
“Kau tahu rumah Ibu Hartini dicoret – coret ‘Lonte Agung’,‘Gerwani Agung’ dan lain – lainnya? Kau tahu apa artinya lonte? Hartini adalah istriku dan aku adalah Bapakmu, jadi dia adalah juga ibumu. Inikah yang dilakukan anak terhadap ibunya?”
(Gie, Soe. Hok. 1989, Catatan Harian Seorang Demonstran, LP3ES, Jakarta)
Kutipan ini, diceritakan oleh Soe Hok Gie, atas sebuah peristiwa sehari setelah corat – coret dirumah Hartini dilakukan. Soekarno mengumpulkan sejumlah perwakilan aktifis mahasiswa untuk berdialog perihal komentar asusila itu di Istana. Pernyataannya bernada keras dan tegas, tapi ada kehangatan yang terkandung didalamnya. Bingkai yang tepat, dipakai Bung Karno (BK) untuk menyatakan bahwa ini bukan masalah “Aku” ,“Kau” atau “Kalian”. BK dapat meminimalisir kesan private intrest dalam protesnya kepada mahasiswa dan memberi konteks bahwa ini masalah “Kita”. Tidak ada nuansa picisan dibalik pernyataannya, meski siapapun tahu, marahnya BK bersumber dari sesuatu yang sifatnya sentimentil sekali. Yakni kegeramannya atas caci maki terhadap labuhan cintanya yang baru (lagi) rekah, Hartini. Belakangan diketahui tulisan ‘Lonte Agung’ tadi ‘diabadikan’ Guntur, putra sulung BK dari Fatmawati, bukan aktifis mahasiswa. Maka kemasan pesan yang disampaikan BK sebagai respon diatas, membuatnya terhindar dari dua hal : merengek – rengek minta dikasihani dan tuduhan setara fitnah. Well done !
Lalu mari kita bandingkan dengan apa yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengomentari unjuk rasa sensasional baru – baru ini, dengan salah satu “point of attraction” menempelkan poster kartun SBY di bokong seekor kerbau, yang juga dinamai SiBuYa :
“Tolong dibahas dan diberi masukan, apakah unjuk rasa beberapa hari lalu di negara Pancasila, yang konon memiliki budaya, nilai dan peradaban yang baik, apakah harus seperti itu? Tanpa mengganggu demokrasi itu sendiri, kebebasan dan ekspresi dan sebagainya, “
Lalu..
“….banyak orang yang memberi masukan yang menggelitik. Pak SBY, apa cocok misalkan ada unjuk rasa dengan loudspeaker yang besar sekali, teriak-teriak, SBY maling, SBY maling, Boediono maling, menteri-menteri maling, dan tidak diapa-apakan,”
Lanjutnya lagi..
“Ada yang bawa kerbau, SBY badannya besar, malas dan bodoh seperti kerbau (yang) dibawa itu? Apa ya itu unjuk rasa sebagai ekspresi kebebasan? Lantas foto diinjak-injak, dibakar-bakar di mana-mana”
Pernyataan ini, dianggap oleh sebagian orang sebagai bentuk keluh kesah yang tak perlu, apalagi disampaikan kemuka umum. Langkah SBY dianggap terlalu mengekspolitasi “kezaliman” yang dirasakannya, untuk menangguk rasa simpati yang berujung pada kenaikan rating popularitas dimata publik. Jika ini terus dilakukan, reaksi publik bisa saja berbalik, karena, “trik” yang dimainkan sudah tertebak dan jadi lagu lama. Jangan – jangan komentar seperti “Busyet, my mellow president..” atau bahkan “Cengeng amat sih !” jadi resultante daripadanya. Disisi lain, bagi sebagian pihak, apa yang disampaikan SBY itu wajar – wajar saja. Pasalnya, aksi yang dilakukan sejumlah pengunjuk rasa, 28 Januari lalu tersebut, bukan protes, tapi lebih cocok dikatakan pelecehan. Cobalah bereksperimen sendiri. Suatu ketika cobalah anda memarkirkan seekor kerbau ke halaman rumah. Tempelkan karikatur ayah anda dibokong si chubby itu. Jangan lupa bubuhkan tulisan “Si PapPAp.” Langkah selanjutnya, pastikan ayah anda melihat hewan itu ketika bangun tidur pagi hari. Apa kira – kira reaksinya ?
Lepas dari kontroversi diatas, SBY menanggapi masalah ini secara personal dan bereaksi juga dalam kerangka pikir personal. Entah itu kata – kata siapa, namun kutipan yang berbunyi : “teriak-teriak, SBY maling, SBY maling, Boediono maling, menteri-menteri maling, dan tidak diapa-apakan” menunjukkan bahwa SBY memandang masalah ini dalam konteks “Aku” dan “Mereka” Dari sini kita bisa membandingkan bagaimana perbedaan BK dalam berekasi atas protes yang disampaikan untuknya, dengan SBY. Yang satu menggunakan kerangka makro sebagai landasan keberatan, sementara satunya lagi memilih scope individu. Mana yang tepat?
Komunikasi Politik Gincu
Mei nanti, duabelas tahun sudah era reformasi bergulir. Namun sampai kini, pembenahan yang sangat terasa dalam alam demokrasi kita, baru pada batas demokrasi prosedural, penguatan institusi dan politik pencitraan. Setiap lima tahun kita menyelenggarakan Pemilu, Pilpres, Pemilukada. Undang – undang dibuat atas rembuk intensif, pihak eksekutif dan legislatif. Semua itu masuk kedalam indikator telah terlaksanakanya demokrasi prosedural. Penguatan institusi juga makin terlihat, pada kian berfungsinya lembaga – lembaga simpul demokrasi dalam melaksanakan tugas sesuai amanat konstitusi. DPR, sudah menjadi lembaga penyeimbang eksekutif yang efektif, walaupun beberapa oknumnya masih menunjukkan performa dan perilaku yang memperihatinkan. Begitu juga BPK dan MK yang banyak memberikan kelegaan kolektif kepada rakyat pencari keadilan. Sementara kita masih terus menunggu dan berharap agar MA dan DPD lebih dapat mengoptimalisasi fungsi – fungsi mereka, baik karena alasan pembenahan budaya dan moralitas, maupun revisi berorientasi konstitusional. Yang paling menarik untuk ditilik adalah menggelembungnya effort para politisi, untuk kepentingan pencitraan. Lalu terminologi komunikasi politik pun menjadi satu – satunya tools proxy ilmu kanuragan, seperti yang wajib dimiliki pendekar – pendekar dalam dongeng klasik. Ujungnya, politik (atau politisi) Indonesia terjerembab ke lembah nihilisasi substansi dan memainkan politik etalase. Komunikasi politik gincu kemudian menjadi keniscayaan.
Mari kita bumikan apa yang kesannya sangat konseptual dari tulisan tadi. OK, mari ingat – ingat lagi apa yang terjadi dalam rapat – rapat di Pansus Angket Century DPR. Ahhh…yang pertama anda ingat ketika saya sebutkan Pansus DPR adalah Ruhut Sitompul-kan? Bukan karena konten bicaranya, tapi terminologi yang dipilih, gaya penyampaian dan penampilan. Lalu substansi apa yang anda dapat dari rapat – rapat maraton yang diputar langsung secara terus – menerus oleh televisi tersebut? Selanjutnya, mari kita bicara isi pidato yang memuat reaksi SBY atas demo SiBuYa? Tidak ada jawaban substansial dari aspirasi yang tersuarakan dalam aksi itu, kan? Kalau begitu, kapan kita akan mendapat isi, kalau yang diwacanakan selalu wadahnya saja?
Popularitas adalah faktor krusial bagi seorang kandidat untuk masuk kedunia politik dalam sistem demokrasi. Untuk menjamin tingkat elektabilitas, seseorang harus terlebih dahulu dikenal, untuk kemudian disukai dan pada akhirnya dipilih. Sampai disini, komunikasi politik gincu, masih banyak membantu. Karena itu, di dua kali pemilu terakhir, nama – nama selebriti bertabur di daftar pemilih. Alasannya benar – benar pragmatis. Partai memanfaatkan popularitas pesohor, yang sudah kadung lekat dalam benak pemilih. Sebaliknya, tak sedikit juga, politisi berupaya menselebritisasi dirinya, sehingga familiar bagi calon pemilih. Sekali lagi, dalam fase “baru mau terpilih” komunikasi politik dalam konteks pencitraan diri, memang akan lebih efektif. Tapi tools ini tidak bisa menjadi trik “hafalan,” apalagi buat mereka yang sudah terpilih dan menjabat. Sebab simpati dan apresiasi menjadi akibat dari hasil evaluasi konstituen atas kerja yang dilakukan sang politisi. Tidak bisa lagi, paparan kosmetika, pernyataan dramatis, dongeng tragis, mampu menyihir publik untuk mencadangkan hatinya buat si pejabat. Mengapa? Sebab semuanya sudah terukur. Dalam fase ini, publik akan lebih rasional menimbang kinerja, tanpa histeria dan fanatisme partai, aliran atau pun golongan. Dalam fase ini sejatinya politisi bunga dan gula – gula sudah tidak laku lagi.
Kalau selama ini, komunikasi politik selalu identik dengan upaya pecitraan politik, rasanya harus segera dibenahi paradigma tersebut. Sebab pencitraan hanya bagian kecil dari keseluruhan komunikasi politik sebagai sebuah perangkat sosialisasi. Faktanya, banyak politisi, yang kurang mampu menguasai perangkat ini dengan baik. Berbicara dalam berbagai kegiatan apapun, dalam tema apapun isinya sama. Normatif statement ! Retorika belaka. Apalagi kalau sudah ketemu sama pejabat yang mengandalkan teks dalam berkomunikasi, entah karena terlalu tidak percaya diri mengingat semua yang hendak dikatakan, atau malah terlalu malas berpikir dan mengandalkan para staf memeras otak untuk membuat naskah yang sesungguhnya menjadi cermin seperti apa kinerja dirinya. Dan walapun semua tahu, bahwa bagian ini, selalu di-skip oleh pendengarnya, hal itu tetap saja dilakukan. Aneh kan?
Leader is A Hero For All
Nah, pola komunikasi politik yang menceritakan keterpojokan, diperlakukan dengan sewenang – wenang, dijahati, secara sadar atau tidak kerap dipakai SBY dalam berbagai kesempatan. Saya tidak usahlah mendaftar satu – persatu. Kalau ditanya mana buktinya, media pasti mengarsipkannya dengan rapi. Pada era yang tepat, misalnya ketika pereseteruannya dengan Taufik Kiemas, balik ke tahun 2004 lalu, yang ditandai dengan keluar pernyataan “Jendral Kekanak – kanakan” dari mulut TK, pilihan SBY menggunakan style “terzalim” berbuah dukungan melimpah dari rakyat. Dan dalam beberapa kesempatan lainnya, seperti teror bom Marriot II, dan jelang pemilu 2009 lalu, hal yang sama mungkin masih produktif. Tapi kini, rasanya sudah tidak bisa lagi. Ini malahan akan memperburuk cap yang disematkan oleh beberapa kalangan, bahwa SBY peragu, kurang berani mengambil keputusan dan seterusnya.
Dalam sejarah bangsa ini, sulit mencari padanan pemimpin seperti SBY. Tingkat kepercayaan masyarakat untuknya menakjubkan. Studi yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Meski turun belasan persen, dibanding sebelumnya, namun tingkat kepuasan publik SBY masih sekitar 70 %. SBY-Boediono sendiri terpilih dengan mengumpulkan jumlah suara yang fantastis, yakni 60 % lebih. Jadi tidak ada alasan sesunggunya untuk ragu – ragu terhadap kepercayaan rakyat. Dalam konteks ini, maka berkeluh – kesah atau terkesan seperti itu, membuat rakyat ragu akan dukungannya.
Salah satu ujian bagi pemimpin adalah, bagaimana ia dapat menghadapi suasana genting dan kritis. Keandalan pemimpin teruji ketika ada pada kondisi distrust dari sebagian para pengikut yang mempertanyakan kemampuanya menyelamatkan dan membawa mereka keluar dari marabahaya. Pemimpin yang paripurna, adalah ia yang mampu mengakomodasi semua golongan, termasuk mereka yang membencinya dan tidak mendukungnya. Pemimpin yang luar biasa justru mampu merangkul kelompok kontra ini, sehingga berbalik mendukung, bukan justru menambah jumlah mereka menjadi lebih banyak. Caranya, ya dengan berbicara soal substansi, bukan sekedar kemasan. Perbedaan yang bersumber pada aliran, paham dan ide akan mudah tereliminasi dengan munculnya rasa keadilan. Keadilan yang didalamnya terkandung kejujuran dan keterbukaan terwujud dalam tindakan, bukan wacana. Sikap pemimpin yang mendikotomi “Saya” dan “Anda”, “Kita” dan “Mereka” akan semakin memperlebar dan memperdalam jurang perbedaan. Pemimpin yang sejati sesungguhnya adalah dia yang bersedia berkorban untuk semuanya, bahkan ketika popularitasnya dipertaruhkan. Dia yang rela menjadi pahlawan buat semua.
I’ll Be Careful With Your Heart
Beranjak dari semua paparan diatas, maka tidak pada tempatnya kemudian pemimpin berkeluh – kesah. Saya kutip kembali pernyataan SBY pada April tahun lalu ketika sejumlah lawan politik menyerangnya menyimpangkan angka DPT secara sengaja :
“Sakit rasanya kita tidak ada niat untuk aneh-aneh dituduh curang dan main dengan DPT. Saya punya perasaan yang lebih dari itu,”
Lalu..
“Saya akan mengalami perasaan yang tidak enak. Saya ingin kalau sudah sepakat dengan DPT untuk pilpres dengan kesiapan KPU dan kita semua, mari kita berkompetisi dengan baik. Saya pun juga ingin berkompetisi secara sehat dan fair, bukan belum-belum hasilnya dibilang curang. Tidak baik demokrasi seperti ini. Saya tidak ingin berkompetisi yang nantinya hasilnya dibilang curang, pemerintah intervensi. Menyakitkan. Dan hati jangan terlalu galak mengatakan curang,”
Selanjutnya…
“Jangan banyak menguliahi soal curang dan tidak curang. Saya juga punya pengetahuan tentang beliau-beliau di masa lalu. Tapi biarlah ini proses pendewasaan demokrasi. Marilah kita sambut masa depan dengan hati yang bersih, pikiran yang jernih dengan suasana membangun aturan main yang baik, sehingga demokrasi makin berkualitas,”
Pernyataan yang terekam dalam sebuah situs internet yang saya jumpai ini, mengingatkan saya kepada penyanyi melankolis yang senandungnya mendayu bak Clif Richard, yang ngetop di-era 90-an, Jose Mari Chan. Satu hitsnya berjudul “ Please Be Careful With My Heart.” Mungkin salah saya menangkap kesan, namun ketika membaca apa yang pernah disampaikan SBY diatas, saya terngiang – ngiang lagu tadi sambil membayangkan beliau, yang kebetulan juga gemar berdendang. Menurut saya, pesan yang ada diatas, bisa disampaikan lebih ringkas, tegas, tak berbunga – bunga, tak berkeluh – kesah, mengandung makna mengayomi semua golongan tanpa dikotomi “Saya” dan “Beliau – beliau.”
Entahlah, mungkin saya agak berlebihan, namun semakin sering para pemimpin kita berkeluh – kesah, saya jadi berpikir, dimana porsi buat ratusan juta rakyat ketika mereka hendak berkeluh – kesah? Ketika orang tua Bilqis tak mampu membayar biaya operasi transplantasi hati buah hati mereka yang bernilai satu miliaran rupiah lebih, Ketika Sinar, bocah berusia 8 tahun asal Polewali Mandar harus kehilangan masa kecil untuk mengurus ibundanya yang stroke dan lumpuh. Ketika belasan anak jalanan disodomi oleh Babe Baekuni. Dimana kepedihan mereka bermuara. Sungguh, jika mau dan ada kesempatan, mereka akan meratap lebih keras dan lebih pilu lagi dari sekedar ngambek belaka. Maka sepatutnyalah, langgam Jose Mari Chan tadi, berbalik menjadi “I’ll Becareful With Your Heart”
Tulisan ini diterbitakan pada rubrik National Affairs majalah Rolling Stone Indonesia edisi Februari 2010