Senin, 26 April 2010

Di Balik Kabar tvOne


Sekolah Percontohan Kekerasan (Jalur Gaza yang Angker)

November 9th, 2009 by Moderator

nugiBy: nugie

Hati saya miris begitu baca detikcom yang memberitakan ada kekerasan terhadap anak atawa bahasa kerennya bullying, yang terjadi di SMA 82.

Padahal SMA itu mengklaim bahwa sma mereka adalah sekolah percontohan anti bullying di DKI JAKARTA..gimana ngga keren coba, SMA negeri elit di selatan Jakarta Dimana uang masuknya dan SPPnya lebih mahal, dari pada harga hp CDMA..lulusannya banyak diterima di PTN ternama, tapi masih mempraktekan kekerasan tak bermoral. Weleh… weleh..

Ketika ini terjadi, Pasti pihak sekolah selalu akan menyalahkan oknum siswa yang melakukannya. Dalam berita di detikcom, wakil kepseknya malah bilang, seharusnya persoalan ini diselesaikan secara kekeluargaan.Lha mana Koq bisa ya.. seorang pejabat sekolah ngomong gitu? Orang udah dianiaya koq masih kekeluargaan.Pidana dong…

kalo seperti itu, kelakuan para senior, maka bukan mustahil, tahun depan peminat sekolah itu akan menurun, karena ngga ada ortu yang pengen anaknya dipukulin karena masuk sekolah itu.

Pihak sekolah pasti akan beralasan itu hanya kasuistis dan insiden, tetap saja ada peristiwanya yang menjadikan susu sebelanga rusak karena setitik nila

Kasus Ade, adalah tamparan dipipi kiri dan kanan sekaligus bagi para gurum siswa dan sekolah itu.

Tamparan pertama, para guru yang seharusnya menjadi pendidik, gagal mengantisipasi kekerasan yang terjadi di sekolah mereka.Belum lagi sekolah ini mengklaim sebagai sekolah percontohan.RRRUUUUAARRRR biasa Jahanamnya..ketika kekerasan ini terjadi.

Saya yakin, para guru (di SMA 82) notabene nasibnya jauh lebih baik daripada guru bantu di Jakarta. Sehingga mereka seharusnya lebih memerankan diri sebagai pendidik bagi siswa-siswa.tapi kenyataannya masih ada kekerasan di sekolah anti kekerasan itu.. lalu para siswa SMA 82 harusnya malu…menyandang predikat sebagai siswa di sekolah percontohan anti Bullying..atau sebaliknya ya..sekolah percontohan kekerasan pertama di JAkarta

Tamparan kedua, tentunya bagi sekolah itu sendiri yang gagal membuat sebuah sistem dan subcultur bebas bullying, karena kekerasan terus terjadi.para guru di SMA itu, tak bisa membuat sebuah budaya baru yang mengedepankan intelektualitas, dan emotional dan spiritual quotion kepada para muridnya.Saya lagi berpikir, jangan-jangan ideologi uang dan kekuasaan yang justru diajarkan para guru kepada para muridnyya? Soalnya, ketika uang dan kekuasaan menjadi panglima, maka semua cara akan dilakukan untuk mendapatkannya,termasuk dengan kekerasan.

Kalo begitu, mau apa dan mau jadi apa sih si pelaku dengan mukulin junior? seperti apa sih mereka? Kalo diajakin berantem satu lawan satu, berani ngga ya? Apa orang tua mereka ngga ngajarin caranya menghormati orang lain? atau jangan-jangan mereka (pelaku pemukulan) emang makan “uang haram”, jadinya kelakukan mereka rada2 barbarian?

Nasib menjadi “Ade”

Oh ya sebelum lupa, ini musibah yang terjadi pada Ade, diambil dari detikcom.Tentunya udah disunting ya.

Ade Fauzan babak belur akibat kekerasan yang dilakukan senior-seniornya di SMAN 82 Jakarta. Mulut Ade mendapatkan jahitan, tempurung kepalanya bagian belakang pun memar.

“Hasil pemeriksaan dokter, Ade luka di mulut dan perlu mendapat 3 jahitan di dalam dan 3 jahitan di luar,” ujar tante korban, Elo di RS Pusat Pertamina (RSPP), Jl Kiai Maja, Jumat (6/11/2009). telinga Ade membiru. Selain itu juga tampak bekas luka layaknya bekas cambukan di tangan kirinya. “Hasil CT-scan, ada memar di tempurung kepala bagian belakang,” kata Elo. Ade telah 4 hari terbaring lemas di RSPP pun terlihat tidak berdaya.

Keluarga melapokan kekerasan tersebut ke Polsek Kebayoran Baru dan masih menyimpan baju sekolah Ade yang berlumuran darah serta celananya.

Ade mendapatkan kekerasan dari senior-seniornya, disebabkan ia berjalan di Koridor Gaza di SMAN 82. Koridor tersebut hanya dapat dilewati siswa kelas III saja. Walhasil, Ade pun kena ’serangan’.

Ini lanjutannya (masih dari detikcom)

Jalur Gaza’ di SMAN 82, Jl Daha, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sudah lama ada. Tidak ada yang tahu siapa pencetus istilah tersebut.Seorang alumni angkatan 1999 mengaku, bahwa nama jalur gaza sudah dikenal sejak dulu. Jalur Gaza adalah sebutan untuk koridor di sepanjang depan kelas XII (kelas 3) sebanyak 9 kelas di samping lapangan basket. Bagi seluruh siswa kelas X (kelas 1) dan XI (kelas 2), dilarang melewati koridor tersebut tanpa alasan yang jelas.

“Jadi, jika ada siswa yang mau ke kantin, haru memutar dengan melewati koridor lainnya”. Ini yang penting lagi, Peristiwa bullying di SMA 82 ternyata tak cuma kali ini terjadi. Pada masa lalu, kekerasan dari kelas XII ke adik kelas sudah lumrah terjadi. Dari larangan bawa mobil hingga kekerasan fisik.

Menurut seorang alumni, ketika dia duduk di 3, ada siswi kelas 1 yang mukanya dicorat-coret menggunakan spidol karena melanggar aturan senioritas itu. Siswa itu mengadu ke orang tuanya.

“Lantas beberapa dari kami dibawa ke Polsek Kebayoran Baru. 3 Dari kami harus wajib lapor tiap minggu. Saya kira, itu terakhir kali Jalur Gaza eksis. Ternyata masih ada ya,”

Nah loh..!!!! sekolah model gini koq dapet predikat sekolah percontohan anti bullying? Dimana contohnya? Wakakakkk…

Mungkin ini nasib menjadi seorang “ade” kelas..selalu ditindas, dilecehkan , dipermainkan, dianiaya, oleh para seniornya. Kalo benar seperti itu, alangkah malangnya mereka yang baru menginjak “level satu” alias beginner alias junior dimana pun berada. Mulai dari SD sampe Perguruan Tinggi.Para pemula yang baru masuk institusi baru, seharusnya mendapat orientasi tentang apa yang akan dihadapi, bukannya dihajar.

Jadi inget waktu kuliah dan sekolah dulu..waktu kuliah, memang saya pernah mendapat “orientasi” dari pada senior, tapi menurut saya masih dalam taraf wajar. Seingat saya ngga ada tuh, penganiayaan dengan jalan dipukulin macem gitu..kalaupun ada, lebih kepada pembinaan mental seperti berlatih menghadapi deadline tugas kuliah, kerjasama tim, dsb…(kalo di jurusan saya dulu namanya inisiasi) Jurusan Kriminologi di FISIP UI memang dikenal angker, tapi mahasiswanya pada kalem-kalem, angker karena memang suka berantem satu lawan satu dan bukan keroyokan…

Ah..nostalgia memang menyenangkan…

Kembali ke si Ade,

Sub Budaya kekerasan

Jadi inget masa-masa kuliah dulu, saya pernah diajari sebuah teori subculture of violence menurut kriminolog Wolfgang & Ferracutti..Ini adalah teori klasik Kriminologi, dimana ada kelompok yang memang menciptakan dan membudayakan kekerasan dilingkungan mereka.

Kalo di Amerika sono, sub kultur budaya bronx, atau ghetto memang mengakomodir kekerasan. Ini lebih karena keinginan untuk bertahan hidup, di lingkungan yang serba minim fasilitas, dan ketidakmampuan daya jangkau ekonomi.

Subcultur of violence ini terbentuk, karena ada kelompok masyarakat yang tak mampu mengikuti cultur yang ada di masyarakat.Kemudian mereka mencari cara agar bisa diterima di masyarakat, tentunya dengan cara mereka sendiri.

Menurut saya Kalo di SMA 82, subkultur kekerasan ini diwariskan oleh senior kepada junior. Subkultur ini berkembang ketika ada dari sebagian siswa yang merasa tak diterima secara nilai oleh lingkungan.

Mereka para pelaku kekerasan sebenarnya adalah alien bagi lingkungan mereka. Karena asing, individu-individu membentuk sebuah kelompok dan membuat sebuah aturan budaya sendiri. Aturan mereka tentu akan dibenturkan dengan nilai besar yang berlaku di sekolah, dan dipraktekan diam-diam.Para penganut subculture of violence ini bisa terang-terangan atau sembunyi-sembunyi mempraktekan nilai yang mereka anut.Untuk kasus Ade, keliatannya para pelaku memilih sembunyi-sembunyi mempraktekannya.

Disini ada konflik nilai antara sekolah dengan para pelaku bullying. Agresifitas terhadap Adem yang terjadi adalah bentuk nyata dari konflik tersebut. Sebagian dari para pelaku bullying terhadap Ade merasa bahwa mereka menjadi seseorang setelah mampu menekan seseorang.

Deliquency alias kenakalan terjadi karena mereka merasa perlu untuk melakukan perlawanan terhadap nilai umum di sekolah mereka.Karena itu, Mereka kemudian membentuk “geng”, untuk mengakomodir conflict of norms tersebut.

Makanya kemudian tidak heran muncul istilah “jalur Gaza” , “lorong maut”, atau istilah lainnya yang biasa berkembang di kalangan siswa.Istilah itu disebarkan kepada siswa lain, sehingga lama kelamaan diterima.

Sistem atau oknum?

Ade sudah babak belur, sekolah lepas tangan, pelaku bebas berkeliaran.lantas siapa Ade selanjutnya? Pertanyaan ini pantas dikemukakan karena tidak pernah jelas kelanjutan kasus bullying ini.Sekolah menganggap bahwa kekerasan adalah bagian dari kenakalan masa puber. Ingat kasus penganiayaan alumni terhadap siswa SMA 34? Kasusnya berlalu begitu saja, meski ada yang dikeluarkan dari sekolah.

Ini dia kesalahannya.Sekolah selalu menganggap bahwa norma atau nilai yang mereka tanamkan kepada siswa tidak mendapat pertentangan karena kemampuan sekolah untuk “merepresi” para siswa.

Padahal tidak demikian, Sistem pengajaran , pendidikan dan pemberian nilai, harus dievaluasi, sehingga mereka yang teralienasi merasa terakomodasi nilainya, dan tidak perlu membuat counter culture terhadap apa yang telah menjadi konsensus sekolah.

Sistem sekolah percontohan anti bullying itu mesti dievaluasi lagi, jangan-jangan predikat itu didapat dengan jalan yang tidak benar. Kepala sekolah harus dievaluasi kinerjanya.Para guru harus ditatar lagi untuk mengetahui metode ajar dan didik yang lebih baik.dan sebagainya lah…Jadi bukannya sekedar menyalahkan oknum siswa.

Tapi saya koq tiba-tiba jadi sinis sama SMA ini..Jangan-jangan..buat masuknya itu..perlu “sesuatu” (kayak kasusnya anggodo)

Atau jangan-jangan memang subculture of violence sengaja dibudayakan di sini…dan sekolah tutup mata aja selama terima duitnya dari para orang tua, sehingga kekerasan inheren di sekolah itu.

Kalo bener begitu, cuuucok lah jadi sekolah percontohan kekerasan.

Best Match of the Months Cicak vs Buaya

November 5th, 2009 by Moderator

nugiBy: Nugi lagi

Cicak Koq mau Melawan Buaya!, itulah sepenggal kutipan petinggi Kepolisian negeri ini ketika, percakapannya dengan seorang Bos pemilik Bank bermasalah terekam oleh organisasi Pemberantas Koruptor (OPK). Nah loh!! Koq bisa-bisanya petinggi polisi ngomong begitu ya? (menurut hasil wawancara sebuah majalah top di Indonesia loh!)

Ibarat pertandingan tinju Dunia, KPK tersudut di pojok ring dan dihujani pukulan kombinasi Hook, Jab, upper cut, yang membuatnya sempoyongan. Tapi KPK bukanlah petinju kacangan. KPK mirip Muhammad Ali, flies like a butterfly, sting like a bee. Bedanya KPK bukan tipe petinju yang boastful alias banyak omong, KPK lebih mirip Sugar Ray Leonard,Petinju legendaris yang gerak dan kecepatannya membuat lawan kebingungan.

Polisi lebih mirip Mike tyson, langsung seruduk, dan menghabisi lawannya dengan beberapa kali pukul, terutama pukulan hook kiri yang keras benerrr…Inilah laga yang berbeda kelasnya yang satu welter ringan yang satu kelas Berat banget.

Sisi Lain Cicak vs Buaya

Tapi sutralah, kalau mau dilihat dari perspektif lain perseteruan KPK vs Polisi ini adalah ketika
Media ikut ngomporin mereka. Media mengkonstruksi realitas sosial, antara KPK dan Polisi. Ditambah juri yang “berpihak” Kejaksaan dan DPR yang secara “konstitusional” merancang aturan untuk melemahkan KPK (maksudnya undang-undang tipikor)

Dalam Laga Cicak vs Buaya, Media massa mengentaskan sebuah pesan bahwa KPK kini tengah dikeroyok secara sistematis oleh berbagai lembaga.

Mulai dari kewenangannya yang akan dipreteli melalui RUU pengadilan korupsi.Lalu penetapan dua pimpinan KPK sebagai tersangka dalam kasus yang “samar-samar” dan sekarang koq malah ditahan trus bebas sementara (maksudnya ditangguhkan penahananya)? Dimana Media Massa? Layaknya pertandingan tinju, media massa hanyalah komentator yang dianggap paling handal, dan paling tau bagaimana prtandingan itu berjalan (padahal mah bukan petinju, ex petinju bahwan bukan pelatih tinju…hehehe)

Media massa (si komentator yang bukan aktor) hanya mengamati, mencari data dan fakta serta mengomentari.Media menganalisa foot work si cicak, pukulan si buaya, double covernya cicak, hingga bodymove si buaya. Dan jadilah media massa agen konstruksi best match of the month, yang mumpuni. Hehehe.Tapi bagaimana dengan publik alias penonton?
Tentu, media massa tentu tidak serta merta mengkonstuksi hal tersebut. Media telah menyiapkan amunisi untuk mengkonstuksi laga cicak vs buaya. Coba perhatikan pilihan bahasa, judul, angle liputan, kutipan wawancara dsb, pastilah semua adalah hasil dari perdebatan panjang redaksi, termasuk kepada siapa media cenderung memilih keberpihakan. Dan pastinya Media akan menyebarkan amunisi hasil konstruksi kepada pembaca atau penontonnya

Dalam kasus kpk vs polisi, media massa (televisi) menyiapkan serangkian komponen mereka untuk meliput dan menyiarkan peristiwa / fakta tersebut.Mulai dari tim liputan, pemilihan narasumber, hingga tim siaran langsung.

Reporter mengumpulkan data, mengobservasi dan menilai apa yang sedang terjadi. Produser membuat alur cerita, alur acara, hingga cara menyampaikannya. Koordinator liputan mengarahkan kemana tim harus bergerak, dan siapa yang harus ditemui. Presenter merepresentasikannya melalui mimik, intonasi dan gerak tubuhnya di layar kaca.

Saya jadi ingat dengan gaya alm Bung Sambas ketika siaran di RRI ( dengan segala hormat saya kepada beliau). Saat itu saya sedang mendengarkan siaran radio pertandingan bulu tangkis antara Icuk Sugiarto melawan YangYang (sayang saya lupa nama kejuarannya) Disitu saya kadang kesal dengan Icuk, koq mainnya rally terus, padahal YangYang, adalah pemai kidal dengan smes mematikan. Sambas dengan suara renyahnya membawa saya ke suasana pertandingan, kita kadang menahan nafas mendengarkan laporan Sambas,.Kadang geram, senang, dag dig dug… itulah hebatnya hasil konstuksi Sambas kepada saya yang mendengarkan (padahal hanya mendengar suaranya saja). Belakangan baru saya tahu itulah gaya Sambas untuk meminta pendengar mendukung pemain nasional.

Pemenangnya Godzilla

Lah kan ngawur lagi. Sebenarnya kata Burhan Bungin (2007) pakar komunikasi top markotop di Surabaya sana( koq ngutip melulu ya, kapan orisinalnya), ada 3 tahap generik yang dilalui masyarakat ketika mengkonstruksi sebuah pemberitaan, yaitu (1)konstruksi realitas pembenaran, (2)kesediaan dikonstruksi oleh media massa dan (3) sebagai pilihan konsumtif. Nah lho….

Singkatnya gini, masyarakat percaya, dan membenarkan apa yang disajikan media massa. Karena media massa (tv), publik yakin bahwa Bibit dan Chandra menjadi bulan-bulanan polisi, dan kejaksaan yang menjerat mereka dengan rekayasa kasus penyalahgunaan wewenang.

Menurut Media Massa, Polisi memberikan kombinasi pukulan hook dan uppercut, yang luar biasa telak kepada KPK. KPK sempat terhuyung, dan mundur beberapa langkah, namun semangat penonton yang diwakili media massa membantunya bangkit kembali. KPK bergerak lincah dan mulai menyerang balik, dengan memberikan pukulan kombinasi. Inilah yang nampak pada persidangan uji materi uu KPK di MK 3 November 2009. Ditambah kehadiran Ring girl alias gadis pembawa papan ronde Anggodo Widjojo, makin jelaslah bahwa media membuat publik memiliki “legitimasi” bahwa telah terjadi rekayasa bagi para pimpinan KPK. Padahal kan belum tentu, tull ngga?

Kemudian, masyarakat /publik rela dan ikhlas di konstuksi oleh media massa, yang memberitakan bahwa memang benar telah terjadi rekayasa dalam kasus Chandra dan Bibit. Padahal dalam kenyataannya belum tentu demikian. Belum tentu juga Chandra dan Bibit tidak punya salah (maksudnya melanggar aturan yang sudah dibuat sendiri, seperti menandatangani surat cekal, yang seharusnya ditandatangani bersama). Belum tentu juag Polisi benar. Ditambah kehadiran Anggodo, makin membuat publik makin terlena dan nrimo atas apa yang disajikan media. Termasuk rekaman pembicaraan yang diputar dalam sidang MK.

Mestinya publik juga protes kalo ngga setuju atas apa yang ditampilkan media.dan berusaha mencari kebenarannya di luar sana, tapi koq mereka rela aja ya? Piye iki?

Dan ketika media massa adalah pilihan konsumtif, inilah yang paling diharapkan media. Informasi atau berita menjadi berharga dalam arti sesungguhnya (bisa dikonversi dengan nominal rupiah/dollar) Bayangin deh, ketika kita membeli koran, majalah, atau membuka situs berita misalnya, berapa pendapatan yang mereka dapatkan disana? atau ketika anda menonton berita di tv yang banyak iklannya. Trus mengunduh berita dari situs berita, dengan Black Berry yang canggih punya. Berapa coba keuntungan yang diraup si pemilik media?

Jadi dalam proses Konstruksi ini, media massa digunakan oleh kekuatan kapital sebagai mesin pencetak uang. Standar kuantitatif berupa rating dan share menjadi patokan para pengelola stasiun televisi. Banyaknya orang yang membuka situs menjadi ukuran sukses tidaknya sebuah situs berita. Tinggi rendahnya tiras atau pun oplah, adalah parameter sukses tidaknya sebuah media cetak. Intinya, Kekuatan kapital selalu mengambil untung dari sejumlah peristiwa, dan Pemilik Modal selalu tersenyum dibaliknya.
Jadi, meski Cicak vs Buaya itu adalah best match bulan November tapi yang menang adalah Godzilla, yaitu promotor acaranya alias Don “media massa” King.wakakakkk

Yang terpenting jangan sampai publik terlena, dan apa yang diceritakan Ian Flemming, di salah satu judul film James Bond “The World is not Enough” terjadi di dunia nyata…amit..amit… jabang bayi…

Ketika Musim Cari “Pembokat” Baru Tiba

October 13th, 2009 by Moderator

nugiBy: Nugie

Tetangga saya, Bu Ratna Duilaa sedang pusing tujuh keliling.Wanita Karier yang necis ini sedang bingung mencari pembantu rumah tangga baru. Sebab, pembantu lamanya pulang kampung dan berencana tidak kembali lagi. Lalu siapa nanti yang bertugas menyapu, mengepel dan menjaga dua buah hatinya yang masih kecil dan lucu itu? Bu Ratna pantas bergundah-gulana. Sebab, dua anaknya memang sudah lengket benar dengan si Mbak.

Rupanya bukan Bu Ratna saja yang pusing, Bu Nus, tetangganya juga merasakan hal sama. Hanya saja yang berbeda adalah Bu Nus baru saja memecat pembantunya, karena beberapa kali ketahuan mencuri uang.

Bu Nus dan Bu Ratna, sibuk mencari pembantu baru. Semua cara dicoba, mulai dari bertanya ke tetangga, kerabat yang tinggal di kampung, hingga mencari pembantu melalui agen. Tapi tetap saja pusing. Inilah saat musim mencari “pembokat” baru. Fenomena tahunan kota besar, selain mudik.

Semua majikan menginginkan pembantu yang rajin bekerja, jujur, tidak neko-neko dan tentunya mau digaji kecil (hehehe, kalau yang ini mudah2an bukan kenyataan). Tapi ternyata bukan hanya ibu rumah tangga yang sedang kebingungan mencari pembantu baru.

Pemimpin pilihan rakyat pun ternyata mengalami problem serupa. SBY sekarang lagi pusing mencari siapa pembantunya 5 tahun mendatang, alias memilih menteri kabinetnya.mulai dari tarik menarik antar parpol pendukung, hingga “mengamankan” oposisi demi lancarnya pemerintahan.

Lalu siapa pilihan SBY? Menurut saya, apa yang akan dilakukan SBY, kurang lebih sama dengan yang dilakukan para ibu-ibu tadi. Ketika mereka mencari pembantu barunya.

Saya mencoba melihat bagaimana kira-kira SBY akan memilih pembantu/menterinya, dari model kepemimpinannya selama ini. Kalo menurut sebagian ibu-ibu, SBY punya karisma, karena itu saya coba melihatnya dengan model tersebut.

Kata seorang sosiolog Weber, Karisma terjadi saat terdapat sebuah krisis sosial, seorang pemimpin muncul dengan sebuah visi radikal, menawarkan sebuah solusi untuk krisis tersebut. Pemimpin seperti ini, akan menarik pengikut yang percaya pada visi itu, dan para pengikut itu dapat mempercayai bahwa pemimpin tersebut sebagai orang yang luar biasa. Jadi, Karisma merupakan sebuah fenomena, dan tidak diciptakan.

Nah, kalo Pemimpin pilihan rakyat itu masuk kategori ini ngga ya? Menurut saya, ngga tuch (jangan marah dan tersinggung bagi para pengagum beliau) karena SBY tidak berada di sebuah situasi genting, yang membutuhkan pemimpin dengan terobosan progresif serta berani. SBY tidak berada pada sebuah situasi dimana harus mengambil resiko pribadi.

Dan menurut saya, situasi genting pada masa SBY memerintah, adalah sesuatu yang sudah direncanakan dengan matang, dan sistematis. Hal tersebut tentu saja untuk mengangkat dan memperkuat citra karismatik yang telah tertanam sejak tahun 2004. Atau dalam bahasa kerennya “brand awareness”. SBY berupaya membuat situasi negara seolah-olah genting. Hasilnya, ya SBY adalah presiden yang terbanyak mengeluarkan Perppu (kata sebuah suratkabar nasional), termasuk perppu yang mengundang polemik seperti Perppu pembentukan tim untuk mencari pimpinan sementara KPK.

Tapi memang, penyandang gelar doktor dari IPB itu punya modal fisik untuk menjadi seorang pemimpin dengan karisma. Jadi, SBY berKarisma, tull ngga ya?

Coba perhatikan bahasa tubuh SBY ketika berpidato di Universitas Harvard misalnya, perhatikan gerak tangannya, mimik muka, penekanan kalimat, dengan bantuan gerak anggota tubuh. Itu semua sudah diatur sedemikian, termasuk ketika harus meletakan posisi tangan memulai pidato, untuk menunjukan bahwa dirinya punya pesona, wibawa, dan bisa memikat lawan bicara.
Hasilnya pujian rrrruaarrr biasa dari para profesor Harvard

Wah jadi ngalor ngidul nih…padahal tadinya, saya mencoba melihat cara SBY mencari pembantu barunya, dari model ini (biar keliatannya keren)

Dari model “karisma” ini, ada beberapa kategori calon menteri yang kemungkinan masuk dalam hitung-hitungan SBY. Pertama, SBY akan memilih menteri yang “mengidolakannya” dan ingin sepertinya. Calon menteri semacam ini indikasinya adalah, selalu menggunakan bahasa yang mirip atau setidaknya mendekati cara SBY berbicara, coba perhatikan pilihan kata, mimik, gerak tubuh/gesture yang bersangkutan, maka anda akan bisa menerka, siapa saja mereka.

Jika calon atau menteri bersangkutan tersebut meledak-ledak ketika berbicara, atau pun cenderung “berorasi” ketika ditanya wartawan, maka kemungkinan besar dirinya tidak masuk kantong SBY.

Kalo ingat jaman dulu, ini mirip dengan gaya Menpen Harmoko atau Mensesneg Moerdiono. Gaya kedua orang tersebut sangat disukai oleh Pak Harto, karena kalem, berputar-putar ketika menjelaskan permasalahan, dan tidak menusuk langsung kepada lawan politik, atau siapa pun yang sedang berhadapan dengan pemerintah saat itu.

Kedua, SBY akan memilih menteri dengan postur tubuh yang tidak lebih besar dari dirinya. Coba perhatikan kedua wapres kita (JK dan Boediono). JK profil tubuhnya kecil, lincah, tapi secara postur tubuh kecil, sehingga terlihat kurang berwibawa, bicaranya ceplas-ceplos dan sering tanpa tedeng aling-aling. Sedangkan Boediono postur tubuhnya agak membungkuk (mungkin karena faktor usia), berbicara selalu hati-hati, terkesan kurang pede, meski pinter setengah mateee.

Nah, Coba lihat lagi deh, para menteri saat ini, nyaris semua menteri postur tubuhnya, tidak ada yang lebih besar dan tegap dibandingkan dengan Presiden (paling-paling hanya menkopolhukam dan mendagri yang badannya mirip dengan SBY).

Ketiga, SBY akan memilih menteri yang pastinya “patuh” terhadap apa yang sudah digariskan. Menurut saya, menteri pilihan SBY tentu tidak lebih progresif daripada sang presiden, dalam memecahkan permasalahan negara, sekalipun menteri itu memberi solusi yang luar biasa bagusnya.

Keempat, menteri pilihan SBY, adalah mereka yang kemampuan berorasinya terbatas dan tidak lebih baik darinya (kecuali pake teks). Seorang pemimpin berkarisma adalah mereka yang bisa membakar para pengikutnya, dan membuat para pengikutnya rela menyerahkan dirinya demi tujuan sang pemimpin. Kalau ada menteri yang orasinya luar biasa, apalagi wakil presidennya, pastinya presidennya akan ketar-ketir dunk..bisa bahaya bagi posisinya tuh…bisa-bisa kudeta. Ini nyaris terjadi, ketika JK menjadi wakil presiden dimana dia sering berorasi/berpidato tanpa teks, namun JK gagal mengolah kemampuan tersebut karena tidak punya modal fisik.
Jadi kita liat saja siapa pembantu baru, hasil pilihan putra Pacitan itu.

Is it Noordin or Not?

September 8th, 2009 by Moderator

jamalBy: Masrur Jamaluddin

“Who are you, the one inside the house?” one policeman from antiterrorist special taskforce unit shouted a question.

“I’m Noordin M Top,” someone inside a house replied. He named the most wanted terrorist in Indonesia.

That’s a short conversation reported by our reporter who embedded on terrorist siege in Temanggung Central Java, August 8, 2009. At that time, antiterrorist special taskforce unit outflank one house for about 18 hours. One suspect terrorist was hiding inside the house. No one in newsroom knows who the terrorist was.

On live by phone our reporter reported that she heard the voice of policeman shouted from outside the house. The distance between the reporter and the policeman was not quite far, so the reporter assured us in the newsroom that she was really heard the question from the policeman.

But, the question is about the reply from inside the house? Was she really heard the answer from the suspect terrorist? No. Later on, she said on the report that she got the information from the policeman who told her the answer from the suspect terrorist inside the building.

We were in newsroom suddenly feel something wrong is going on. Was it make sense if Noordin M Top declared his identity in the critical time when hundreds policeman siege and shoot him from many directions? The heart of journalism was verification, Bill Kovach said on his famous book “9 Elements of Journalism”. I hope we were in newsroom could help our reporter to verify those important “fact”. Its too bad, not much we could do to verify and confirm the information. Why?

Here is the situation. According to my news judgment, the first source to verify and confirm “Is the suspect terrorist is Noordin M Top or not?” Is someone who hides inside the house. We can talk to him, match his face with our picture and verify his admittance. Absolutely it’s impossible to do that. No one can reach even get close to the house. Our reporter is the only reporter who succeeds reporting from the nearest distance to the house.

Secondly, related to the highest structural source in the police department, we can verify the information to chief Indonesian Police department, General Bambang Hendarso Danuri. The reason is because he has a full command on the operation so logically his officer always report to him about everything happened. He is the top one officially source (then comes police department spokesperson as second layer officially source). But talk to this general is also impossible, because on that time the chief was on the flight to the location.

So the only source that we can confirm was the policeman in the field who already talk to our reporter. The policeman said the suspect terrorist inside the house was Noordin M Top, the most wanted terrorist in Indonesia.

The outflanking continues… shooting and bombing went on…

After 18 hours, the siege over and the suspect terrorist was killed. On the screen we couldn’t see what happened in the location, because we still were airing recorded footage. But our reporters helped us to figure it out the situation on the location. Reporter told us the scene, where some of policeman fully armed attack into the house. And through reporters cellular phone we could hear the line of fire lively.

Not only our viewer, we were in newsroom also curious and eager to know who really the terrorist was. But unfortunately, our team on location were not allowed to get close to the house. So we have no picture of the suspect terrorist who killed on the attack.

For minutes all we could do just airing footage that we already record hour before around the location. Using zoom lens, viewer could see how the house was bombarded by fire and low explosive bomb. On this siege live report we sent two teams with two reporters, Grace Nathalie and Ecep S Yasa. These two reporters have been following the terrorism stories for years. We deeply count on them on terrorist report. They have good access as well as great background on this topic.

After few hours, finally we had a picture of body pack brought outside the house by policeman. The terrorist was inside that orange body pack. But still, the question of who was the terrorist is left behind. Before the suspect terrorist was killed, we already report that he was Noordin M Top. We also get this news from our reporter on location who talks and confirm it to one of the policemen. So, after police killed the terrorist I think we need a brief statement about identity of the terrorist. Is the terrorist killed was Noordin M Top or not?

Finally, our reporter on location who investigated this case since beginning said that the terrorist was confirmed as Noordin M Top. He already verifies and gets confirmation from one of the policemen who saw terrorists’ face right after killed.

In the situation where applying journalism principals are quite difficult, finally we released report that Noordin M Top was successfully killed. Our consideration is just only to answer the question, who is the terrorist? Maybe some people says, is that question so important? I said yes. Why?

Because I believe, after watching for about continuously 18 hours siege, viewers need to know the fact, is the terrorist Noordin M Top or not. I also have an assumption that viewers will think that confirming that’s question is not difficult job for us. So many policemen on the location, our reporters are also around the location, we have team and crew, so what are we waiting for? After long debate on newsroom, finally yes, we report that Noordin M Top was killed.

Just a few second our journalist awareness comes again. What if the terrorist wasn’t Noordin M Top? We were in newsroom back to the discussion again. So we decided to put “suspect” word before word of “Noordin M Top”. Time clicking, we collect information from the other sources and then we said that the confirmation of who is the real terrorist is waiting for DNA test. But we already convince people that the most wanted terrorist Noordin M Top was killed.

For about four days the speculation of the terrorist identity was rising and roaming in society. When police department announce and publish report terrorist identity, some people blame us because the terrorist that killed on siege wasn’t Noordin M Top. Some other journalists also criticize us and accuse us not using basic principle of journalism when reporting terrorist siege.

Only small people realize that it was a new phenomenon on Indonesian broadcasting journalism. How difficult to apply basic principles of journalism when reporting news lively on the restricted area coverage and in the situation where sources are difficult to access. On the other side, how high viewers demanding us on give them not only high quality news but also fast and instantly.

When our reporter back she told me that, every single information she reported to us had been confirm from the officers in the field. She admits that she talked to many sources and always cross check the facts. One thing that she missed on her coverage was she can’t mention her sources. It was because none of them was the officially sources from the police department.

After the hectic hours on siege live reporting we keep follow the story of terrorism intensively. We track suspect terrorist who involves on JW Marriott and Ritz Carlton suicide bombing that killed 9 peoples. We cover every single story related to the terrorist. Surprisingly, after a few weeks our station has a new label as “Terrorist TV” as well as “Police TV”. When our reporter will cover a story about burial of two terrorist who shot by police in secret operation in West Java, the families refused us. They said that we are on the police side and don’t really care about them.

Next time, police spokesperson refused to have an interview with us because he accuses us on the terrorist and its networking side. When we broadcasted the testimonial of two terrorist’s wives, some policemen were also complaining us. On the screen, those two wives said that their husband were beaten and tortured by policeman. Again, we can’t confirm the statement because we doing live report. We never expect that the wives will tell a story about the torture. Yes, we are little bit naif.

Instead of complaining and condemning our work, on the day we did live siege reporting we succeed become number one TV station in Indonesia. AC Nielsen research notice that almost 60 percent viewer on that day watch us. It was a new record in Indonesian broadcasting world, because it beats the most popular soap opera program which usually dominate our living room.

Suatu Sore di Checkpoint Charlie

September 1st, 2009 by Moderator

Oleh: Tussie Ayu Riekasapti

Berlin, (tvOne)

tussieBerlin sedang tidak bersahabat. Bulan Juni yang seharusnya menjadi milik musim panas, kini masih dikuasai dingin yang menggigit. Kehangatan matahari terlambat datang tahun ini.

Begitu pula sore itu. Ketika saya melintasi sisa-sisa tembok Berlin dan Checkpoint Charlie, hujan rintik membasahi jalanan. Angin kencang menyapu daun-daun, menabrak tubuh-tubuh yang berlalu lalang dan menerbangkan payung-payung. Tapi saya masih beruntung. Karena saya hanya merasakan dingin yang menggigit, bukan timah panas seperti yang dicicipi Peter Fechter 37 tahun lalu.

17 Agustus 1962, Peter Fechter dan Helmut Kulbeik bersembunyi di sebuah bengkel tukang kayu dekat Checkpoint Charlie. Ketika petugas lengah, mereka memanjat tembok Berlin setinggi dua meter yang bertahtakan kawat berduri. Kulbeik berhasil melompati tembok Berlin. Namun malang bagi Fechter, dia tertembak dan meregang nyawa selama hampir satu jam hingga akhirnya meninggal dunia. Fechter hanyalah seorang remaja berusia 18 tahun yang mencoba lari dari Jerman Timur ke Jerman Barat.

Checkpoint Charlie saat ini, menjadi tujuan wisata (tvOne/Tussie Ayu Riekasapti).

Checkpoint Charlie saat ini, menjadi tujuan wisata (tvOne/Tussie Ayu Riekasapti).

Nazi Jerman yang memiliki dampak luar biasa di Eropa, memaksa Amerika Serikat dan Uni Soviet melupakan sejenak pertikaian. Bersama Perancis dan Inggris, mereka menjatuhkan kediktatoran Hitler dan Nazi. Setelah Jerman berhasil direbut, wilayah negara ini dibagi menjadi empat bagian oleh Uni Soviet, Inggris, Amerika Serikat dan Perancis.

Jerman Barat dikuasai oleh Inggris, Amerika Serikat dan Perancis. Sedangkan Jerman Timur oleh Uni Soviet. Antara tahun 1949 sampai tahun 1961 sudah lebih dari 2 juta penduduk Jerman Timur melarikan diri lewat Berlin. Hal ini membuat ekonomi Jerman Timur menjadi kedodoran karena orang-orang muda melarikan diri. Maka secara rahasia dan tiba-tiba, dibangunlah tembok Berlin.

Setelah tembok Berlin dibangun, ada tiga checkpoint untuk melintasi Jerman Barat dan Timur. Fungsi utama checkpoint adalah untuk mendaftarkan dan menginformasikan anggota militer Jerman Barat sebelum memasuki Jerman Timur. Pintu pertama adalah Checkpoint Alpha yang berada di Helmstedt, pintu kedua bernama Checkpoint Bravo berada di Dreilinden, dan pintu ketiga ada di Friedrichstrasse (Jalan Friedrich). Pintu ketiga ini bernama Checkpoint Charlie.

Salah satu sisi tembok Berlin yang masih tersisa (tvOne/Tussie Ayu Riekasapti)

Salah satu sisi tembok Berlin yang masih tersisa (tvOne/Tussie Ayu Riekasapti)

Turis dan diplomat dari Jerman Barat diperkenankan memasuki Jerman Timur hanya melalui Checkpoint Charlie. Sedangkan orang Jerman Timur sama sekali tidak boleh melintasi perbatasan. Checkpoint Charlie menjadi lubang jarum yang harus dilewati warga Jerman Timur yang ingin penghidupan lebih baik di Barat. Di kemudian hari, tempat ini menjadi simbol perang dingin antara blok barat dan blok timur.

Dalam himpitan perang dingin, tentu saja rakyat yang paling merasa sengsara. Berbagai drama pelarian diri terjadi di sekitar tembok Berlin sekitar Checkpoint Charlie. Keluarga Wetzels dan Strlzycks sedikit demi sedikit mengumpulkan kain nylon. Kain itu kemudian dijahit untuk membuat balon udara. Setelah persiapan selesai, mereka terbang dengan balon udara untuk melewati perbatasan. Delapan orang anggota keluarga ini berhasil melintasi perbatasan dengan selamat.

Terowongan bawah tanah dibangun di atas pemakaman. Orang-orang berpura-pura berziarah dengan membawa karangan bunga. Mereka kemudian tiba-tiba menghilang dan tidak pernah terlihat lagi. Terowongan ini menghubungkan Jerman Barat dan Jerman Timur.

Sebanyak 29 orang berhasil mencapai Jerman Barat dengan selamat melalui terowongan ini. Namun akhirnya keberadaan terowongan terbongkar karena seorang wanita terjatuh ke dalam terowongan dan meninggalkan bayinya di atasnya. Terowongan ini kemudian ditutup.

Berbagai aksi melintasi perbatasan itu kini dapat dikenang di Mauermuseum Haus Am Checkpoint Charlie atau Museum Tembok Berlin di Checkpoint Charlie.

Museum Checkpoint Charlie (tvOne/Tussie Ayu Riekasapti)

Museum Checkpoint Charlie (tvOne/Tussie Ayu Riekasapti)

Tahun ini rakyat Jerman merayakan 20 tahun runtuhnya tembok Berlin. Di Friedrichstrasse atau Jalan Friedrich, Checkpoint Charlie masih berdiri hingga saat ini. Namun kini tempat itu sudah berubah rupa demikian jauh. Tidak ada lagi kesuraman di Checkpoint Charlie. Kini, Friedrichstrasse menjadi bagian dari pusat kota Berlin dan tujuan utama wisata.

Hanya sekitar 200 meter dari Friedrichstrasse, kita bisa menemukan gedung Bundestag (parlemen Jerman) kala pemerintahan Prusia, yang sungguh menggambarkan kejayaan Eropa sejak lampau. Gedung ini kaya akan pahatan tangan seniman Eropa masa lalu. Saya pikir, ciri khas ini hanya dapat ditemui di Eropa.

Ok, kita kembali menyusuri tembok Berlin dan Checkpoint Charlie. Hari ini memang bukan saat yang tepat untuk berjalan-jalan. Angin makin tidak bersahabat ketika saya meninggalkan Mauermuseum Haus Am Checkpoint Charlie. Dingin semakin menusuk tulang. Saya kemudian bergegas ke stasiun kereta bawah tanah untuk pulang dan mencari kehangatan. Auf Wiedersehen Checkpoint Charlie!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar