeda dan bermacam jenis kue. Mana yang lebih asyik? Kalau jawaban Anda yang asyik adalah memilih dari piring dengan banyak jenis kue, tentu itu jawaban itu normal. Namun pertanyaan berikut: Benarkah mudah untuk memilih satu buah (ingat satu saja) kue dari begitu banyak pilihan? Saya kok tidak yakin.

Pernahkah Anda berbelanja pakaian dan mendapatkan pilihan begitu banyak, entah itu bagus semua atau jelek semua, dan Anda sulit menentukan pilihan, apalagi karena bujet terbatas. Pusing?

Kalau sudah demikian, apakah kita seharusnya bersyukur karena memiliki hak untuk memilih? Syukur-syukur kalau semua calon yang tertulis di kertas suara adalah orang-orang hebat, baik, jujur, pekerja keras dan mau memikirkan rakyat kecil, sehingga kesulitan kita adalah mencari yang terbaik di antara yang baik. Lha kalau semua jelek (kok pesimistis, apatis sih)?

Bagaimana dengan hak untuk tidak memilih. toh itu bagian dari pilihan? Nah, ini bukti lain dari kedaulatan seorang manusia merdeka. Bebas memilih untuk tidak memilih.

Tapi jangan lupa, setiap pilihan kita ada konsekuensinya.

indi

Maaf

March 20th, 2009 by Indiarto Priadi

Dua mingguan saya tidak “nyambangi” rumah ini. Serasa ada yang hilang. Otak buntu dan tangan kaku untuk merangkai kata pembentuk makna sebagai muara rasa. Adalah tidak adil menyalahkan pekerjaan sebagai penyebabnya, karena hidup dan konsekuensinya adalah pilihan. Jika saya sudah memutuskan untuk membuat rumah ini, maka konsekuensinya adalah untuk merawatnya dengan baik seberapapun sibuknya aktifitas itu. Yang bisa saya lakukan adalah memperbarui komitmen terhadap kewajiban atas pilihan yang sudah diambil.

indi

The Colours and The Smart

March 6th, 2009 by Indiarto Priadi

Sekali-sekali memuat yang berbeda boleh ya, karena saya nggak tahan untuk tidak berbagi kelucuan cerita kiriman seorang teman ini:

Sum Ting Wong (a Chinese) went for a job interview to be a secretary. When the manager saw Sum Ting Wong’s colourful attire and gold & white-highlighted hair, his mind was screaming “NOT THIS WOMAN”. Nevertheless, he still had to entertain Sum Ting Wong. So he told Sum Ting Wong, “if you could form a sentence using the words that I give you, then maybe I will give you a chance!

The words are green, pink, yellow, blue, white, purple and black.

Sum Ting Wong thought for awhile and said:” I hear the phone Green green green, then I go and Pink up the phone, I say Yellow…..Blue’s that? White did you say? Aiyah, wrong number lah….Don’t disturb Purple and don’t call black, ok!?!?
Thank you”.

The Manager langsung “pinksan”

Ini Calegku, Mana Calegmu?

March 3rd, 2009 by Indiarto Priadi

Mungkin saya salah, tetapi rasanya semakin banyak saja iklan caleg di setiap tempat kosong di Jakarta dan Tangerang (dua kota yang saya lewati setiap hari). Poster, bendera, baliho, stiker dan banyak lagi iklan caleg. Salah satunya yang bikin saya geleng-geleng adalah poster foto caleg di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta Pusat. Bayangkan pemakaman!

Di jalan masuk TPU, saat saya dan teman menghadiri pemakaman ibunda seorang rekan kerja, sedikitnya ada empat iklan (dua poster berukuran besar dan dua yang kecil). Rekan saya menyindir: tidak hanya rumah masa kini yang menjadi sasaran iklan caleg, tetapi juga rumah masa depan.

Menjelang Pemilu sekitar sebulan lagi, sudah pasti setiap orang partai yang sudah menyatakan diri sebagai calon anggota legislatif dan tercatat di Daftar Calon Tetap baik DPR, DPRD I dan II serta DPD bersiap untuk meraih perhatian publik. At all cost.

Salah satu lokasi yang disukai para caleg itu adalah pohon. Di perumahan saya di BSD, hampir tidak ada pohon (ini sih melebih-lebihkan) yang bebas dari poster caleg. Mungkin, karena gratis dan pohon tidak bisa protes dipaku dan dicemari iklan-iklan itu.

Foto, nama, moto, nomor dan nama partai serta nomor urutan adalah hal-hal yang selalu tertulis di sana. Herannya tidak ada caleg yang bersedia menuliskan program kerja, kontrak politik, nomor telepon dan alamat rumah.

Bagi saya, seorang anggota legislatif harus bersedia dibedah isi kepala dan isi kantungnya. Artinya publik harus tahu kemampuannya dalam mewakili aspirasi konstituennya. Program dan langkah-langkahnya jelas untuk kemaslahatan masyarakat banyak (minimal konstituennya) dan bukan sekedar politik dagang sapi. Ia juga harus mampu membiayai aktifitas politiknya agar tidak memberatkan negara dan pembayar pajak. Tidak ada tempat untuk hitung-hitungan, pendapatan setahun di dewan sebagai pengganti biaya kampanye dan empat tahun berikutnya untuk kas partai dan kantung pribadi.

Bayangkan hanya foto dan nama. Apa yang bisa diperoleh masyarakat dengan data seperti itu? Betapa pemberi suara dapat dengan mudah dikhianati mandatnya bila ia mengingkari janji saat duduk di kursi dewan. Tidak ada janji yang riil, tidak ada kontrak politik dan banyak yang tidak tahu dimana tempat tinggalnya untuk dimintai pertanggungjawaban.

Seseorang yang berani mencalonkan diri saya rasa wajib menunjukkan kesediaannya untuk di-blejeti (bahasa Jawa:dibuka selebar-lebarnya). Masyarakat sudah cukup mendapat kucing dalam karung setiap lima tahun dalam Pemilu, karena wakil rakyat kini sejatinya adalah wakil partai.

Saya ditemui seseorang ketika berada di TPU Karet Bivak hari ini. Ia meminta saya menanyakan kepada setiap caleg pertanyaan berikut: apakah para caleg itu bersedia tidak dibayar bila sudah menjadi anggota dewan sebagai bukti bahwa ia mengabdi pada rakyat dan negeri. Saya tahu pria setengah baya itu bersungguh-sungguh berharap saya dapat menanyakan hal itu. Ia berharap ada pertanggungjawaban yang nyata atas perilaku anggota dewan yang akan datang, dan tidak seperti yang sekarang.

Menyamaratakan semua caleg sebagai kurang baik tentu tidak adil. Saya yakin masih ada dan banyak yang siap bekerja dengan serius untuk negeri ini dan siap membuat kontrak politik dalam arti sebenarnya dengan konstituennya. Untuk kelompok ini saya bisa menaruh harapan kemajuan negeri ini. Namun bagaimana caranya memperoleh orang seperti ini, bila yang kita temui hanya foto dan nama yang “numpang” di pohon-pohon di “public area” (yang notabene tidak bayar pajak reklame), tanpa penjelasan apapun.

Selamat datang masa kampanye dan selamat menimbang siapa yang akan Anda (dan saya) pilih (atau tidak?).

indi

Gonjang-ganjing Politik

February 27th, 2009 by Indiarto Priadi

Seorang satpam di lingkungan RT saya di BSD, Tangerang mengeluhkan aktifitas politik akhir-akhir ini. Katanya, kaum elit politik suka nganeh-nganehi dalam beraksi. Sebelum menyahut, saya terdiam sejenak mencoba mencerna apa yang dimaksud dengan nganeh-nganehi itu, sekaligus takjub dengan perhatiannya pada permasalahan perpolitikan tanah air. Karena tidak berhasil mengira-ngira tujuannya kemana, saya pun memintanya menjelaskan maksud pertanyaannya. Rupanya ia mencermati langkah para politisi bertarung mendapatkan perhatian publik, mulai dari Rapimnas PDIP, dilanjutkan dengan Rapimnas Partai Demokrat, pernyataan wakil ketua umum Partai Demokrat yang menyebutkan Golkar bisa mendapatkan hanya 2,5% suara pada Pemilu 2009, tanggapan atas pernyataan itu dari ketua umum Partai Golkar di luar negeri, pernyataan ketua Dewan Pembina Partai Demokrat di Cikeas, pertemuan dan konsultasi DPD-DPD Partai Golkar ke ketua umumnya yang meminta Partai Golkar mengusung capres sendiri, hingga JK memenuhi undangan silaturrahim Partai Keadilan Sejahtera di Jakarta pada Kamis malam.

Wah, saya mengagumi pengetahuan dan perhatian satpam itu. Rupanya atmosfer yang memanas menjelang Pemilu 2009 ikut membetot perhatian kaum yang seringkali dianggap tidak memiliki interest dalam dunia politik.

Nganeh-nganehi adalah istilah bahasa Jawa yang berarti berbuat aneh dan tidak biasa. Hal itu bisa karena sengaja atau tidak sengaja yang berarti spontan. Masyarakat kebanyakan hanya dapat melihat gojang-ganjing politik dari permukaan. Mereka tidak memiliki akses ke dalam institusi politik untuk dapat mengerti background atau latar belakang ataupun kemana sebuah sebuah peristiwa atau pernyataan akan diarahkan.

Sebagai wartawan, saya wajib menjadi perantara ketidaktahuan masyarakat dengan perilaku kaum elit politik. Hanya saja, saya pun dapat terjebak pada ketidakmampuan saya mengerti situasi yang terjadi, karena begitu ruwetnya tarik menarik, intrik dan aksi politisi. Alhasil yang bisa saya lakukan hanyalah memberi clue atau petunjuk atau memasangkan puzzle satu sama lain. Dibantu oleh pengamat atau orang dalam yang bersedia memberi bocoran, saya harapkan publik dapat sesuatu dari penjelasan itu.

Saat tulisan ini dibuat berarti 41 hari lagi Pemilu Legislatif dilakukan. Selama rentang waktu itu, kita pasti akan mendapat drama yang lebih seru. Aksi panggung para politisi tidak lagi melibatkan partai-partai besar, tetapi juga parta-partai kecil dan antarcaleg yang bertarung memperebutkan kursi di DPR, DPRD I dan II serta DPD. Artinya, saya dan Anda bisa saja akan terbengong-bengong. Jika betul begitu, saya bisa bilang “welcome to the club” seperti satpam di tempat saya.

indi


Demi kami, mereka dan anda

September 17th, 2009 by Fenny Anastasia

Terkadang realita dan berbagai kondisi yang dilihat dan dialami seorang jurnalis
Memaksa untuk sejenak berpaling dari perasaan pribadi, sentimentil, ketakutan, pesimistis, subyektifitas, keegoisan, kejenuhan, dan iba…
Kadang menyiksa, tapi biarlah begini, sebagai sebuah konsekuensi ,dedikasi dan… ‘industri’

Demi kami, mereka dan anda…

Hiruk pikuknya nya perdebatan
Riuh rendahnya deklarasi dan perjuangan serta dentuman kesengsaraan yang membabi buta
Seolah tak terbendung dan tersaring oleh sebuah kelambu yang bernama dedikasi…
Jauh di ujung sana berlapis keinginan untuk merangkul dan merengkuh bersama…

Dikala ribuan manusia terengah mengayuh langkah di ibukota
Dan semakin tergopoh mereka dengan terbatasinya ruang lingkup dengan rangkaian benteng hukum
Terinjak oleh mahalnya sebuah kehidupan..
Seakan tak ingin menambah beban dengan jejalan pertanyaan dan segera mengulurkan sebelah tangan
tatkala tangan lain memegang senjata idealisme sebuah industri informasi
Harus bertahan dan biarlah begini..

dan tatkala musim itu tiba,
dimana ribuan bendera berjaya dimana dimana
bukan bendera merah putih itu, ini bendera promosi sebuah kekuasaan
maksudku banyak tawaran variant kekuasaan
merah, kuning, biru, hijau, merah bercorak, atau polos bergambar de el el
sontak seketika itu tak terhitung pula wajah ceria,gembira ria, penuh senyum simpul, memaksa untuk dipedulikan dan mempedulikan
tak ingin melihat tapi tak kuasa menolak, seperti terperangkap
hingga segera harus beranjak dan berbuat untuk sebuah rangkaian kata dan kalimat demi mereka
dan sebagian lain orang yang ‘terperangkap’

tak perlu itu..gumamku di dalam sana, dan ternyata hanya bisa begitu
sembari sadar menjadi bagian kemeriahan musiman

sesekali terpaksa menutup mata dan telinga..
sembari memegang sebuah bendera lambang kejayaan, kami….

harus bertahan dan biarlah begini…

sebuah gendongan yang mahal

September 11th, 2009 by Fenny Anastasia

Bbrp saat mata kami beradu,
dengan jelas dapat kutangkap harapan besar dalam sekelumit senyum polosnya.
Tp Sayang blm sampai hitungan menit, seorang petugas melarang kami untuk melakukannya, meminta kami menurunkan dari gendongan
Dg alasan takut keenakan..
Ironis ..ternyata anak2 seusia itu hanya pantas mendapat gendongan ketika sdh jelas ada yang melamar
Alias akan mengadopsi..
Jika tidak, jangan harap mendapat pelukan dan gendongan hangat dari siapapun..
Ini hanya sekelumit pengalaman ketika mencoba kembali bertandang di tempat penampungan anak panti asuhan balita cipayung jak tim
Ketika masuk salah satu ruangan tempat tidur, bermain, makan dan menangis untuk bayi bayi mungil ini
Mata saya sejenak terpana akan pemandangan itu
Belasan balita menyambut kedatangan kami dg ramah dan ceria
Ooh sungguh malang, mereka tak pernah tau dimana orang tuanya..
Entah, mungkin mereka justru blm tau apa itu yang disebut dengan orang tua
Ada sedikit hal tak biasa yang tertangkap dibalik senyum polos itu..
oh Tuhan rupanya anak-anak sekecil ini mencoba menarik perhatian kami, tatapan, senyuman, sentuhan ,dan kadang terlihat tak tau lagi dg cara apa mereka harus saling berebut merebut hati kami
untuk membawanya keluar dari tempat itu
atau, setidaknya sudi meluangkan sedikit waktu berbagi kebahagiaan bersama mereka
‘mama..mama’ atau akhirnya hanya itu yang mereka bisa…

memandang mata mata kecil jernih dan polos
Kala itu tiba tiba tersadar
Mau tak mau menggeliat dari pesimisnya melihat yang mulia manusia
Berharap tak akan bertambah makhluk2 kecil ini setiap hitungan harinya..

kanvas maya

September 11th, 2009 by Fenny Anastasia

Ketika mencoba kembali ke kanvas maya ini..rasanya sungkan utk mengumbar kata2 tanpa maksud yg jelas
tp sdhlah..sprti biasa sy hanya ingin jujur..
Kanvas..sesuatu yg sederhana dan akan menjadi penuh makna
Tak pernah ingin mendikte rupa, karena sadar hanya sebuah tempat menuang makna
Bukan bualan..bukan rangkain pujian ataupun setumpuk buaian
Namun goresan maha karya dalam aneka rupa
Sungguh indah..di sisi lain, tak jelas mau apa dan kemana
Tp biarlah demikian adanya
tak ada yg berkuasa memaknai..tak ada yg bisa disangkal…semua hanyalah mahakarya dalam balutan makna yang tertoreh dalam sebuah kanvas maya…
Terbaca..atau
teronggok diujung ruang kosong dan hampa.
Gambaran sebuah realita..bukan dg kata kata (semoga)

saat rajin2 nya corat coret, bikin karangan remaja, cerita hasil imajinasi, gambar muka dosen, kaligrafi di tangan, dan pastinya skripsi :-)

saat rajin2 nya corat coret, bikin karangan remaja, cerita hasil imajinasi, gambar muka dosen, kaligrafi di tangan, dan pastinya skripsi :-)

bbrp teman mempertanyakan mengenai tulisan ini, memang..mungkin tulisan ini akan agak susah utk dimengerti maksudnya, jadi baiklah sy akan mencoba sedikit menambahi mengenai maksud di dalamnya, kira2 begini…

kanvas maya itu sy tulis utk menggambarkan situasi penulis (saya) saat membuat tulisan itu:-)
intinya, tulisan ini dibuat saat sangat ingin menulis, meskipun ga jelas jg apa yg mau ditulis..tp hanya ingin jujur menorehkan apa isi hati pada pembaca…(maklum penyakit mood2an)
saya mencoba menjelaskannya dari sisi objek yaitu salah satu halaman di internet, yg dikiaskan sebagai kanvas (wahana utk melukis) “maya” (tak nyata, tak tersentuh)
Meskipun saat itu kondisi penulis sedang sedih, gundah, bingung, atau apa saja, maka saat itu jg, penulis bisa saja bebas melukis/menulis apa aja dlm objek itu, dan bagimanapun hasil lukisan/ tulisannya, maka dia (kanvas) tidak akan pernah protes, krn hanya sebuah wahana menuangkan apa aja, jadi terserah mau dijadiin apa.
knp kanvas??
krn bagi saya, kanvas adalah sebuah wahana yg sederhana tapi akan menjadi luar biasa indah bila berada pada tangan2 yg tepat, akhirnya tergantung pada si pelukis. bisa saja menghasilkan sebuah mahakarya indah yg banyak dikagumi, atau hanya sebuah lukisan biasa yg teronggok di sebuah sudut gudang (meskipun mungkin begitu berharga bagi pelukisnya)…akan menjadi demikian jg dg tulisan, maka apapun hasil tulisannya, penulis hanya akan tersenyum lega, karena hanya ingin jujur dalam mengurai tulisan, saat menulis kembali, walau pasti banyak keterbatasan.
hanya ingin menulis…..dan terserah bagaimana pembaca memaknai, itu saja..:-)
begitu kira2..semoga jelas ya.
makasih

Sugeng Rawuh – Wilujeng Sumping – Bien Venue

April 9th, 2009 by Fenny Anastasia

Fenny Anastasia








Tidak ada komentar:

Posting Komentar