Senin, 26 April 2010

Paramitha Soemantri Saya dan Sahabat


Saya dan Sahabat

September 10th, 2009 by Paramitha Soemantri

Setelah sekian lama, akhirnya saya tiba juga di depan komputer, dan mencoba kembali untuk menulis…aaahhh,tenang saja,bukan suatu tulisan yang berat kok. Saya rasa, saya tidak cukup baik untuk menulis satu hal yang terlalu serius..toh smuanya punya bidang masing-masing bukan? :) . Kesempatan saya menulis kali ini, sedikit saya paksakan di tengah waktu bekerja saya :) , bukan sesuatu hal yang sangat penting, tapi hanya karena saya tidak sabar untuk berbagi dengan yang lain, kepada siapaun anda yang menyisakan waktu sesaat saja untuk membaca tulisan ini..

kesibukan saya beberpa hari belakangan ini, membuat saya menjadi orang yang sangat tidak peka. sampai akhirnya tersadar, saya lupa waktu untuk diri sendiri. menyedihkan memang. saya berkerja, mencintai pekerjaan saya, tapi lupa untuk menyenangkan diri saya sendiri. barangkali anda yang membaca ini, yang tinggal di kota-kota besar merasakan hal yang sama. betapa tinggal di kota besar sangat mengikat waktu. saya rasa 24 jam terlalu singkat.

Satu hal yang paling disadari hilang adalah kesempatan saya untuk menyenangkan diri dengan Tertawa. yaaa, tertawa. sederhana, bukan?. entah mengapa saya merasa lingkungan tempat saya datangi, orang-orang yang saya temui, sulit sekali untuk tertawa. oooh,mungkin karena terlalu banyaknya musibah yang datang akhir-akhir ini. gempa?pesawat jatuh? korupsi? pembunuhan? . Tidak heran memang kalau orang-orang, termasuk saya, sulit untuk mendapatkan kesempatan untuk tertawa ‘dahsyat’.

Saya pernah menulis singkat di salah satu situs pertemanan mengenai Tertawa ini. kalau boleh sedikit saya mengambil lagi kutipannya, kurang lebih seperti ini : Duluuuu sekali,untuk waktu yang lama,,
rasanya tertawa menjadi barang yang sangat murah..
tampaknya kita tidak pernah memikirkan berapa lama kita butuh waktu untuk tertawa..
kalau perlu,menangis pun dengan tertawa..

tapi..semakin waktu beranjak,semakin kita mengenal dunia,yaa…sebutlah begitu..
rasanya tertawa menjadi sangat mahal..
tampaknya tertawa menjadi hal yang sangat langka…

begitu langkanya,terkadang kita mentertawakan diri sendiri, atau mungkin mentertawakan masalah yang sedang bertamu di kehidupan kita..
yaaa…mungkin itu cara terbaik,karena sulit rasanya menemukan celah untuk benar2 tertawa diatas waktu yang mengikat, dan dibalik masalah-masalah yang telah menjadi teman hidup kita…………………

Waktu dan masalah. Saya pikir 2 hal itu menjadi musuh utama sang sahabat, yang saya sebut, Tertawa. tapi, setelah saya renungkan, saya bukan tidak punya kesempatan untuk Tertawa. tapi, saya menutup kesempatan untuk Tertawa. di balik waktu yang sangat ” pendek” , masalah yang datang, saya malah membiarkan masalah menjadi akrab dengan kita. yaa..bodoh, dan rugi. saya jadi selalu mentertawakan diri sendiri. Semoga anda yang membaca tulisan ini, tidak mengalami hal serupa. semoga masih banyak orang-orang di sana, entah dimana, yang menyisakan sedikiiiiit saja waktu, menghela nafas, dan Tertawa. besar harapan saya untuk itu.

Sejak itu, mulai hari ini, dan seterusnya, rasanya saya harus berteman lagi dengan sang sahabat. saya rindu bersama nya, saya tidak sabar untuk selalu menghabiskan waktu dengannya, hanya untuk Tertawa. kali ini, saya akan membiarkan untuk dia datang di kehidupan saya, dan biarkan di waktu kedepan, Tertawa yang akan merindukan untuk bersama saya. bukan saya.

Jakarta dan perjuangannya

August 10th, 2009 by Paramitha Soemantri

Saya memang lahir di Jakarta, dan sempat tinggal selama 10 tahun sebelum akhirnya ikut orangtua dinas di beberapa kota. ketika pindah dari satu kota ke kota lainnya, saat itu,saya pikir, saya tidak akan kembali lagi ke Jakarta. maksud tidak akan kembali lagi disini adalah ; menetap, bersekolah, mencari nafkah, atau apapun bentuknya yang menghabiskan waktu panjang. kenapa?karena saya terlalu jatuh cinta dengan kota terakhir saya tinggal,yang juga kampung halaman ayah saya.

tapi ternyata saya keliru,lebih tepatnya, Tuhan sengaja merancang seolah-olah saya keliru. “kamu harus datang kembali ke Jakarta!.” begitu barangkali pesan Tuhan kepada saya. yaaa…saya pun akhirnya memutuskan untuk datang kembali ke kota pusat kemacetan. jujur, bukan keping dan lembaran rupiah yang saya tuju. tapi saat itu, saya pikir ini adalah kesempatan saya. kesempatan apa dan seperti apa nantinya? saya pun tidak tahu.itu saja,tidak lebih!

saya ingat,ketika saya kembali menjadi 1 dari jutaan penghuni Jakarta, salah satu teman kantor saya bertanya :

” kenapa kamu mau kerja di Jakarta?” ,

saya jawab tanpa pikir panjang: ” ya ..karena kan kalau mau cari duit sih bagusnya di Jakarta,mau kerja apapun ada…”

lalu,teman saya dengan santai nya hanya menjawab “yaelaaahh..kalau itu sih, nenek-nenek juga tau…! ”

saya terdiam. dan akhirnya menyadari bahwa pasti ada alasan khusus mengapa Tuhan menulis jalan cerita saya untuk kembali ke Jakarta. bukan hanya kesempatan yang (saat itu) saya pun tidak tahu, bukan hanya membuang keringat dan tenaga,dan bukan hanya mencari pundi-pundi kekayaan. everything happens for a reason, pasti ada alasannya!.

saya pun akhirnya merasakan kembali sengatan matahari ibukota, semrawutnya jalanan, dan puluhan kilometer jarak rumah menuju kantor. dari sekian hal yang saya jalani, satu yang paling berat adalah jauh dari keluarga. walaupun saya tinggal bersama kedua kakak, namun lagi-lagi kesibukan kota sejuta umat ini membuat saya jarang bertemu. tinggal satu atap,tapi terasa jauh. sama halnya jauh dari orangtua rasanya seperti tidak ada tempat untuk berteduh, jauh dari adik saya rasanya seperti kehilangan boneka kesayangan di saat kecil. ingin sekali rasanya berkumpul kembali semuanya dalam satu tempat,satu kota. saya rindu keluarga!.

namun ketika tiap kali saya merasakan rindu yang teramat sangat, saya selalu ingat perkataan ayah saya, beberapa saat sebelum saya hijrah kembali ke ibukota ini :

” Aku… (begitulah ayahku biasa memanggil) Jakarta itu sangat berbeda dengan Bandung. kamu akan berhadapan dengan ribuan masalah dan ribuan wajah disana. kalau kamu tidak punya mental baja,kamu akan tersingkir. ini adalah fase hidup kamu yang harus dijalani,dan karena hidup adalah Perjuangan.”

yaaa…hidup adalah perjuangan. kalimat itu sudah menjadi magnet di diri saya. sekarang, walaupun belum seutuhnya, saya sedikit banyak bisa melihat alasan Tuhan mengirim saya kembali jakarta.

Ketika saya lelah menempuh perjalanan lebih dari 1 jam menuju kantor, saya teringat bahwa ini adalah berjuang agar saya bisa bangun lebih pagi dibandingkan teman-teman kerja saya lainnya. Tuhan tahu saya sulit bangun pagi.

Saat saya terjebak kemacetan diantara mobil-mobil mewah,ratusan kendaraan bermotor,bis-bis antar kota di Jakarta, saya teringat ini adalah perjuangan untuk merentangkan otot dan syaraf kemarahan saya. Tuhan tahu saya orang yang kurang sabar.

Ketika habis tenaga saya karena bekerja lebih dari 14 jam, saya teringat bahwa ini adalah berjuang agar saya tidak hanya menghabiskan waktu percuma dirumah. Tuhan tahu saya pemalas.

dan saat saya menangis karena benar-benar merindukan keluarga,tempat saya bersandar, saya teringat ini adalah berjuang untuk lebih mandiri dan berdiri di atas kaki saya sendiri. dan Tuhan tahu saya benar-benar cengeng.

aaaahhh..contoh diatas hanya bagian sangaaat kecil. saya yakin masih ada contoh yang jauuuuh lebih dahsyat dan prihatin yang dialami ribuan warga yang tinggal di Jakarta, dan masih ada ribuan kisah perjuangan yang dialami orang-orang yang memutuskan hijrah ke Jakarta. ya, memang harus berjuang umtuk tinggal di Jakarta, karena hidup ini memang Perjuangan.







Demi kami, mereka dan anda

September 17th, 2009 by Fenny Anastasia

Terkadang realita dan berbagai kondisi yang dilihat dan dialami seorang jurnalis
Memaksa untuk sejenak berpaling dari perasaan pribadi, sentimentil, ketakutan, pesimistis, subyektifitas, keegoisan, kejenuhan, dan iba…
Kadang menyiksa, tapi biarlah begini, sebagai sebuah konsekuensi ,dedikasi dan… ‘industri’

Demi kami, mereka dan anda…

Hiruk pikuknya nya perdebatan
Riuh rendahnya deklarasi dan perjuangan serta dentuman kesengsaraan yang membabi buta
Seolah tak terbendung dan tersaring oleh sebuah kelambu yang bernama dedikasi…
Jauh di ujung sana berlapis keinginan untuk merangkul dan merengkuh bersama…

Dikala ribuan manusia terengah mengayuh langkah di ibukota
Dan semakin tergopoh mereka dengan terbatasinya ruang lingkup dengan rangkaian benteng hukum
Terinjak oleh mahalnya sebuah kehidupan..
Seakan tak ingin menambah beban dengan jejalan pertanyaan dan segera mengulurkan sebelah tangan
tatkala tangan lain memegang senjata idealisme sebuah industri informasi
Harus bertahan dan biarlah begini..

dan tatkala musim itu tiba,
dimana ribuan bendera berjaya dimana dimana
bukan bendera merah putih itu, ini bendera promosi sebuah kekuasaan
maksudku banyak tawaran variant kekuasaan
merah, kuning, biru, hijau, merah bercorak, atau polos bergambar de el el
sontak seketika itu tak terhitung pula wajah ceria,gembira ria, penuh senyum simpul, memaksa untuk dipedulikan dan mempedulikan
tak ingin melihat tapi tak kuasa menolak, seperti terperangkap
hingga segera harus beranjak dan berbuat untuk sebuah rangkaian kata dan kalimat demi mereka
dan sebagian lain orang yang ‘terperangkap’

tak perlu itu..gumamku di dalam sana, dan ternyata hanya bisa begitu
sembari sadar menjadi bagian kemeriahan musiman

sesekali terpaksa menutup mata dan telinga..
sembari memegang sebuah bendera lambang kejayaan, kami….

harus bertahan dan biarlah begini…

sebuah gendongan yang mahal

September 11th, 2009 by Fenny Anastasia

Bbrp saat mata kami beradu,
dengan jelas dapat kutangkap harapan besar dalam sekelumit senyum polosnya.
Tp Sayang blm sampai hitungan menit, seorang petugas melarang kami untuk melakukannya, meminta kami menurunkan dari gendongan
Dg alasan takut keenakan..
Ironis ..ternyata anak2 seusia itu hanya pantas mendapat gendongan ketika sdh jelas ada yang melamar
Alias akan mengadopsi..
Jika tidak, jangan harap mendapat pelukan dan gendongan hangat dari siapapun..
Ini hanya sekelumit pengalaman ketika mencoba kembali bertandang di tempat penampungan anak panti asuhan balita cipayung jak tim
Ketika masuk salah satu ruangan tempat tidur, bermain, makan dan menangis untuk bayi bayi mungil ini
Mata saya sejenak terpana akan pemandangan itu
Belasan balita menyambut kedatangan kami dg ramah dan ceria
Ooh sungguh malang, mereka tak pernah tau dimana orang tuanya..
Entah, mungkin mereka justru blm tau apa itu yang disebut dengan orang tua
Ada sedikit hal tak biasa yang tertangkap dibalik senyum polos itu..
oh Tuhan rupanya anak-anak sekecil ini mencoba menarik perhatian kami, tatapan, senyuman, sentuhan ,dan kadang terlihat tak tau lagi dg cara apa mereka harus saling berebut merebut hati kami
untuk membawanya keluar dari tempat itu
atau, setidaknya sudi meluangkan sedikit waktu berbagi kebahagiaan bersama mereka
‘mama..mama’ atau akhirnya hanya itu yang mereka bisa…

memandang mata mata kecil jernih dan polos
Kala itu tiba tiba tersadar
Mau tak mau menggeliat dari pesimisnya melihat yang mulia manusia
Berharap tak akan bertambah makhluk2 kecil ini setiap hitungan harinya..

kanvas maya

September 11th, 2009 by Fenny Anastasia

Ketika mencoba kembali ke kanvas maya ini..rasanya sungkan utk mengumbar kata2 tanpa maksud yg jelas
tp sdhlah..sprti biasa sy hanya ingin jujur..
Kanvas..sesuatu yg sederhana dan akan menjadi penuh makna
Tak pernah ingin mendikte rupa, karena sadar hanya sebuah tempat menuang makna
Bukan bualan..bukan rangkain pujian ataupun setumpuk buaian
Namun goresan maha karya dalam aneka rupa
Sungguh indah..di sisi lain, tak jelas mau apa dan kemana
Tp biarlah demikian adanya
tak ada yg berkuasa memaknai..tak ada yg bisa disangkal…semua hanyalah mahakarya dalam balutan makna yang tertoreh dalam sebuah kanvas maya…
Terbaca..atau
teronggok diujung ruang kosong dan hampa.
Gambaran sebuah realita..bukan dg kata kata (semoga)

saat rajin2 nya corat coret, bikin karangan remaja, cerita hasil imajinasi, gambar muka dosen, kaligrafi di tangan, dan pastinya skripsi :-)

saat rajin2 nya corat coret, bikin karangan remaja, cerita hasil imajinasi, gambar muka dosen, kaligrafi di tangan, dan pastinya skripsi :-)

bbrp teman mempertanyakan mengenai tulisan ini, memang..mungkin tulisan ini akan agak susah utk dimengerti maksudnya, jadi baiklah sy akan mencoba sedikit menambahi mengenai maksud di dalamnya, kira2 begini…

kanvas maya itu sy tulis utk menggambarkan situasi penulis (saya) saat membuat tulisan itu:-)
intinya, tulisan ini dibuat saat sangat ingin menulis, meskipun ga jelas jg apa yg mau ditulis..tp hanya ingin jujur menorehkan apa isi hati pada pembaca…(maklum penyakit mood2an)
saya mencoba menjelaskannya dari sisi objek yaitu salah satu halaman di internet, yg dikiaskan sebagai kanvas (wahana utk melukis) “maya” (tak nyata, tak tersentuh)
Meskipun saat itu kondisi penulis sedang sedih, gundah, bingung, atau apa saja, maka saat itu jg, penulis bisa saja bebas melukis/menulis apa aja dlm objek itu, dan bagimanapun hasil lukisan/ tulisannya, maka dia (kanvas) tidak akan pernah protes, krn hanya sebuah wahana menuangkan apa aja, jadi terserah mau dijadiin apa.
knp kanvas??
krn bagi saya, kanvas adalah sebuah wahana yg sederhana tapi akan menjadi luar biasa indah bila berada pada tangan2 yg tepat, akhirnya tergantung pada si pelukis. bisa saja menghasilkan sebuah mahakarya indah yg banyak dikagumi, atau hanya sebuah lukisan biasa yg teronggok di sebuah sudut gudang (meskipun mungkin begitu berharga bagi pelukisnya)…akan menjadi demikian jg dg tulisan, maka apapun hasil tulisannya, penulis hanya akan tersenyum lega, karena hanya ingin jujur dalam mengurai tulisan, saat menulis kembali, walau pasti banyak keterbatasan.
hanya ingin menulis…..dan terserah bagaimana pembaca memaknai, itu saja..:-)
begitu kira2..semoga jelas ya.
makasih



Tidak ada komentar:

Posting Komentar